Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERUKURAN 3 x 4 meter, kantor Radio Rodja terletak tak sampai 10 meter dari muka Masjid Al-Barkah di Kampung Tengah, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Terletak di samping ruangan berisi koleksi buku dan kitab ajaran Islam, studio Rodja--singkatan dari Radio Ahlussunnah wal Jamaah--kedap suara dan memiliki peralatan audio lengkap. Di depannya, sejumlah operator asyik bekerja.
Dari studio inilah dakwah islami disiarkan ke berbagai penjuru negeri. Pada akhir 2016, seperti tersimpan di situs Radio Rodja, disiarkan dakwah bertajuk Fakta Baru Wali Songo. Ceramah itu menghadirkan Ustad Zainal Abidin Syamsudin, yang dikenal sebagai tokoh salafiyah--kelompok yang mengajarkan syariat Islam secara murni. Zainal awalnya menjelaskan fungsi ilmu sejarah. Lalu mulailah dia bercerita tentang Wali Songo dengan mengutip berbagai sumber.
Mengudara tanpa henti, Rodja hanya menyajikan kajian agama, murottal (pembacaan) Al-Quran dan hadis, atau kajian fikih--bidang ilmu dalam syariat Islam yang membahas persoalan hukum. Tak ada pemutaran lagu di sini. Perwakilan manajemen Rodja, Fuut (namanya memang hanya satu kata--Red.), yang ditemui Tempo sepekan sebelum Ramadan, enggan menanggapi kabar bahwa stasiun radionya disebut menyebarkan dakwah Islam konservatif. "Kami masih trauma atas pemberitaan di sejumlah media yang menyudutkan Rodja," ujarnya.
Rodja mulai melakukan siaran perdana pada Maret 2005 dengan peralatan dan pemancar seadanya. Menurut Fuut, modal awal stasiun radio itu hanya Rp 3,5 juta. Semula mereka menggunakan frekuensi 107,9 FM, yang hanya bisa ditangkap sebagian warga di sekitar studio Rodja. Belakangan, Rodja beralih ke frekuensi 756 AM sehingga daya jelajah siaran kian luas. "Alhamdulillah, siaran Rodja dapat dijangkau masyarakat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, bahkan daerah lain," kata Fuut.
Kini siaran Rodja di-relay sejumlah stasiun radio di Bandung, Berau (Kalimantan Timur), Pontianak (Kalimantan Barat), Lampung, dan Tanjung Pinang (Kepulauan Riau). Rodja juga memperluas cakupannya melalui Internet. Para pendengarnya bisa mengunduh aplikasi melalui gawai. Sepanjang ada koneksi Internet, siapa pun di seluruh dunia bisa mendengarkan siaran Rodja. Fuut mengklaim Rodja bisa beroperasi hanya dengan mengandalkan sumbangan pendengar.
Pada 2009, Rodja merilis siaran televisi yang disiarkan streaming melalui Internet dan parabola. Isinya tak jauh berbeda dengan stasiun radionya. Jaflhairi, 35 tahun, warga Kota Bogor, merasa senang terhadap dakwah dan kajian Islam yang disiarkan stasiun radio dan televisi Rodja. Sepanjang pengetahuannya, Rodja tak pernah menyebarkan dakwah yang mendukung gerakan radikal. "Semua siarannya menolak kekerasan."
GELIAT dakwah melalui gelombang radio terjadi di banyak wilayah. Di Yogyakarta, ada Radio Muslim yang menggelar siaran lewat Internet. Dari ruangan 2 x 3 meter di sisi timur Masjid Al-Hasanah di Jalan C. Simandjuntak, stasiun radio bermoto "Memurnikan Aqidah, Menebarkan Sunnah" itu menyiarkan berbagai kajian dakwah. "Yang membedakan Radio Muslim dengan lainnya, kami berpedoman pada Al-Quran dan sunah," ujar Khumaidi, manajer siaran, yang ditemui Tempo.
Tiada musik di stasiun Radio Muslim. Bahkan, untuk mengisi jeda siaran, mereka memperdengarkan murottal. Tak ada pula perempuan yang bergiat di studio tersebut. Tiga penyiarnya semua laki-laki. Siaran tentang kajian agama untuk muslimah pun, kata Khumaidi, dibawakan oleh pria, bukan ustazah. "Pendengar radio kami berasal dari berbagai kalangan, yaitu mahasiswa, ibu rumah tangga, atau pekerja kantoran. Jumlahnya 150-200 pendengar setiap kajian."
Di Kelurahan Semanggi, Solo, mengudara Persada FM, stasiun radio milik Majlis Tafsir Al Quran (MTA). Berdiri pada 2007, Persada juga menyebarkan dakwah melalui Internet, termasuk membuat stasiun televisi online pada 2010. Perkembangan Persada cukup cepat. Empat tahun mengudara, mereka mendirikan stasiun televisi lokal. "Kami juga memancarkan siaran melalui satelit," ucap pembina Persada FM, Rudi Herfianto.
Uniknya, Persada memiliki program hiburan. Musik pop hingga gamelan pun dikumandangkan. Semua lagu boleh diputar, kecuali satu: "Kami tidak akan menyiarkan lagu yang liriknya ada unsur doa," kata Rudi. Penyebabnya, pengelola Persada memandang menyanyi bukan bagian dari doa. Stasiun radio itu juga menerima duit hasil iklan perusahaan apa pun, kecuali dari pabrik rokok.
Menurut catatan Tempo, Komisi Penyiaran Informasi Daerah Jawa Tengah pernah menegur Persada pada Mei 2009. Isi dakwah stasiun radio itu dianggap menyinggung warga Nahdlatul Ulama karena menyatakan tak perlu ada tahlilan atau membaca Surat Yasin kala memperingati kematian. Rudi membenarkan. Dia menyatakan Majlis Tafsir Al Quran memang tak sepakat pada beberapa amalan kelompok Islam lain. "Tapi kami tetap menghormati perbedaan itu."
HASIL studi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta menunjukkan kelompok Islam konservatif semakin giat memanfaatkan stasiun radio untuk berdakwah. Direktur Advokasi dan Manajemen Pengetahuan PPIM UIN Dadi Darmadi mengatakan, bagi kelompok ini, penggunaan stasiun radio dinilai lebih efektif ketimbang menggelar dakwah langsung di jalan. "Mereka berhadapan dengan kelompok lain, seperti NU dan Muhammadiyah, saat berdakwah di jalanan," ujar Dadi.
Perkembangan lembaga siaran yang dimiliki kelompok Islam konservatif agaknya membuat gerah kelompok Islam lain. Mantan Koordinator Media Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Joko Santoso, mengatakan lembaganya sudah membentuk berbagai stasiun radio komunitas NU yang tersebar di empat kabupaten dan kota di Yogyakarta. Antara lain, stasiun radio Marisa di Wates, Suara Pandanaran di Sleman, dan Darul Quran di Gunungkidul.
Menurut Joko, pendirian itu dilakukan salah satunya lantaran protes warga Nahdliyin terhadap siaran yang mengharamkan tradisi NU, semisal peringatan 7 hari, 40 hari, atau 1.000 hari orang yang meninggal. Joko kini menjadi pengelola stasiun radio Kartika Buana, yang masih melakukan uji coba. "Akan kami kelola lebih profesional," katanya.
Koordinator Siaran Marisa FM Ista Nurgianto mengatakan stasiun radio komunitas NU masih jatuh-bangun melawan "gempuran" stasiun radio kelompok konservatif. Dia mencontohkan, komunitas NU mencoba mendirikan stasiun radio di Kecamatan Nanggulan dan Sentolo, tapi gagal memenuhi syarat pendirian, yaitu dukungan berupa 500 kartu tanda penduduk. "Sedangkan stasiun radio dakwah kelompok lain merata di mana-mana, bahkan siaran dengan satelit," ujar Ista.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo