KETIKA menulis laporan ini, saya merasa sebagai wartawan dengan stamina puncak. Suasana reportingnya, eh, sudah dalam takaran high reporting. Betapa tidak: aku berhasil masuk ke dalam dua istana sampai ke liku-liku gangnya yang sunyi, dalam lingkungan tembok tinggi, tak terdengar suara mobil, hanya desah suara angin. Aku berhasil ketemu dan bebas mewawancarai bunga-bunga istana di lantai Sasono Sewoko. Peristiwa ini belum dilakukan wartawan lain, memang, wartawan majalah wanita sekalipun. Juga kisah dan masalah dalam laporan saya ini, tentang mereka. Wawancaranya saja di Sasono Sewoko, itu bangunan utama Keraton. Masih lagi, suasana senja menjelang malam hadir di Keraton ikut menambah rasa romantis putri kasunanan. Sampai aku heran, kok saya bisa ke situ. Yang hebat aku, atau nama majalah ini? Tak tahu. O ya, wawancara di Sasono Sewoko itu hanya di lantai. Kalau di kursi, tak boleh, dilarang, itu 'kan singgasana raja. Juga berlangsung di emperan Panti Rukmi (rumah keputren) dan bangunan lain yang kami pilih. Bangunan, pot bunga, meja berukir mesti mendukung lancarnya wawancara kami. Tentu, aku masuk Keraton dan mewawancarai putri-putri itu berulang kali. Untuk menuliskan profil mereka. Klise saya cetak dulu, biar pas. Karena sering memandangi fotonya, dan mewawancarai mereka, hatiku kok "greg" juga. Saya terangkan pada dia, " Gusti Mur, amargi kulo asring nyawang foto panjenengan, manah kulo kok dados goreh, " Dan jawab Gusti Mur, "Ah, punopo inggih. Mas Kastoyo ki kok ngaten Iho ...." (Terjemahannya: "Gusti. . ., karena sering memandang foto Anda, hati saya kok jadi guncang. Dijawab: "Ah, masa? Mas Kastoyo kok begitu, Iho ...." Tentu, dialog itu hanya ditelan angin. Dan tentu juga aku bisa masuk Keraton sampai demikian jauh, karena pertolongan tokoh dalam yang penting, yang sangat penting. Waktu berlangsung resepsi mewah di Sasonomulyo untuk perkawinan Kus Sabandiyah dan Ir. Sony, aku melihat tiga putri duduk berjajar. Wajah mereka ayu, luwes, tapi sorot matanya melukiskan hati mereka yang tegang. Nah, ide itu datang. Aku pun menghubungi tokoh itu. Dan diterima. * * * Begitu memasuki Kamandungan - pintu gerbang terluar Keraton - yang terlihat adalah sekelompok satpam. Mereka memandang saya penuh selidik, seperti umumnya petugas keamanan. "Saya mau sowan Gusti Mur. Sudah ada dawuh, " kataku. Mereka membiarkan aku memasuki Istana, menuju Sekretariat Keraton untuk mendaftarkan diri. Tetapi baru berjalan beberapa langkah, kulihat Gusti Mur - Gusti Raden Ayu Kus Murtiyah muncul di Pura Sri Manganti. Aku membelokkan langkahku menghampiri dia. Dan para pegawai Istana memandang tanpa komentar. Gusti Mur membawa aku memasuki keraton yang sudah berusia 240 tahun itu. Melalui halaman bangunan Istana yang terdiri dari Sasono Sewoko (tempat Susuhunan, sebutan raja Solo, menerima audiensi) dan Sasono Hondrowino (tempat Susuhunan bersantap dan menjamu tamu agung), kami menuju Panti Rukmi, atau kompleks Keputren, tempat semua gadis Istana berdiam. Keraton ini, meski sudah sering diperbaiki, konon belum pernah mengalami perubahan susunan, sejak didirikan Pakubuwono ll pada 1745. Pohonpohon sawo keciknya, yang sejak dulu merindangi halaman, tak pernah terusik. Hening. Hiruk pikuk lalu lintas di luar tembok Istana tak mampu menelusup ke dalam. Yang terdengar hanya kicau burung dan gemersik dedaunan tertiup angin. Di dalam Panti Rukmi keheningan terasa lebih menekan. Bangunan itu dipisahkan dari bangunan lain oleh sebuah tembok tinggi. Pohon yang tumbuh di halamannya lebih beragam ketimbang yang di halaman Istana. Bisa dilihat, selain sawo kecik juga ada mangga dan duwet. Selain itu, di tengah halaman terdapat taman bunga yang lumayan indah. Ada kolam di tengahnya, dan di ujungnya terdapat pendopo, atau bangunan terbuka tanpa dinding, joglo yang tampak baru selesai diperbaiki. Genting, cat, dan lantainya masih baru. Dindingnya penuh ornamen, tiangnya berukir. Di belakang pendopo joglo itu terdapat bangunan utama Panti Rukmi yang juga baru selesai dipugar. Gedung utama itu terdiri dari sebuah bangunan limasan memanjang dan tiga bangunan joglo limasan yang juga memanjang. Luas masing-masing kira-kira 400 m. Bangunan pertama dulu tempat tinggal para garwa ampil (selir) Susuhunan, sementara tiga bangunan sisanya tempat tinggal para putri Istana. Tiga bangunan itu temboknya bercat abu-abu, sedangkan semua jendelanya yang besar dicat hijau. Lantainya marmar Italia. Hiasan lain, sekelompok pot bunga Cina antik, berderet sepanjang dinding. Rasanya, memang seperti berada di sebuah dunia lain. Tetapi begitu melongok ke dalam melalui jendela, perasaan itu sirna. Panti Rukmi disekat sekat menjadi kamar-kamar, mirip asrama. Di sebuah kamar yang agak besar terdapat pesawat televisi, video, dan telepon. Mebelnya semua terbuat dari kayu jati berukir yang tampak sudah antik. Potret PB X, PB Vll, PB Vlll, dan PB Vl berderet memenuhi dinding. Dengan jumlah putra Susuhunan dan istri yang sekarang, bangunan sebesar itu memang menjadi berlebih. PB Xll dulu punya enam garwa ampil. Kini tinggal empat: R.Aj. Madyaningrum, R.Aj. Retnodiningrum, R.Aj. Rochgasmoro, dan R.Aj. Pudjoningrum. Yang sudah meninggal R.Aj. Pradoponingrum dan R.Aj. Kusumoningrum. Seluruh putra PB Xll 35 orang 19 putra dan 16 putri. Dari 16 putri itu, kini yang masih tinggal di Keraton cuma 6. Yang lain sudah menikah. Keenam gadis ini adalah Gusti Raden Ayu (G.R.A.) Kus Saparsiah. G.R.A. Kus Samsiah, G.R.A. Kus Isma niah (semuanya masih kecil), G.R.A Kus Suwiyah, 22, G.R.A. Kus Indriyah 22, dan G.R.A. Kus Murtiyah, 25. Gusti Murtiyah inilah yang kali in mengajak saya memasuki Panti Ruk mi, setelah sebelumnya mengadakar perjanjian melalui kakaknya, Kanjen Gusti Pangeran Haryo Hangabehi, calon Susuhunan. Nah, dialah toko penolong saya itu. Gusti Murtiyah pula yang berdiri di depan saya ketika senja menyelimut Keraton. Garis-garis sinar matahar yang lunak bergayutan di ranting ranting sawo kecik di halaman Sasono Sewoko. "Cinta?" ucap Gusti Mur tiyah. "Tentu, aku memikirkan dan mengkhayalkannya. Tetapi sampai saat ini aku belum menjalaninya secara sungguh-sungguh. Belum ...." Disandarkannya tubuhnya ke pohon sawo kecik. Gusti Mur adalah gadis Istana yang paling lincah, paling berani, dan periang. Ketawanya banyak dan suka humor. Tetapi, sebagai putri keraton, dia juga tahu bersikap sopan dan bertutur sapa halus. Ini sangat tampak jika dia berbicara dalam bahasa Jawa. Rambutnya dibiarkan tergerai sampai punggung, bibirnya tipis, dan lehernya panjang. Di leher itu sering tergantung kalung mutiara. Dengan tinggi 160 dan berat 46, Gusti Mur termasuk gadis yang ramping. "Percayalah, aku belum punya katresnan. Yang memiliki diriku saat ini adalah Keraton," katanya, seolah meyakinkan saya yang berdiri melenggong di depannya. Direntangkannya tangannya seolah memeluk bangunan Sasono Sewoko di depannya. Bukan karena jarang bergaul atau kurang punya kesempatan berjumpa dengan orang luar, jika gadis ini belum punya pacar sampai sekarang. "Saya diberi kebebasan, meski ada batasnya. Tetapi, bagaimanapun juga, saya ini kembange kedaton, alias bunga Istana. Perjumpaan Gusti Mur dengan orang lain yang paling sering tentu dengan kerabat Keraton. Dengan dunia di luarnya, dia telah bersentuhan sejak masuk sekolah umum dan kemudian perguruan tinggi saat ini. Gusti Mur adalah mahasiswa Sastra Jawa Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, semester sembilan. Tak satu pun perjaka, baik di SMA, dulu, atau di universitas, sekarang ini, berani mengusiknya. Begitu pengakuan Gusti Mur. Dia juga tak punya rasa tertarik khusus kepada seorang dari mereka. "Entahlah, di mataku para mahasiswa itu sikapnya masih kekanak-kanakan. Belum matang," ujarnya. Tetapi, mungkin juga teman-temannya minder menghadapi putri kedaton ini. Idamannya adalah lelaki dengan fisik gagah seperti kakek buyutnya, Pakubuwono IX. Selain itu ada satu syarat lagi: "Saya suka pada kejantanan. Saya sangat khawatir kalau suami saya nanti tak mampu memberi anak," katanya, sambil duduk di bibir lantai Sasono Sewoko. Aku pun, demi sopan santun, buru-buru ikut duduk. Tuntutan itu agaknya tak cuma datang dari dia. Gusti Mur sangat mengenal Sastra Jawa dan kitab-kitab Istana. Dia tahu perbuatan raja-raja Solo dulu. Salah satunya adalah yang diceritakannya kali ini. Pakubuwono IX, menurut dia, punya kebiasaan mengawinkan anak putrinya dengan lelaki bangsawan yang pernah beristri. Tujuannya? "Tidak diragukan lagi, satriya yang begitu jelas ketahuan mampu atau tidak memberi anak," katanya tersenyum. Tetapi dia menolak ketika disebut setuju poligami atau bersedia kawin dengan duda. "Bukan begitu menyimpulkannya. Yang aku idamkan adalah satriya yang jantan." Dari buku-buku karangan pujangga-pujangga keraton itu, Gusti Mur juga memperoleh banyak keahlian lain. Di antaranya cara merawat tubuh agar tetap cantik (ngadi sariro), cara membatasi kelahiran, dan soal lain yang paling intim dalam hubungan suami-istri. Mendalami buku-buku seperti itulah yang menjadi cita-citanya setelah lulus nanti. "Saya akan terus bergaul dengan buku-buku kuno untuk mendalami, menerjemahkan, menafsirkan, dan menuliskannya kembali, agar dipahami banyak orang," katanya. Karena itu, dia sangat mengharapkan seorang suami yang bisa mengerti pekerjaannya itu. Tetapi, tentang suami itu, "Masih gelap," desahnya lirih di pelataran Sasono Sewoko, ketika malam sudah mulai mendatangkan kegelapan dan lampu-lampu neon di pojok-pojok Keraton sudah dinyalakan. Bagi dia, itu sebenarnya bukan persoalan yang terlalu pelik. Selain atas usulnya sendiri, dia bisa pula kawin karena dijodohkan orangtuanya. Aturan untuk menjodohkan itu, kata dia, termuat di Serat Woroyagnyo karangan Sri Mangkunagara IV. Di buku itu antara lain bisa diperoleh pegangan khas orang Jawa jika mencari menantu yang sudah terkenal: bibit, bebet, bobot. Artinya, kira-kira, asal usul, watak, dan harta atau jabatan yang disandang. Memilih sendiri atau dijodohkan bagi Gusti Mur sama saja. Dua-duanya ia bisa menerima. "Terserah Tuhan. Saya cuma nyadong paringane pangeran. Maksudnya, siapa pun yang diberikan Tuhan, dia mau menerimanya. Yang dia inginkan, sekarang ini, adalah menjadi sarjana. "Sekolahku harus rampung," katanya mantap. Selain itu, mempopulerkan kesenian keraton. Bersama adik-adiknya dia sering menarikan tarian keraton, baik di luar maupun di dalam Keraton, jika ada tamu agung datang. Juga pernah menari di luar negeri - di Jepang. * * * Dua putri istana lain yang sudah cukup umur adalah G.R.A. Kus Indriyah, 23, dan G.R.A. Kus Suwiyah, 22. Kus Indriyah adalah adik kandung Kus Murtiyah dan K.G.P.H. Hangabehi - putra tertua. Ibunya R.Ay. Pradapaningrum, sudah meninggal. Sedangkan ibu Kus Suwiyah adalah R.Ay. Madyaningrum. Gusti In - G.R.A. Kus Indriyah - berkulit putih, dan dengan tingginya yang 163 dan berat 47, tampak lebih ramping ketimbang kakaknya. Cara berdandan mereka tak jauh berbeda. Gusti In membelah rambutnya dalam dua ikatan. Rambut itu lurus dan dibiarkan tergerai sampai punggung. Matanya bulat, tetapi tak seterang mata kakaknya. Gusti In memang lebih halus dan lebih pendiam ketimbang Gusti Mur. Seperti kakaknya, dia juga kuliah di UNS, dan sekarang sudah menginjak semester ketujuh. Dia mengambil jurusan hukum karena ingin memperdalam hukum antarnegara dan bekerja di suatu departemen. Minggu siang itu, ketika menerima saya, Gusti In memakai kebaya biru laut dengan bunga-bunga putih dan kain yang juga biru laut. Kami duduk di bibir lantai Sasono Hondrowino yang dindingnya berkaca. Kembang kedaton yang ini pun mengaku belum pernah "diusik" lelaki. Dia bahkan bilang tak terlalu memikirkannya. "Sedikit pun aku belum punya kegelisahan dalam urusan itu," katanya. "Sampai saat ini aku belum punya katresnan, segala perhatian kutumpahkan pada kuliah." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk membenahi pucuk kainnya yang agak tersingkap. Dia cuma punya keinginan, suaminya nanti mampu memberi anak, dan berkumis. Mengapa berkumis? "Ah, pakai tanya segala. Pura-pura tak tahu, ya?" katanya sambil menahan senyum. Seperti kakaknya, dia juga tahu cara KB tradisional yang diajarkan kitab-kitab keraton. Dan itu, menurut pengakuannya, akan dia lakukan: Gusti In cuma pingin dua anak. Gusti In punya satu pegangan yang akan dipakainya untuk memilih pasangan. Pegangan itu diambilnya dari kitab Seral Menak karangan Yosodipuro 1: Gegarane wong akrami dudu rupo dudu bondo amun atipawitane. Artinya, kira-kira, pegangan orang kawin itu bukan rupa (wajah) bukan harta, tetapi hati, konon. "Dengan mendengarkan suara hati, saya memang bisa memilih. Tetapi sampai sekarang belum ada yang terpilih, dan belum pula dipilih," kata Gusti In, siang itu, menyimpulkan. Untuk Gusti Su - G.R.A. Kus Suwiyah - syarat utama calon pasangannya adalah: "suka Jawa, kebudayaan Jawa, dan cinta kepada Istana." Selain itu, dia tak mengemukakan syarat pasti. Apa pun dia mau, asal cinta. "Love makes any place agreeable, " ujar mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Sebelas Maret ini. Gusti yang satu ini punya alasan mengambil Jurusan Sastra Inggris. Ia ingin bekerja sama dengan saudaranya, Gusti Mur, menulis buku. Dia yakin, wawasannya akan sastra Jawa akan bertambah dalam dan lebih punya nilai jika dia belajar sastra Inggris. Selain itu, gadis ini juga bercita-cita menjadi dosen. Gusti Su, yang juga mengaku belum punya calon suami, memang agak lain dibanding kedua saudaranya. Dengan rok putih dan blus berenda yang juga putih yang sore itu dikenakannya, dan dengan rambutnya yang dikepang panjang sampai pinggang, dia tampak lebih tidak berbau istana. Duduk di antara pot-pot bunga di emper bangsal Marcukondo, gadis yang tingginya 159 cm dan beratnya 46 kg ini mengaku sering menggunakan telepon untuk berhubungan dengan dunia luar. Dengan telepon, kata dia, dia bisa berbicara dengan teman-temannya, atau kerabatnya atau saudaranya yang telah kawin dan tinggal di kota lain. * * * Beberapa putri keraton memang telah kawin dan tinggal di kota lain. Beberapa di antaranya, bisa disebut, G.R.A. Kus Supiyah, istri Ir. Silvanus, bekas gubernur Kalimantan Tengah, G.R.A. Kus Sabandiyah istri Ir. Sony Sudarsono, putra Menteri Sosial Nani Sudarsono, G.R.A. Kus Handariyah, istri Himbo Kusumo, dan G.R.A. Kus Kristiyah, istri Joko Mursito, putra Soedjono Humardhani. Tak semua menantu Raja berasal dari golongan atas. "Menantu PB Xll ada yang pernah jadi gubernur, ada yang anak menteri, ada yang pengusaha, pegawai bank, atau pegawai negeri golongan menengah," kata Kanjeng Raden Tumenggung Hardjonagoro, 53, bupati Keraton dan ketua art gallery Suaka Budaya Keraton Sala. "Dalam melangsungkan perkawinan putranya, Sinuhun memang demokratis," katanya. Sang Sinuhun sendiri memperkuat perkataan abdinya itu. "Si kontol panjang. Saya cukup bijaksana mendengar permintaan zaman," katanya. Itu berarti, calon menantunya tak mesti ningrat, tetapi sesuai dengan stuasi, kondisi, toleransi dan dengan pandangan yang panjang. "Di zaman seperti ini saya tak mau otoriter dalam hak cinta," sambungnya. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (K.G.P.H.) Hangabehi, 38, putra tertua dan calon pengganti PB Xll, yang juga kakak kandung G.R.A. Kus Murtiyah dan G.R.A. Kus Indriyah, punya pendapat senada. "Biarpun Keraton punya kendali, kami tetap memberi kebebasan kepada siapa mereka jatuh cinta," ujarnya. Hangabehi adalah paran para atau pelaksana pernikahan agung Keraton Solo. Karena itu, pendapatnya ikut menentukan dalam proses pemilihan menantu. Juga pada pernikahan Ir. Sony Sudarsono dengan G.R.A. Kus Sabandiyah yang menghabiskan biaya Rp 50 juta, September lalu. Untuk menjadi menantu Raja tentu tak sekadar bertemu dan jatuh cinta, meski yang seperti itu sekarang diperbolehkan. Ada beberapa tindakan yang akan dilakukan pihak Keraton sebelum menetapkan calor yang diusulkan atau mengusulkan diri. Misalkan Anda yang ingin diambil menantu. Ehm. Pertama kali, usahakanlah berkenalan dengan putri yang Anda tuju - boleh di kampus, di jalan, atau dimana saja. Setelah kenal cobalah berkunjung ke Istana. Jika kunjungan Anda disertai perjanjian dengar putri yang akan Anda temui, putri itu akan menanti Anda di ruang tamu di samping kori Sri Manganti. Jika Anda belum mengadakan perjanjian, Anda harus mendapat persetujuan pegawai istana yang akan menyampaikan kunjungan Anda ke putri dalem. Setelah pertemuan di ruang yang penuh dengan kursi berukir, meja marmar, dan berlantai pualam ungu itu, sang putri akan mempertimbangkan apakah akan menerima Anda. Jika ya, maka, "Aku akan melaporkannya pada Bunda. Bila Bunda setuju, barulah menghadap Raja," seperti dituturkan Gusti Su. Untuk Gusti Mur dan Gusti In, yang sudah tak punya ibu, laporan pertama ditujukan kepada saudara tertua, K.G.P.H. Hangabehi. Setelah menerima laporan, Raja akan bertanya begini, "Kamu mencintainya? Apa sudah mantap?" Habis itu, Raja akan menanyakan nama Anda, pekerjaan, orangtua Anda, jabatan, dan lain-lain yang dipandang perlu. Raja tentu tak dengan gampang menerima laporan sepihak. Dia akan memerintahkan para intel Istana menyelidiki Anda. Mencari sisik-melik, yaitu data tetang kehidupan Anda dan keluarga Anda. Laporan para intel ini lalu dipelajari Raja dan didiskusikan dengan para pembantunya. Selain itu, Raja juga akan meminta pendapat "orang bijak". Sampai di titik yang paling menentukan ini, jika sang putri betul-betul telah terpikat oleh Anda, dia akan minta Anda untuk berdoa. Untuk Gusti Mur, doa saja bahkan tidak cukup. "Saya akan meminta dia sembahyang tahajud." katanya. Jika akhirnya Raja setuju, gadis istana yang menjadi idaman Anda akan menyampaikannya kepada Anda. Tugas Anda selanjutnya adalah berunding dengan orangtua Anda untuk sowan ke Istana dan mengajukan lamaran. Seterusnya, jika lamaran diterima, tentu saja upacara perkawinan agung. Dan resmilah Anda menjadi menantu Raja. Tetapi selain dengan cara lebih dulu berkenalan seperti itu, ada cara lain yang bisa dilakukan. Yaitu langsung melamar ke hadapan Raja, meski belum kenal satu gadis istana pun. Dengan cara ini Anda tak bisa memilih. Yang menentukan putri mana yang akan Anda sunting adalah Raja. Biasanya, Raja akan menawarkan lamaran yang sudah dia setujui itu kepada putri tertua. Jika putri ini setuju, Anda akan dinikahkan dengan dia. Tetapi jika tidak, lamaran akan diteruskan kepada putri kedua. Demikian seterusnya. Biasanya, jika Raja sudah setuju, pasti ada putri yang bersedia. Jadi, tak usah khawatir. * * * Meski calon menantu kini bisa siapa saja, Keraton, terutama para garwa ampil Susuhunan, tetap bangga jika pasangan hidup anaknya orang yang punya bobot tinggi. Itu diakui oleh RAY Retnodiningrum, ibu G.R.Aj. Kus Sabandiyah. "Saya sangat bahagia bisa ngentas anak hingga jenjang perkawinan," katanya. Kebahagiaan itu, menurut dia, terutama terletak di saat-saat foto bersama. Dalam foto itu berjajar kedua pengantin diapit RAY Retnodiningrum, PB Xll, Presiden, dan Ibu Tien Soeharto. Kebahagiaan seperti ini juga diharapkan oleh para garwa ampil lain. Menurut G.R.A. Kus Murtiyah, ibunya, yakni RAY Pradapaningrum, sangat bahagia kala menyaksikan upacara adat pernikahan agung kakak kandungnya, G.R.Aj. Kus Supiyah dengan Ir. Silvanus. Saat itu Presiden dan Ibu Tien juga hadir. Gusti Mur ingin membuat ibunya berbangga hati lagi. "Sayang, Bunda telah meninggal," ujarnya. Keinginan para garwa ampil dan para putri untuk memperoleh menantu yang "berbobot" itu diamdiam menimbulkan kompetisi. G.R.A. Kus Indriyah sendiri mengakuinya. "Saya ingin berbuat yang menghasilkan sesuatu yang terbaik," katanya. Bahkan, menurut Gusti Mur, perjuangan untuk memperoleh gelar sarjana adalah perwujudan persaingan ini. Hanya, sampai saat ini, tak satu pun dari mereka yang bisa keburu memperolehnya. Paling tinggi sarjana muda. Ada hal lain yang membuat para garwa ampil sangat menginginkan menantu "berbobot": biasanya, dengan menantu jenis ini, upacara pernikahan agungnya akan dilakukan secara besar-besaran dan mewah. Kadang-kadang dengan dihadiri para pejabat tinggi pemerintah, malahan Presiden. Jika menantunya dari kalangan biasa, upacaranya tak akan begitu meriah, meski juga termasuk pernikahan agung. Kenyataannya, memang banyak menantu keraton yang tidak dari kalangan atas, seperti yang dijelaskan K.R.T. Hardjonagoro. Mengapa? Seorang pejabat keraton berkata, para putri itu sebenarnya kurang bergaul. Pergaulan yang luas dengan kalangan atas baru terasa meningkat setelah empat putri keraton, G.R.A. Kus Murtiah, G.R.A. Kus Indriyah, G.R.A. Kus Suwiyah dan G.R.A. Kus Sabandiyah, memulainya. Mereka membentuk kelompok penari keraton yang sering menyuguhkan serimpi dan bedaya asli keraton, yang bahkan juga dipertunjukkan di luar negeri. Kini, setelah G.R.Aj. Kus Sabandiyah kawin, anggota kelompok itu tinggal tiga. Apakah dengan cara memperluas pergaulan itu mereka akan punya menantu "berbobot" memang belum terbukti. Yang jelas, menantu seperti itu memang diperlukan untuk kelestarian keraton: dengan adanya mereka, keraton yang sudah tak punya kekuasaan dan sumber penghasilan tetap itu bisa lestari. Menurut K.G.P.H. Hangabehi, selama ini para menantu memang sudah sering menyumbang, meski baru sebagian. Karena itu, "Kami akan memberi kesempatan para menantu untuk aktif mengambil peranan," katanya. Banyak orang tahu, ada beberapa menantu yang sekarang ini menjadi penyangga keraton. Mereka antara lain Ir. Sony Sudarsono, Ir. Silvanus, Himbo Kusumo, dan jangan dilupakan Joko Mursito, anak Soedjono Humardhani. Soedjono bahkan disebut sebagai orang kuat keraton. * * * Masih ada satu lagi istana di Surakarta yang juga punya raja. Itulah Mangkunegaran, tempat bersemayam Sri Mangkunagoro Vlll yang semula memiliki dua orang istri. Yaitu almarhum garwa padmi (permaisuri) Gusti Kanjeng Putri, yang nama kecilnya Raden Ajeng Sunituti, dan garwa ampean Bandoro Raden Setyowati. Dari dua istri ini Kanjeng Pangeran Hariyo Hamijoyo Saroso, 64, memperoleh delapan putra: G.P.H. Radytio Probokusumo, yang meninggal karena kecelakaan tahun 1977, G.R.A. Retno Satuti, G.P.H. Jiwokusuko, G.P.H. Saktyo, G.P.H. Herwasto, G.R.A. Retno Rasasi, G.R.A. Retno Astrini, dan B.R.M. Saryatto. Retno Satuti telah kawin dengan Rahadian Yamin (almarhum), peragawan dan anak Muhammad Yamin itu, dan Retno Rasasi dengan Hudiono Rachmad Suwogono. Sehingga putri keraton yang tinggal di Istana kini cuma Retno Astrini. Keraton ini, juga Keraton Solo, punya karyawan sekitar dua ratus orang yang gajinya antara Rp 3.000 dan Rp 40.0O0. Untuk menjaga kelangsungan Keraton, pemerintah Rl memberi santunan per tahun Rp 1,5 juta dan Rp 400 ribu per kuartal untuk perawatan istana dan gaji karyawan. Sumber keuangan yang lain: hotel dan usaha perdagangan. Mangkunegaran punya PT Astrini yang bergerak dalam usaha perdagangan gula. Dulu mereka juga punya dua pabrik gula, yaitu Tasikmadu di Karanganyardan Colomadu di Kartosuro, Sukoharjo. Setelah Indonesia merdeka, dua-duanya dinasionalisasikan. "Sayang juga," kata Mangkunagoro Vlll. "Kami kehilangan sumber dana penting." Selain itu, Mangkunegaran juga punya sebuah hotel yang terletak di dalam kompleks Istana. Hotel itu, yang diberi nama Hotel Mangkunegaran, tergolong hotel mewah di Surakarta. Dan cukup laris. Hotel itulah yang terlihat pertama kali jika kita berkunjung ke Istana Mangkunegaran. Arsitekturnya Jawa, halamannya luas dilengkapi dengan taman bunga dan pohon-pohon peneduh yang rindang. Sekitar dua ratus meter dari hotel, terdapatlah Pendapa Agung Istana. Pendapa ini, seperti namanya, sangat luas dan berbentuk joglo. Kegunaan utamanya adalah resepsi dan pertunjukan kesenian. Berbeda dengan Keraton Kasunanan Solo, yang tak mengizinkan mobil memasuki kamandungan, Keraton Mangkunegaran memperbolehkan mobil langsung parkir di depan Pendopo Agung. Suasana keraton ini secara umum juga berbeda dengan Keraton Kasunanan. Perasaan bahwa saya berkunjung ke sebuah istana hampir-hampir tak ada. Rasanya, cuma berada dalam rumah seorang bangsawan kaya yang terawat dan mewah. Di halaman, di samping Pendopo Agung, diparkir beberapa mobil mahal milik Sri Mangkunagoro Vlll, putra-putranya, dan para kerabat yang datang berkun jung. Para kerabat ini tergabung dalam kelompok yang bernama Himpunan Kerabat Mangkunegaran. Salah satu anggotanya: Ny. Tien Soeharto. Di timur Pendopo Agung terdapat bangunan berbentuk joglo limasan memanjang. Inilah Kantor Sekretariat Istana, tempat G.P.H. Jiwokusumo, kepala Dinas Istana dan calon Mangkunagara IX, berkantor. Gusti Jiwo inilah yang membawaku masuk ke dalam. Di balik Pendopo Agung, kulihat Pringgitan dan Dalem Agung, ketiganya adalah istana bagian depan. Istana bagian belakangnya disebut Ujung Puri. Di Ujung Puri terdapat beberapa bangunan berbentuk melingkar, disekat-sekat menjadi kamar-kamar dan berjendela lebar. Di tengahnya terdapat taman penuh bunga sedap malam, mawar, dan beberapa jenis lagi yang tak kukenal. Di bangunan inilah para putri dan putra raja berdiam. Putri di tengah, putra di barat, dan Raja dengan garwa ampinya di timur, di tempat yang disebut palereman. Di Ujung Puri bagian tengah ini kini hanya tinggal G.R.A. Retno Astrini, 20. Di tempat ini terdapat ruang tamu - berukuran 5 x 10 meter - yang terbuka. Tak seperti di Istana Kasunanan, meja kursi di sini semua model baru. Hanya hiasannya yang barang antik. Di ruang ini juga terdapat sebuah pesawat televisi layar lebar dan video. Berhadapan dengan ruang tamu adalah kamar Astrini. Pintunya terbuka, sehingga dengan jelas saya bisa melihat dia bersisir di depan kaca. Rambutnya lurus dan hitam. Gadis ini, menurut kakaknya, Jiwo, sudah punya teman intim - yang menurut seorang dalam adalah anak seorang menteri. Astrini memang diizinkan memilih sendiri pasangannya, asal memenuhi syarat bibit, bebet, bobot tadi. "Anak saya harus merasa sehati dan pikirannya. Anak merasa cinta, orangtua merasa lega dan percaya," kata Mangkunagara Vl. Selesai menyisir, Astrini saya lihat keluar menuju pesawat telepon di kamar sebelah. Setelah itu barulah dia menemui saya. G.R.A. Retno Astrini, sore itu, tampak segar dengan kaus putih bergambar bendera dan payung serta rok biru. Gadis itu tingginya 162 cm dan beratnya 46 kg, tampak ramping. Kulitnya kuning, mata bulat, gigi putih rajin. Make-up nya jelas terlihat, alisnya dihitamkan, pipinya disapu warna merah. Dengan gaya seperti itu, dia tak ubahnya seperti gadis modern. "Saya suka pada lelaki, yang banyak khayal, tetapi bukan khayal yang bukan-bukan," katanya. "Tepatnya, lelaki yang banyak gagasan, boleh agak khayal, asal berani mewujudkannya," sambungnya, sambil mengibaskan rambut. Sebertubuh tinggi, meski tak terlalu tinggi seperti orang Barat. "Seperti Mas Jiwo itulah, tetapi gemukan sedikit," tuturnya menahan senyum. Orang seperti itu, yang dicintainya, menurut dia sebenarnya belum ada. "Suka sih sering, tetapi jatuh cinta . . . ," ucapnya sambil menggelengkan kepala. Karena dia memang cuma seorang - tak ada rekan "berkompetisi" seperti putri-putri PB Xll - dia memang bisa santai. Dia bilang, dia ingin melanjutkan sekolahnya di Amerika Serikat - yang sudah dilakukannya sejak tahun lalu. "Saya memperdalam desain interior," katanya. Terutama dia suka penataan perabot antik. Untuk itu, bekalnya sebagai gadis istana dirasakannya sangat membantu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini