Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggenjot 'Wet', Mengejar Setoran?

Naskah RUU membanjiri DPR. Dan di sana sini berpeluang merugikan masyarakat, tapi hal-hal itu seperti tak dihiraukan karena yang penting, gengsi pemerintahan Habibie terdongkrak.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ADA prestasi menonjol dari pemerintahan transisi yang dipimpin Presiden B.J. Habibie, rekor itu tercapai di bidang pembuatan undang-undang. Dibandingkan dengan pemerintah Orde Baru periode 1992-1997, yang selama lima tahun menghasilkan 86 undang-undang, pemerintah sekarang, yang usianya baru 13 bulan, mungkin sekali mampu meluncurkan 75 undang-undang. Berarti, rata-rata tiap minggu ditetaskan 1,5 undang-undang. Luar biasa, memang. Sekadar gambaran, sampai awal Agustus 1999, dari sejumlah calon undang-undang, tak kurang dari 47 rancangan undang-undang yang digolkan DPR untuk menjadi undang-undang (wet). Di dalamnya termasuk empat undang-undang saat Presiden Soeharto belum lengser pada 21 Mei 1998. Sisanya, sebanyak 28 rancangan, kini masih dibahas DPR, di antaranya undang-undang soal keselamatan dan keamanan negara, minyak dan gas bumi, kehutanan, hak asasi manusia, pers, dan zakat. Lebih tak masuk akal, sebanyak 16 rancangan undang-undang (RUU) justru diajukan pemerintah menjelang masa akhir tugas DPR yang tinggal satu setengah bulan lagi, dengan catatan, dari 2 Agustus sampai 16 Agustus, DPR menjalani masa reses alias tak bersidang. Fenomena itu seperti mengulang kebiasaan lama, yakni gelombang RUU yang diajukan pemerintah tatkala sebagian anggota DPR "bak mengalami lesu darah". Soalnya, mereka merasa tak dicalonkan lagi untuk periode berikutnya. Taktik itu ditempuh pemerintah agar pembahasan rancangan undang-undang di DPR berlangsung mudah dan mulus. Tentu saja kondisi itu membuat orang meragukan mutu undang-undang yang datang dari gedung wakil rakyat di Senayan. Bukankah sebelumnya beberapa undang-undang juga menunjukkan kelemahan? Ambil contoh Undang-Undang Tenaga Kerja, yang ditangguhkan sebelum dioperasionalkan. Lantas Undang-Undang Unjuk Rasa, yang dianggap mengebiri hak berpendapat. Juga Undang-Undang Kepailitan, yang belum setahun berlaku sudah mau direvisi karena tak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, dalam situasi dan jadwal yang mendesak, apalagi legitimasi DPR—yang masih warisan Orde Baru—diragukan, pengegolan undang-undang diperkirakan akan kurang mengakomodasi aspirasi rakyat. Sebab, masalah yang dibahas belum kunjung matang. Hal itu nyata terlihat pada Undang-Undang Perubahan Kekuasaan Kehakiman, yang cuma mengubah dua pasal sehingga belum menyentuh prinsip kemandirian yudikatif. Ironisnya, dari pengalaman lalu, DPR tak berani menolak RUU yang diajukan pemerintah atau melimpahkan calon aturan itu kepada DPR periode berikutnya. Dengan demikian, diperkirakan DPR akan memaksakan munculnya suatu undang-undang, meskipun kehadiran undang-undang itu ditentang masyarakat. Umpamanya undang-undang tentang keamanan negara, tentang hak asasi manusia, pers, atau kehutanan (lihat: tabel). Padahal, undang-undang sebagai perangkat hukum tertulis pasti menjadi senjata yang mengikat umum (harus dipatuhi masyarakat) dan bersifat memaksa (karena ada sanksi hukumnya). Bila semua rancangan undang-undang dengan gampang disahkan menjadi undang-undang, tentu akan semakin merugikan posisi rakyat. Bagi Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, gejala seolah-olah "mengejar setoran" dalam memproduksi undang-undang ini lebih menunjukkan hasrat Presiden Habibie untuk memperoleh rapor bagus dari MPR kelak. "Mementingkan banyaknya undang-undang yang dihasilkan itu logika pemerintah yang kekanak-kanakan," ujar Bambang. Menanggapi tudingan itu, Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR, Zarkasih Nur, tampak kurang senang. "Dalam proses pembahasan rancangan undang-undang, DPR selalu mengundang masyarakat untuk memberikan pendapat. Bahkan kini para anggota DPR jadi sering pulang menjelang tengah malam," kata Zarkasih. Semua itu, tambahnya, tak lain untuk tetap menjamin mutu undang-undang yang harus dipertanggungjawabkan oleh DPR. Zarkasih setuju saja dengan usul melimpahkan rancangan undang-undang yang sekarang tak selesai ke DPR periode selanjutnya. Risikonya bukan tak ada. Paling tidak, RUU tersebut bakal dibahas dari nol lagi oleh DPR mendatang. Tapi, menurut Zarkasih, yang penting DPR harus lebih cermat dan sistematis dalam membahas rancangan undang-undang. Caranya, dengan memprioritaskan rancangan undang-undang yang harus dibahas. Contohnya, RUU keamanan negara, yang dianggap rumit dan bakal makan waktu pembahasan lama, dibahas lebih dulu. Sementara itu, RUU tentang pemekaran wilayah, yang terhitung sederhana dan bisa cepat selesai, dibahas belakangan. Tentu yang diutarakan Zarkasih lebih menyangkut tataran praktis. Sementara itu, aspek dominasi kepentingan politik pemerintah pada pengajuan segerobak rancangan undang-undang itu tetap menjadi masalah serius.


Beberapa RUU Bermasalah

Materi Masalah
Keselamatan dan keamanan negara, serta rakyat terlatih.Bernuansa dominasi militer.
Hak asasi manusia dan Komisi (sudah enam bulan dibahas, belum jadi UU).Hak asasi manusia mesti diatur dalam UUD nasional Hak Asasi Manusia.
Unjuk rasa (sudah jadi UU).Mengebiri kebebasan berpendapat.
Perubahan sebagian KUHP.UU Antisubversi dicabut, tapi substansinya disisipkan dalam UU Perubahan KUHP.
Perubahan kekuasaan kehakiman.Hanya mengubah dua pasal, tak menuntaskan soal kemandirian yudikatif.
Tenaga kerja (sudah jadi UU).Belum sempat diterapkan, sudah ditangguhkan.
Kepailitan (sudah jadi UU).Belum setahun berlaku, sudah akan direvisi.
Perbankan (sudah jadi UU).Lahir lebih dulu ketimbang UU Bank Indonesia.
Kehutanan. Masih berkonsep eksploitasi hutan dan tak mengakui hak ulayat.
Minyak dan gas bumi.Konflik monopoli dan liberalisasi hak pertambangan (sudah enam bulan dibahas, belum jadi UU).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus