Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOBIL Jaguar perak tiba-tiba berhenti di depan pintu utama kantor Polda Jawa Timur di Surabaya. Seorang sopir turun dan menyerahkan kunci mobil kepada ajudan yang sedang jaga. "Mobil ini untuk Kapolda," katanya seraya pergi.
Ajudan polisi itu terbengong-bengong. Dia teringat pesan bosnya, Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Sutanto, agar menolak pemberian apa pun dari siapa pun. Tapi sang pemberi sudah berlalu. Ragu-ragu ajudan tersebut menyerahkan kunci mobil berharga sekitar satu miliar rupiah itu kepada Sutanto.
Kapolda, yang biasa kalem, langsung marah. "Bapak menolak dan menyuruh si ajudan mengembalikan mobil itu," kata sumber Tempo di Polda Jawa Timur yang pernah dekat dengan Sutanto. Masalahnya, dikembalikan kepada siapa? Pengirimnya saja ia tak kenal.
Mobil itu akhirnya dipindahkan ke depan pos penjagaan di gerbang Markas Polda Jawa Timur. Selama parkir, tak satu pun anggota polisi yang berani menyentuhnya. Selang beberapa hari, mobil itu sudah tak lagi berada di tempatnya. "Mungkin yang memberi mengambil lagi setelah melihat mobilnya nganggur di depan markas," kata si sumber.
Saat itu Polda Jawa Timur memang tengah menyelidiki kasus penyelundupan 34 mobil mewah. Polisi menyita mobil-mobil bernilai miliaran rupiah di gudang penampungannya di Pasuruan, Jawa Timur, akhir 2000. Beberapa pejabat Bea Cukai Tanjung Perak Surabaya dan pemilik dokumen mobil mewah ditahan. "Perintah Kapolda saat itu, kasus ini harus diselidiki hingga aktor intelektualnya," kata Ajun Komisaris Besar Polisi Rony F. Sompie, yang saat kejadian adalah Kepala Satuan Pidana Umum. Sayang, setelah kasusnya diambil alih Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, kasus mobil mewah itu tidak jelas.
Komisaris Jenderal Polisi Sutanto lahir di Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 55 tahun lalu. Bapak empat anak ini adalah lulusan terbaik Akabri Kepolisian 1973. Ia satu angkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjadi lulusan terbaik dari Angkatan Darat. Kini, Sutanto adalah Kepala Badan Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional. Ia digadang-gadang menjadi Kepala Kepolisian RI.
Karier pencinta burung ini lengkap: ia pernah menjadi kepala polisi di tingkat sektor hingga provinsi. Ia pernah memegang jabatan yang dipercaya menjadi pintu masuk ke arah karier yang gemilang. Tahun 1995-1998, ia menjadi ajudan Presiden Soeharto.
Seorang bekas bawahannya di Polda Jawa Timur mengenalnya sebagai sosok yang tegas dalam menolak uang sogok. Menurut pengalamannya mengabdi pada beberapa Kepala Polda, Sutanto punya kebiasaan menyumbang uang kepada satuan-satuan yang mendapat tugas berat. "Biasanya Kapolda lain minta disetori uang, tapi Pak Tanto malah yang setor ke anak buah," katanya. Hanya, jangan coba-coba menawar jika mendapat perintah Sutanto. "Kecuali kalau memang ingin habis kariernya," kata sumber itu.
Bukan hanya sogokan dari anak buah yang ditampik, Sutanto juga pernah menolak suap dari bos penebangan kayu liar di Jawa Timur yang jaringannya terbongkar. Bos kayu curian itu mencoba melobi Sutanto agar menangguhkan penahanannya dengan menyetor uang jaminan Rp 2 miliar. "Beliau malah memerintahkan untuk tidak melakukan penangguhan penahanan terhadap siapa pun," kata bekas Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Polisi Sad Harunantyo.
Sutanto juga dikenal galak terhadap perjudian. Seorang bandar judi di Jawa Timur, yang sebelumnya tak tersentuh hukum karena rutin menyetor upeti, bubar bisnisnya saat Sutanto menjadi Kapolda Jawa Timur.
Permusuhannya dengan para bandar judi itu sudah dimulainya sejak menjadi Kepala Polda Sumatera Utara lima tahun lalu. Sejak memulai tugasnya, Sutanto bertekad memberantas judi, narkoba, dan penyelundupan. Penggerebekan-penggerebekan yang dilakukannya membuat para bandar di wilayah Sumatera Utara ketar-ketir.
Terbukti, saat Sutanto bertugas di Sumatera Utara, barang-barang selundupan di Tanjung Balai Asahan makin langka ditemui. "Tetapi dia tak perlu kerja keras karena tinggal melanjutkan langkah Brigjen Sutiyono, Kepala Polda Sumatera Utara sebelumnya, yang cukup keras menghajar penjudi," kata seorang pensiunan perwira polisi di Sumatera Utara.
Kegarangan Sutanto di Sumatera Utara memang hanya berlaku setahun. Dia kemudian dipindahkan ke Jawa Timur. Di provinsi ini bukan hanya mengurus masalah kriminal, Sutanto juga harus mengurus persoalan politik. Di sana dia berusaha meredam situasi politik yang memanas akibat keluarnya Memorandum II DPR yang berujung turunnya Abdurrahman Wahid dari kursi presiden, empat tahun lalu.
Jawa Timur, yang menjadi basis terbesar pendukung Presiden Abdurrahman, tengah getol menyiapkan Pasukan Berani Mati untuk "menyerbu" Jakarta. Saat itu Sutanto mengambil inisiatif bertemu dengan ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Hotel Mojopahit dan di Markas Polda Jawa Timur. Tak sepenuhnya mulus, memang. Sutanto, misalnya, gagal mengatasi unjuk rasa besar-besaran pendukung Abdurrahman. Massa mengamuk dan membakar kantor Partai Golkar Jawa Timur di Jalan Ahmad Yani, Surabaya. Padahal jarak Mapolda Ja-Tim dengan kantor Golkar hanya sekitar 2,5 kilometer. Unjuk rasa pendukung Presiden Abdurrahman Wahid di Pasuruan juga berakhir ricuh. Dalam unjuk rasa yang brutal itu polisi menembakkan peluru tajam ke arah massa. Seorang pendukung Abdurrahman meninggal dan seorang anggota Brimob luka-luka terkena lemparan batu. "Waktu itu Sutanto koordinasi terus dengan saya," kata Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, KH Ali Maschan Moesa.
Kasus lain yang ditangani Sutanto ialah konflik antara Laskar Jihad Ahlus Sunah Wal Jamaah dan PDI Perjuangan di Ngawi. Konflik berawal dari razia perjudian oleh anggota Laskar Jihad di Pasar Ngawi, yang berbuntut bentrokan dan penculikan Yuwono Susetyo, salah seorang pengurus PDI Perjuangan setempat. Sutanto menahan puluhan anggota Laskar Jihad di Polda Ja-Tim dan menyita puluhan senjata rakitan, senjata tajam, rompi anti-peluru, dan beberapa batang lembing.
Kepemimpinan Sutanto juga sempat meninggalkan catatan buruk pada pers. Saat terjadi unjuk rasa buruh PT Maspion, anak buahnya bertindak kelewat batas. Puluhan polisi dari Polres Sidoarjo memukuli wartawan Kompas, Wisnu Dewa Brata, di Buduran.
Jawa Timur menjadi ujian bagi Sutanto, bahkan sejak menjabat Kepala Polres Sidoarjo (1992-1994). Saat itu Sutanto, yang berpangkat letnan kolonel polisi, gagal mengawal unjuk rasa buruh pabrik arloji PT Catur Putera Surya di Porong, Sidoarjo, pada 1993. Unjuk rasa ini berujung dengan pembunuhan Marsinah, seorang buruh pabrik arloji ini. Kasus kematian Marsinah masih belum terungkap hingga kini.
Advokat senior Trimoelja D. Soerjadi mengakui peran Polres Sidoarjo minim sekali dalam kasus kematian Marsinah. Ketika itu militer memang dominan dan cenderung meminggirkan polisi. Secara formal, kasus ini diambil alih Polda Jawa Timur. "Saya tetap yakin, berdasarkan dugaan analisis fakta di lapangan, Marsinah terbunuh di Kodim Sidoarjo," kata Trimoelja, yang ketika itu menjadi kuasa hukum Mutiari, pegawai PT CPS yang dituding membunuh Marsinah.
Sutanto menjalani kariernya sebagai Kapolda Jawa Timur hanya dua tahun. Pergolakan politik saat itu membuat dia "diparkir" menjadi Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Sekarang, saat Susilokawan seangkatannya di sekolah militerterpilih menjadi presiden, ia diperhitungkan kembali.
Agung Rulianto, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo