JOHN Bobbit boleh menderita seumur-umur akibat "anunya" diputus oleh sang istri. Tapi kejadian yang menimpa pria asal Amerika Serikat itu masih kalah unik, kalah sadis, ketimbang Karmin. Lelaki Pekalongan, Jawa Tengah, itu bakal sedih sepanjang hayat lantaran ulahnya yang nekat: memotong alat vitalnya sendiri. Bukan main. Karmin memang melakukan "swajagal".
Kisah "potong burung" Karmin terjadi pertengahan bulan lalu. Selepas asar, petani miskin asal Desa Werdi, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan, itu menenteng sabit ke belakang rumah. Tak ada yang curiga, juga ketika ia memelorotkan celananya, meletakkan "barangnya" di atas landasan kayu, dan… cresss... membabat organ vital itu beserta "rentengannya". Darah muncrat. Karmin berteriak. Para tetangga datang menolong.
Karmin pun segera dilarikan ke rumah sakit umum Pekalongan. Para tetangga sibuk membungkus "sang burung" beserta dua butir telurnya yang tergeletak di tanah dengan plastik seadanya. Maksudnya: agar organ penting itu bisa disatukan lagi dengan tubuh Karmin. Tapi, menurut Dokter Sardewi, yang menangani kasus mengenaskan ini, "burung" itu tidak bakalan bisa "disangkarkan" kembali. "Secara kedokteran sebetulnya bisa, tapi di rumah sakit sekecil ini tidak mungkin," kata Sardewi.
Syukurlah, kondisi Karmin, setelah kasus swajagal itu lewat hampir tiga minggu, sudah membaik. Lukanya berangsur kering. Tapi ia masih merasa stres. Setiap kali mengingat "keberaniannya" itu, ia menangis sesenggukan. Sang istri cuma bisa pasrah. Ia bisa maklum jika nafkah batinnya tak bakal terpenuhi. "Bagaimanapun, dia itu suami saya," kata Tamiyah, 42 tahun, istri Karmin, lirih.
Tapi kenapa Karmin senekat itu? Tidak banyak yang tahu. Lelaki berusia 50 tahun itu masih ogah bicara. Tapi, menurut beberapa tetangga, Karmin mengalami stres karena hidupnya melarat. Ia sebetulnya berniat bunuh diri dengan aksinya itu. Tapi, bukan nyawa yang melayang, ia malah kehilangan "barang" kebanggaannya itu. "Punya Karmin sekarang rata seperti wanita," kata dr. Sardewi, dingin. Duh, Kangmas Karmin.
COBA tanyakan kepada polisi: senangkah mereka jika ditugasi menangkap bandit, maling, atau biang judi? Jawabannya biasanya pas banderol: "Apa pun perintahnya, demi tegaknya hukum, kami siap melaksanakan." Tapi polisi di Semarang Selatan, Jawa Tengah, mungkin punya jawaban sedikit beda, khususnya jika bertugas menggerebek tukang adu ayam.
Memangnya kenapa? Rezekinya tak senomplok biang kriminal lainnya? "Malah bikin repot," kata mereka. Apalagi kalau yang "sukses" ditangkap bukannya para penyabung yang notabene manusia itu, melainkan ayam-ayam mereka. Itulah kenyataan pahit yang dihadapi Kepolisian Sektor Semarang Selatan, akhir bulan lalu.
Ceritanya begini. Suatu hari, polisi di sana mengecek lokasi acara selamatan seorang warga. Mendadak, ada kerumunan orang yang sedang menyabung ayam. Melihat aparat berbaju cokelat datang, para penjudi itu kocar-kacir. Tak ada seorang pun yang tertangkap tangan. Cuma ada 17 ayam, satu di antaranya mati lemas, 4 bangku panjang, 8 kurungan ayam, 3 jeriken air, dan sehelai kain panjang yang biasa dipakai untuk arena sabung ayam.
Nah, ayam-ayam itulah yang jadi masalah. Meski cuma ayam, makhluk itu barang bukti yang mesti dipelihara, dijaga, dan diamankan—untuk bekal di pengadilan kelak. Maka, "ditahan"-lah ayam-ayam itu di dalam ruang senam tahanan. Sehari-hari "tahanan elite" itu diberi makan 4 kilogram beras merah, pagi-sore. Kotorannya dibersihkan Sadi, karyawan honorer. Untuk pemeliharaan, Kapolsek Semarang Selatan mengambil bujet dari biaya operasi. Swadanalah.
Lalu, untuk siapa ayam-ayam itu nanti harus bersaksi? Polisi tampaknya akan memperkarakan Prajoko Haryanto, saksi yang belakangan dijadikan tersangka penyelenggara judi sabung ayam. Senyampang menunggu kasus ini disidangkan, polisi harus bersabar dengan ayam-ayam jago itu. Ya ngasih makan, ya membersihkan tahinya itu tadi.
Kepala Kepolisian Kota Besar Semarang, Letkol Pol. Mathius Salempang, cuma bisa tersenyum menanggapi kasus aneh tapi langka ini. Makanya, mending dilepaskan saja, Pak Polisi? Eit, jangan gegabah. Ini kan alat bukti. Mereka pun siap dengan argumen standar: ayam boleh dilepas asalkan ada orang yang meminta penangguhan penahanan, tentu dengan "jaminan" sepantasnya. Yang terakhir ini tentu guyonan ala polisi. Siapa sih orang yang mau repot-repot membela ayam?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini