BILA tertuduh mencabut pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), itu biasa. Bila kemudian hakim menolak pencabutan itu, juga biasa. Yang tidak biasa: bila saksi yang dalam BAP - yang dijadikan salah satu dasar keputusan majelis hakim - disebut sebagai otak pembunuhan, ternyata, tidak diajukan sebagai terdakwa. Itu terjadi di Pengadilan Negeri Bandung yang hari Rabu dan Kamis pekan lalu memutus perkara pembunuhan janda kaya Ny. Epon (Rukmansih), 51, yang terkenal dengan "kasus Banceuy". Pengadilan ini memang sudah usai, tapi masih ada yang belum tuntas: empat terdakwa dijatuhi hukuman, sementara saksi yang disebut-sebut sebagai perencana bebas. Para terdakwa, Djamaluddin Malik, 40, menantu korban, diganjar 20 tahun Cecep Djauhari, 37, adik sepupu Djamaluddin, mendapat 18 tahun Suganda, 37, dalang wayang golek, kebagian 16 tahun sedangkan Tachya, 28, pegawai Djamaluddin, 7 tahun penjara. Akan halnya Sudjana Ermaja, 40, kakak ipar Djamaluddin, dosen Universitas Pasundan, Sukabumi, yang disebut sebagai perencana pembunuhan, bebas. Sejak semula para terdakwa mencabut BAP, yang menurut mereka disusun karena mendapat siksaan di kantor polisi. Luka-luka bekas penganiayaan pada tubuh terdakwa tidak diakui. Seperti kata Dja'far Suriadinata, salah seorang hakim, "Karena tidak ada pemeriksaan dokter ahli dan visum et repertum." Dan menurut hakim ketua, M.S. Lumme,"Alasan terdakwa mencabut BAP tidak kuat." Itulah sebabnya BAP dijadikan salah satu dasar keputusan. Sementara itu, Majelis mengesampingkan keterangan saksi yang meringankan terdakwa, "Karena saksi tidak mengalami sendiri dan tidak disumpah." Saksi itu ialah Ny. Mara Komala, istri Djamaluddin. Menurut BAP, pembunuhan pada pertengahan Desember tahun lalu itu direncanakan oleh Djamaluddin bersama dan di rumah Sudjana Ermaja, sampai dua kali, untuk merampok harta mertua mereka, Ny. Epon di Jalan Cikapundung (Banceuy), yang memiliki 14 rumah sewaan. Sebelum pembunuhan dilaksanakan, Djamaluddin - penyalur ikan basah di Pasar Baru, Bandung mengirim telegram dari Sumedang agar Ei Wellyanti, menantu Ny. Epon yang lain, ke Sumedang. Maksudnya agar Ei selamat dari pembunuhan. Sementara itu, Sudjana Ermaja mengajak Ganasah, anaknya, ke Sukabumi - juga dengan maksud agar selamat. Adapun pelaksanaan pembunuhan, oleh Sudjana diserahkan kepada Djamaluddin dan Suganda - yang kebetulan bermalam di rumah Sudjana. Djamaluddin kemudian mengajak Cecep dan Tachya. Yang mula-mula datang ke rumah Ny. Epon, sekitar pukul 20.00, adalah Cecep. Dia mengetuk pintu, yang dibukakan oleh Nyi Icih, 51. Ketika itu, Ny. Epon bersama Djamaluddin sedang menghadiri kenduri di rumah tetangga. Tengah malam, Djamaluddin datang ke rumah Ny. Epon, dan mendapati kedua kawannya sudah berada di dalam, sementara Tachya di luar. Yang pertama dibunuh adalah Ny. Epon, kemudian Nyi Icih. Leher mereka dijerat dengan tali plastik. Djamaluddin memegangi tangan korbab, sedangkan Suganda dan Cecep menarik jeratnya. Ganasah, yang kebetulan pulang malam itu dari Sukabumi dan tidur di lantai atas, terpaksa juga dibunuh oleh Suganda, agar tak ada saksi mata. Segera setelah itu, begitu menurut BAP cincin dan gelang emas sekitar 25 gram diambil, lalu ditanam di halaman rumah. Tapi esok harinya harta tersebut raib entah ke mana. Sementara barang bukti sampai persidangan selesai belum ditemukan, Majelis Hakim mengandalkan keterangan 15 saksi. Petunjuk lain yang meringankan vonis adalah keterangan Tachya kepada Saksi Arsyad Harahap, penjual undian sosial berhadiah yang menyewa rumah petak milik Ny. Epon, dan Ali Anggakusumah, bekas calon pembela Tachya. Menurut Arsyad, yang konon informan polisi, Tachya pernah bercerita kepadanya di Satserse Poltabes Bandung bahwa ia diajak Djamaluddin. "Saya ingin membantu memperbaiki citra polisi," ujar Arsyad dalam sidang - entah apa maksudnya. Adapun kesaksian Ali Anggakusumah: Tachya pernah berbicara "dari hati ke hati" dengannya. Dalam pengakuan yang direkam itu, Tachya menyatakan tidak membunuh Ny. Epon dan yang melakukan pembunuhan adalah Djamaluddin, Suganda, dan Cecep, sementara dia mengawasi di luar rumah. Tapi dalam sidang, Tachya membantah bahwa suara dalam kaset adalah suaranya. Berdasarkan keterangan saksi-saksi itulah pula Majelis Hakim memutus perkara ini. "Dihukum sejam pun saya tidak mau, karena saya tidak bersalah," ujar Djamaluddin, yang juga bendaharawan masjid dan dikenal dermawan di kampungnya itu. "Saya difitnah," sambung Cecep. "Malam itu suami saya bersama saya - sampai ia berangkat ke Pasar Baru, sekitar pukul tiga pagi," tutur Ny. Mara Komala. Menanggapi keputusan itu, Tanusubroto koordinator pembela, berujar, "Selama ini jaksa tak berhasil membuktikan tuduhannya dengan jelas. Ini barangkali merupakan keputusan tenggang rasa." Maksudnya, menenggang instansi kepolisian. Awal Oktober lalu, ketika sidang berlangsung, pihak polisi merasa perlu menangkap dan menahan selama dua hari delapan orang yang sedang menyaksikan keterangan Arsyad Harahap. Anehnya, pihak pengadilan tidak memberikan reaksi atas perbuatan polisi yang melangkahi kekuasaan hakim itu. Dan sejak itu para hakim tampak tidak terlalu bebas memberi kesempatan pembela dan terdakwa untuk bertanya. Anehnya, alibi terdakwa juga dikesampingkan oleh Majelis. Dua orang saksi menyatakan, pada malam naas itu mereka melihat Tachya berjualan ikan di Pasar Baru. Maka, kata Tanusubroto, "Kalau keputusan itu berpijak pada BAP, berarti Sudjana Ermaja harus diajukan sebagai terdakwa, karena ia terlibat sebagai perencana." Sementara Sudjana membantah bersekongkol dengan Djamaluddin, maka salah seorang anggota Majelis Hakim hanya berkomentar, "Tugas saya sebagai abdi negara sudah selesai."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini