Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dakwah Keras Penganjur Syariat
FPI dan HTI diproklamasikan setelah reformasi. Mengkampanyekan penegakan syariat Islam.
PUKUL empat sore, Ahad dua pekan lalu. Di halaman Pondok Pesantren Al Umm, Tangerang, Banten, sambil duduk lesehan, puluhan laki-laki dan perempuan melantunkan selawat. Menundukkan wajah dalam-dalam, orang-orang berjubah putih ini memanjatkan doa dan puji-pujian untuk Nabi Muhammad SAW.
Di sepanjang jalan menuju pesantren, berdiri pula puluhan pria berjubah putih. Mereka sibuk mengatur arus jemaah yang mengalir masuk, sambil sesekali mengangkut ratusan besek berisi hidangan berbuka puasa. Di punggung mereka tertera lambang dan tulisan hijau Laskar Front Pembela Islam. Ketika selawat selesai, beberapa orang bergabung bersama jemaah lain, membaca Surat Yasin hingga menjelang waktu berbuka.
Pengajian itu merupakan kegiatan rutin Front Pembela Islam selama Ramadan ini. Tiga hari sebelumnya, Markas Dewan Pimpinan Pusat FPI di Jalan Petamburan III, Tanah Abang, Jakarta Pusat, menyelenggarakan pengajian serupa. Ratusan anggota FPI berselawat, membaca Yasin, mendengarkan ceramah, diakhiri dengan buka puasa bersama. "Kami ingin meminta petunjuk Allah mengenai mana yang benar dan mana yang salah," kata juru bicara FPI, Slamet Maarif.
Pengajian Ramadan--bersama tablig akbar, safari dakwah, serta pengajian mingguan dan bulanan yang digelar oleh pengurus daerah atau pusat--merupakan bagian dari perjuangan di bidang dakwah FPI. "Tujuannya meningkatkan iman dan takwa kepada Allah," ujar Slamet.
Meski rutin dijalankan, syiar dakwah itu seperti tenggelam oleh citra FPI yang berbalut kekerasan. Hampir 20 tahun berdiri, FPI memang lebih terkenal karena tindakannya yang anarkistis alias suka mengambil alih hukum ke tangan sendiri. Mereka merusak sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta pada Maret-Juni 2002; menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monumen Nasional, Jakarta, pada Juni 2008; dan membubarkan rencana diskusi terbatas forum lintas agama di Surabaya pada Januari 2011.
Menurut Slamet, sikap keras FPI merupakan salah satu cara organisasi itu berjuang. Istilahnya hisbah, yakni menegakkan amar ma'ruf nahi munkar atau menjalankan yang baik dan mencegah yang buruk. Hisbah, kata Slamet, mesti tegas karena medan perjuangannya juga keras. "Di mana ada kemaksiatan, di situ kami akan memeranginya," ucapnya.
Pada masa awal reformasi, tepatnya 17 Agustus 1998, sejumlah habib, ulama, mubalig, dan kiai di Pondok Pesantren Al Umm mendirikan FPI. Mereka antara lain Rizieq Syihab--kini imam besar FPI--Misbahul Anam, dan Cecep Bustomi. Melihat maraknya kemaksiatan, FPI bertekad menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Sebenarnya ide pendirian FPI, menurut Slamet, lahir enam bulan sebelum deklarasi pada Agustus itu, yakni tatkala Rizieq bersama Slamet dan Misbahul berada di dalam kereta api yang tengah bergerak ke Ponorogo, Jawa Timur, untuk menghadiri acara maulud di kota itu. Rizieq menunjukkan keprihatinannya terhadap kemaksiatan. "Masak, semuanya menanam padi tapi enggak ada yang nangkepin dan gebukin hamanya?" kata Slamet, menirukan Rizieq.
Kendati bertekad mengenyahkan kemaksiatan, kegiatan perdana FPI banyak bersinggungan dengan politik setelah lengsernya Soeharto. Misalnya pengamanan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa pada akhir 1998. Dari aktivitas politik semacam itu, muncul dugaan bahwa FPI dibeking sejumlah petinggi militer.
FPI diduga dekat dengan Jenderal Wiranto--kini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan--lantaran ratusan anggotanya menyerbu kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Juni 2000. Mereka memprotes pemeriksaan terhadap Wiranto atas dugaan terlibat pelanggaran hak asasi manusia pada kasus Mei 1998. Wiranto dan Rizieq sama-sama menyangkal tudingan kedekatan ini.
Dugaan kedekatan dengan tentara juga muncul ketika FPI menggelar unjuk rasa tandingan terhadap mahasiswa yang menentang Rancangan Undang-Undang Keadaan Darurat yang diajukan Tentara Nasional Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat pada Oktober 1999. Petinggi militer pada 1998-1999 ditengarai ada di belakang FPI, yakni Kepala Kepolisian Daerah Jakarta Mayor Jenderal Nugroho Djajoesman dan Panglima Daerah Militer Jakarta Mayor Jenderal Djaja Suparman.
Sejak itu, FPI semakin berkembang, meski selalu dibayang-bayangi dugaan akan kedekatannya dengan militer--gara-gara ia kerap lolos jerat hukum. Kini organisasi itu sudah membuka kantor perwakilan di 26 provinsi. Total anggotanya diperkirakan 2-3 juta orang. Menurut Slamet Maarif, banyak yang lantas bergabung karena menganggap FPI sungguh-sungguh memperjuangkan kebenaran. "Kalau yang diperjuangkan salah, ya, pasti kami ditinggalkan," ucapnya.
Meski anggota FPI berasal dari berbagai kalangan, latar belakang santri, pengikut majelis taklim, atau murid pesantren merupakan mayoritas anggotanya. Para santri, menurut Slamet, bergabung lantaran kiai mereka telah lebih dulu masuk FPI. "Santri kan pasti mengikuti kiainya," kata Slamet. Keberadaan santri ini menjadi salah satu faktor yang memudahkan FPI mengumpulkan massa. "Tidak sulit mengerahkan puluhan ribu orang, karena hanya perlu menghubungi kiainya."
Di Indonesia, bukan cuma FPI yang memperjuangkan syariat Islam. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lebih dari sekedar menjalankan amar ma'ruf nahi munkar, dan tidak menyembunyikan niatnya untuk mewujudkan khilafah islamiyah. HTI sangat politis. Dalam konsep itu, negara harus menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam kehidupan masyarakatnya.
HTI merupakan turunan Hizbut Tahrir yang dibentuk di Yerusalem, Palestina, pada 1953. Pendirinya Taqiyuddin An-Nabhani, ulama alumnus Al-Azhar Mesir, yang pernah menjadi hakim Mahkamah Syariah di Palestina. Dari Palestina, Hizbut Tahrir berkembang ke Timur Tengah, Eropa, hingga akhirnya sampai ke Asia. Di Indonesia, Hizbut Tahrir dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi pada 1982. Ketika itu dia baru tiba dari Sydney, Australia, bersama Abdullah bin Nuh, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ghazali, Bogor.
Abdurrahman menularkan pemikiran Hizbut Tahrir kepada mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang tengah giat melakukan kajian keislaman di Masjid Al-Ghifari, kampus IPB. Dia membentuk halakah atau kelompok pengajian kecil untuk mendalami ajaran Hizbut Tahrir. "Beliaulah yang pertama kali membawa paham Hizbut Tahrir ke Indonesia," kata anak Abdullah bin Nuh, Muhammad Mustofa, pertengahan Mei lalu.
Ajaran itu kemudian terus berkembang, terutama di lingkungan kampus. Juru bicara HTI, Ismail Yusanto, mengatakan masifnya perkembangan ajaran HTI di kampus karena di sanalah tempat orang-orang gemar mempelajari sesuatu. "Setelah lulus kuliah, mereka menyebarkannya di lingkungan masing-masing," ujar Ismail, Selasa pekan lalu. "Model transmisinya memang sangat natural."
Kini anggota HTI diperkirakan lebih dari 1 juta orang, tersebar di 34 provinsi dan 402 kabupaten/kota. Basis terkuat ada di Jakarta, Bogor, Surabaya, Bandung, Kendari, Makassar, dan Medan. Menurut Ismail, banyak yang tertarik bergabung karena menganggap ajaran HTI benar. "Yang dibangun itu kan akidahnya. Jadi kalau sudah kena, ya, dia merasa ini benar," ucapnya.
Belum sempat mimpi khilafah mereka terwujud, pada 12 Mei lalu pemerintah memutuskan membubarkan HTI. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan ideologi khilafah mengancam kedaulatan Indonesia karena bersifat transnasional dan meniadakan konsep nation state. "Mereka hendak mendirikan negara Islam dalam konteks luas sehingga negara dan bangsa menjadi absurd," ujarnya. "Ini terjadi di Indonesia yang berbasis Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo