Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Ke Jakarta, Maestro itu Kembali

Musisi jazz George Benson muncul di Jakarta. Dan ia menyajikan interlude yang manis setelah penampilan perdananya di Ibu Kota tujuh tahun silam.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIA berkulit gelap itu meluncur ke tengah panggung. Dari dawai gitar listrik yang tersandang di bahunya, terpantul melodi jazz yang ekspresif. "Selamat malam," pekiknya ke arah 1.700 penonton yang Kamis pekan silam memenuhi ballroom Hotel Mulia, Jakarta. Setelah itu, selama sekitar 100 menit, ia mengisi panggung dengan permainan gitar dan—terutama—suaranya, yang telah menyihir ribuan pengagum di seluruh dunia selama 30 tahun terakhir. "Just give me the night..., give me the night," ia melantunkan potongan syair dari nomor Give Me The Night (1980). Itulah satu dari 16 lagu yang dibawakan George Benson dalam berbagai nada; manis, keras, mengentak—dengan warna suara yang tidak berubah kendati usianya sudah 56 tahun.

George Benson pertama kali tampil di Jakarta pada 29-30 Mei 1992. Pertunjukan pekan silam seakan mengingatkan kita pada antusiasme penonton yang memenuhi Puri Agung Hotel Sahid Jaya, tujuh tahun silam. Dalam dua kali pertunjukan—pukul 19.30 dan 22.00—Benson mampu memuaskan penggemarnya. Mereka pasti tidak menyesal telah membeli karcis Rp 150.000 hingga Rp 350.000. Selain beberapa kursi kosong di kelas VIP, ballroom Hotel Mulia penuh sesak. Animo penonton menandakan pulihnya potensi Jakarta sebagai pasar yang siap menyerap pertunjukan band dan penyanyi dunia—setelah terpuruk sejak krisis dan peristiwa Mei 1998.

Di luar lagu-lagunya sendiri, Benson menyanyikan satu nomor dari Nat King Cole: Unforgetable. Ayah lima anak ini memang menyimpan kekaguman terhadap Cole, musisi ternama yang jalan hidupnya kurang lebih mirip dengan dirinya. Keduanya sama-sama musisi jazz yang beraliran mainstream. Cole di piano, Benson di gitar. Namun, keduanya kemudian "meninggalkan" musik-musik jazz standar untuk musik vokal serta komersial.

Dalam penampilan kedua di Jakarta ini, Benson melantukan beberapa nomor hit-nya seperti The Greatest Love of All, Give Me the Night, This Masquerade, Kisses in The Moonlight, dan In Your Eyes. Namun, kebanyakan lagu berasal dari album terbarunya yang diproduksi tahun ini: Standing Together. Di sela-sela bermain vokal dan gitar, ia memamerkan kemampuannya membunyikan melodi gitar yang dimainkan dengan mulut (unison). Ini memang salah satu prestasi fenomenal Benson: memperlakukan vokal sebagai instrumen utama pembentuk musik. Seperti beberapa penampilannya terdahulu, kali ini pun Benson menampilkan daya tarik tontonan yang terjaga—bukan ledakan energi yang berlebihan di atas panggung.

Apa kehebatan George Benson di tengah blantika musik jazz Amerika yang didominasi banyak kaum kulit hitam? Ia pemegang delapan Grammy Award—penghargaan musik tertinggi di Amerika (dan dunia). Ia legendaris, terutama untuk musik-musik jazz. Grammy pertamanya diraih lewat albumnya Breezin (1976) dengan lagu hit-nya This Masquerade—sekaligus mencatat rekor sebagai album jazz pertama yang meraih platinum.

Breezin sekaligus menjadi awal "perpindahan" Benson dari permainan gitar dan musik-musik mainstream. Sejak 1976, ia lebih banyak menyanyi dan memainkan musik jazz berwarna pop, klasik ringan, dan komersial. Para pencinta dan pengamat jazz sebetulnya menyayangkan "perpindahan" ini—sebuah opini yang terus menjadi perdebatan sampai kini. Karena, dengan musik-musik yang "kurang jazz", ia menjadi jauh lebih populer. Sementara, para pencinta jazz berpendapat, Benson sebaiknya tidak "meninggalkan" musik mainstream yang ia kuasai. Kemahiran itu ia petik antara lain dari tokoh jazz seperti Wes Montgomery, Brother Jack Mc Duff, Herbie Hancock.

Benson lahir pada 22 Maret 1943 di Pitsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, dari sebuah keluarga miskin. Berbekal keterampilannya bermain gitar dan menyanyi, ia memulai debutnya di bar-bar lokal yang memutar musik R&B. Dia berhasil merekam album pertamanya, It Should Have Been Me, pada 1954. Tahun 1963 dia pindah ke New York. Dua tahun kemudian, Benson mulai menempatkan diri sebagai gitaris jazz terkenal. Setelah itu, sejarah musik tinggal mencatat kemasyhuran namanya dalam blantika musik dunia.

Tak mengherankan, perjalanan turnya ke Asia dan Australia kali ini pun mencatat sukses di berbagai tempat. Juga di Jakarta. Sayang, pentas yang diselenggarakan PT Buena Produktama dan sponsor utama rokok A Mild ini diwarnai beberapa hal yang amat mengganggu. Jadwal pertunjukan tertunda-tunda, sesi pemotretan dengan wartawan juga batal. Namun cacat teknis ini diimbangi dengan sangat baik oleh sang Maestro: ia menghadiahkan sebuah interlude yang manis setelah absen selama tujuh tahun.

Hermien Y. Kleden dan Purwani Diah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus