WARGA Desa Sri Mukti boleh bangga. Sekali ini mereka dipimpin Nyonya Hanafiah, 48 tahun. Nyonya Han, demikian ia dipanggil, dalam pemilihan kepala desa (pilkades) dua bulan lalu, mendapat 1.800 suara. Dua saingannya masing-masing mengantungi 1.200 dan 700 suara. Kepala desa (kades) itu lalu melakukan reorganisasi: 38 aparat dari RT, RW, dan pamong desa diberhentikan. Mereka digantikan oleh pendukung Bu Kades. Menurut seorang kaur (kepala urusan), main comot tersebut dilakukan karena Nyonya Han janji, kalau ia terpilih maka pendukungnya diangkat sebagai perangkat desa. Aksi Nyonya Han membuat oposannya bereaksi: beberapa perangkat desa yang dipecatnya diam-diam melapor kepada Camat Tambun. Peringatan lisan terhadap ibu sembilan anak itu segera datang dari Camat Bambang Sujitno. Tapi tak mempan. Lalu Pak Camat memberi peringatan tertulis. Tumpul. Akhirnya, Nyonya Han dipanggilnya. "Saya memang salah, melakukan peremajaan tanpa melapor kepada Pak Camat," kata Bu Kades. Pekan lalu, hal serupa ia kemukakan juga kepada H. Abdul Manan, Kepala Sospol Pemda Bekasi, Jawa Barat. Dan ia mengaku tak pernah berjanji pada pendukungnya. "Mereka memilih dengan hati tulus, karena masyarakat menyukai saya," kata Nyonya Han. Bahkan tak seperak pun ia mengeluarkan biaya kampanye -- seperti dia pertama ikut pilkades 1984, tapi kalah. Bukan berarti Nyonya Han yang tak tamat SMP itu terpilih tanpa kampanye. Ia aktif jauh sebelum pemilihan. Misalnya jadi ketua II Cabang MKGR Bekasi. Ia menggerakkan masyarakat Sri Mukti membangun jalan 200 meter. Dan beberapa bulan sebelum pilkades, ia relakan tanahnya 2.500 meter untuk lapangan sepak bola dan voli. Aktivitas istri petani terpandang ini meningkat lagi sebagai koordinator arisan. Dari sini Nyonya Han mulai di atas angin. "Pendukung saya yang paling awal adalah ibu-ibu arisan. Baru kemudian diikuti bapak-bapaknya," katanya. Soal 38 perangkat desa yang dicopotnya, Nyonya Han beralasan, "Mereka malas dan sering menghilang saja." Padahal, begitu menginjakkan kakinya di kantor desa (yang di halamannya ada dua kuburan itu), ia membuat pengumuman tertulis: "Perangkat desa yang datang di atas pukul 7.30 dianggap tidak hadir". Sayang, belakangan kantor desa itu hanya ditongkrongi tiga pamong yang mendukungnya. Sedangkan pamong lama muncul "setor muka" hanya untuk mengisi tanda hadir. Namun, tindakan Ibu Kades tetap dianggap salah. Sebab, setiap pamong desa yang diganti itu harus diketahui camat. Maka, Pak Camat membatalkan pengangkatan 38 perangkat baru tadi. Sebagai ketua RT dan RW, mereka dipilih berdasarkan musyawarah warga. Nyonya Han berkilah, "Ketua RT dan RW yang baru diangkat itu ditunjuk oleh masyarakat. Saya tidak menunjuk begitu saja." Kendati kesalahan Nyonya Han tak fatal toh semua tindakannya itu kembali diteliti. "Biasa. Sudah baru, perempuan lagi. Wajar kalau dia masih nabrak-nabrak," kata H. Abdul Manan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini