Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tahanan Iran, Menurut Si Wartawan

Keadaan tahanan Iran menurut pengalaman wartawan harian etelaat (Iran) siavouh bachiri yang pernah mendekam 6 bulan di penjara. ia sendiri dicambuk & dihajar dengan kabel listrik.

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU darah membayangi perayaan bulan keduabelas perang melawan Irak, yangdiperingati di Teheran. Dalam tiga hari, 207 oposan dihukum mati. Sebagian besar orang-orang Mujahidin. "Sejak lahirnya Republik Islam, belum pernah terjadi penindasan sebiadab ini," tulis wartawan Christian Hoche dalam majalah L'Express. "Di antara yang disiksa, ditembak atau digantung, terdapat tokoh agama, wanita, dan anak-anak." Eksekusi berantai ini bagai tak ada habis-habisnya. Apalagi, menurut Hoche, keadaan itu "memang dikehendaki para pejabat tinggi pengadilan tinggi Iran." Ia mengutip Ayatullah Moussavi Tabrizi, Jaksa Agung Revolusi yang berkata: "Orang-orang yang d itangkap dalam kerusuhan bersenjata di jalan-jalan, juga mereka yang membantu kaum perusuh, akan dihukum mati hari itu juga." Bagai gayung bersambut, Hakim Pengadilan Revolusi Ayatullah Guilani menimpali. "Islam tidak membenarkan para pendurhaka yang terluka dirawat," katanya. "Mereka harus dihabisi." Tapi, sebagaimana biasa di awah penindasan macam apa pun, harapan rupanya tak pernah padam. "Khomeini akan membayar kejahatan ini," kata Siavouch Bachiri kepada L'Express. Wartawan Iran berusia 42 tahun itu sempat mendekam enam bulan di penjara. Tiga kali ia nyaris dibabat pedang malaikat maut Iran. Kepada L'Express ia menuturkan pengalamannya. Hari itu 10 Agustus. Mungkin hari Minggu. Malam baru saja turun di Kota Teheran. "Malam yang hangat dan sunyi," kenang Bachiri. Sejak dipecat dari harian Etelt, tempat ia menduduki jabatan penanggungjawab, "saya tahu saya dalam bahaya." Bachiri telah menulis--atas permintaan mendiang Syah Iran --sebuah buku tentang monarki Pahlavi. Yaitu jilid pertama sebuah ensiklopedi mengenai sejarah Iran. Ancaman memang sudah diterimanya dari Ayatullah Doaie, alias 'Lafayette', bos harian Etelaat yang baru. Tokoh ini menyertai pengasingan Khomeini di Neauphle-le-Chateau, Prancis. Tapi menurut Bachiri, di sana sang ayatullah 'pernah ditangkap karena terlibat pencurian di Galeries Lafayette." Konon, agar keluar dari kesulitan itu, "Ayatullah Montazeri harus membayarkan denda sebesar 4000 franc." Itulah sebabnya Doaie dipanggil 'Lafayette'. Selama beberapa bulan, Bachiri bekerja diam-diam untuk membeberkan "kebobrokan rezim Khomeini." Ia mengaku bersekutu dengan sejumlah wartawan, penulis dan intelektual Iran. "Kami mengumpulkan bukti bahwa tokoh-tokoh tertinggi keagamaan merampok bank sentral dengan jalan penggelapan," katanya. Dalam kaitan ini ia bahkan menyebut Ayatullah Montazeri dan putranya. Juga Ahmad, putra sang Imam Khomeini, dan Ayatullah Shahab Echraghi. "Banyak tokoh agama yang duduk dalam pemerintahan telah dan sedang merampok negara." Pada 10 Agustus yang naas itu, Bachiri bersembunyi di rumah seorang teman. Ketika itu 'genderang perang' memang telah dipukul bertalu-talu oleh Ayatullah Sadegh Khalkhali, pemimpin pemberantasan narkotika. Penangkapan-penangkapan disusul pembantaian tanpa ampun. MENJELANG pukul 11 malam, sekawanan Pasdaran mengepung persembunyian Bachiri. "Mereka menerjang pintu masuk menembak-nembak, dan menangkap saya." Sambil dianiaya, wartawan itu digelandang ke penjara Ghasre, di utara Ibu kota. Orang menamakan tempat itu Penjara Khalkhali--karena ayatullah ini pernah lama 'memerintah di sana. "Saya menggigil lantaran takut." Pukul tujuh malam esoknya, ia diinterogasi untuk pertama kali. Dihadapkan kepada dua orang anggota Pengadilan Islam. Mereka adalah Safa Tahmazebi dan Mohamad Rezvani. Keduanya jangan terkejut, anggota Partai Tudeh alias Partai Komunis Iran. "Orang ini bertanggungjawab atas kematian 450 orang," tuding Bachiri. "Di mana kamu sembunyikan senjata itu?" hardik Rezvani. "Mengaku! Kami tahu kamu bekerja untuk Bakhtiar, Syah, dan orang-orang Fedayeene-Khalk. Kalau mau bebas, mengaku!" Bachiri tidak menjawab. "Alasan saya sederhana saja," katanya. "Saya bukan teroris." Atas perintah Rezvani, ia lalu dibawa ke rumah Machallah Ghassad, salah seorang tokoh penyanderaan awak Kedubes Amerika dulu. Sampai pukul empat subuh, Ghassad dan 'polisi-polisi'-nya menghajar Bachiri. Pukulan bedil ke pinggang disusul tendangan sepatu ke wajah. Sebagai penutup, disajikan cambukan dengan kabel listrik. "Saya berlumuran darah, mental saya binasa," katanya. Kepalanya berdengung gawat. Saat fajar ia diseret ke dalam ruang tutupan berukuran 40 meter persegi. Di sana sudah mendekam 80 orang. Mendengar ia mengaduh-aduh, seseorang mencoba memberikan perawatan dengan secarik gombal yang dibasahi minyak zaitun. Senin 11 Agustus bertepatan dengan Hari Raya Ied. Semua penghuni sel memasang telinga dengan cemas. "Hadjara," teriak salah seorang. Hadjara adalah nama yang diberikan kepada Khalkhali. Hampir tiap petang, Khalkhali memilih sendiri korban untuk regu tembak. Waktunya tak bervariasi. Dari pukul 8 pagi hingga pukul 2 siang ia di Parlemen. Kemudian muncul di Ghasre, tempat ia menimbun ambal-ambal sutra yang dicuri dari para terhukum. Ia menikmati satu jam yang santai, kemudian masuk ruang kerjanya. Di sinilah ia "mengadili". Sejak subuh truk para Pasdaran mengangkut para pelacur, orang-orang homo, morfinis, kaum "kontra revolusi ", hartawan, orang-orang Baha'i, para pejabat rezim lama. MOHAMAD Rezvani membuatkan hanya satu berkas surat tuduhan untuk orang-orang dalam satu angkutan. Khalkhalilah yang kemudian bertugas dalam masalah penghukuman. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Beberapa Pasdaran mendorong seorang pemuda 20-an tahun yang ditangkap dalam kasus penyelundupan obat bius. la dilarang bicara, bahkan dilarang menyebut namanya. Rezvani mendekati Khalkhali, membisikkan beberapa kata, dan "dengan nama Allah yang Kuasa dan Pengampun" sang ayatullah menetapkan hukumannya. Hukuman mati, seumur hidup, penjara sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun. Proses pengadilan pura-pura ini berlangsung antara tiga sampai lima menit. Khalkhali menyeka kening. Lalu, sambil bernyanyi-nyanyi, diikuti pengiring-pengiringnya ia mengunjungi sel-sel "politik". Dengan sekedar gesekan jari ia menunjuk: "Kamu. Keluar dari sini. Kamu harus mati." Putusannya tak bisa ditawar. Beberapa jam setelah undian ini, mereka ditembak. Pada hari kedua penahanannya, "kawan-kawan di sel berdoa sendiri-sendiri." Tiba-tiba sosok pendek, gemu dan mengerikan itu muncul: Khalkhali. Ia memandang berkeliling. Dan tujuh orang termasuk Bachiri, terpilih. Di antaranya terdapat Jenderal Mohamad Charhname, penulis tentang penangkapan Navab Safavi, pendiri Fedayeene-Islam cabang Iran. Sebelum keluar dari sel, "kawan-kawan memeluk kami, berlama-lama," kata Bachiri. Tiba-tiba seorang Pasdaran memerintahkan mengikutinya sampai ke ruangan kecil, guna menulis surat wasiat. Itu peraturan. Setiap yang dihukum mati harus menuliskan keinginan mereka yang terakhir. Tentu saja surat wasiat ini tak pernah diteruskan kepada keluarga si terhukum. Jika ada seseorang yang mewariskan sejumlah uang kepada istri atau anak-anaknya, para Pasdaran memberinya 'anugerah' 24 jam. Besoknya mereka mengantar si terhukum ke bank untuk mengambil uang simpanannya. "Dalam kenyataannya, uang ini berpindah ke rekening pribadi Khalkhali," kata Bachiri. SUATU hari, seorang Kurdi bernama Pahrviz Manaseki mencantumkan dalam surat wasiatnya warisan hampir 70 ribu franc untuk anak-anaknya. Ia diberi anugerah 24 jam, pergi ke bank dan kembali ke penjara. Ketika makan malam, dua orang Pasdaran menyerbunya. Ia berpaling, terkejut. Lehernya dicekik. Lalu ia diseret ke depan regu tembak. "Tapi hari Senin 11 Agustus itu saya tak yakin akan ajal saya," kata Bachiri. Mana mungkin dihukum mati tanpa diadili? Lima dari mereka bertujuh mulai tersedu-sedu. Seorang pedagang kecil begitu hancur hatinya sehingga tak mampu menulis. Ia meminta Bachiri mengarangkan surat wasiatnya, sementara para Pasdaran membersihkan senjata di punggung mereka. "Aku yang akan membunuhmu," raung seorang tentara revolusi kepada Jenderal Charhname. Tiap Pasdaran memilih korbannya sendiri-sendiri. Karena Bachiri tetap berdiri, ia dipaksa menuliskan beberapa baris untuk keluarganya. Ia menulis: "Disiksa, tak diadili, tak bersalah." Surat wasiat itu, seperti juga enam surat yang lain, dibawa kepada Khalkhali. Satu persatu mereka memasuki kamar kerjanya. Khalkhali sendirian, sedang mengunyah entah apa. Dengan aksen Turki yang kuat, ia bertanya tanpa memandang Bachiri: "Kamu tak punya keinginan apa-apa? Kamu tak ingin melihat anak-anakmu? " "Anda tahu benar, anak-anak saya tinggal di Paris," sahut Bachiri. "Saya hanya minta agar keluarga Jenderal Charhname yang menangis di ruang tamu bisa melihatnya untuk terakhir kali." "Anak pelacur, anak anjing, kamu mengejek saya, ha?!" Dialog ini berlangsung hampir satu menit. "Saya dilempar ke luar ruangan. Selama hampir dua jam, kami dijaga di dalam gang Sempit." Seseorang meminta air, tapi ditolak. "Tak ada air bagi penjahat," teriak seorang Pasdaran. Pukul 9 malam, Khalkhali keluar dari kamarnya dan memerintahkan tahanan itu dibawa ke halaman di tengah bangunan penjara. Mereka berjalan sekitar sepuluh langkah ke arah 'Tembok Allahu Akbar", tembok yang merah oleh darah. Tiba-tiba Khalkhali, dengan hanya gerakan jari, memberi kode. Arah langkah diubah: menuju sel. "Tapi ini hanya untuk saya," kata Bachiri. "Saya harus menyiksamu sebelum kamu mati," kata Khalkhali. Sambil tersenyum ia memerintahkan seratus kali cambukan. Wartawan itu terhuyung-huyung. Di halaman ada bangku beton yang digunakan untuk menyiksa. Di bangku ini telah dibaringkan laki-laki maupun perempuan. SIKSAANNYA serupa. Seratus kali cambukan. Hanya alatnya yang berbeda. Kabel listrik berdiameter 3 cm untuk laki-laki, dan pipa penyiram untuk perempuan. Paha mereka ditutup dengan karung goni. Banyak lengan atau tulang rusuk yang patah. Sebagian tetap lumpuh tak diobati. Ketika untuk kedua kalinya dalam 24 jam Bachiri dibaringkan di bangku itu, ia memandang ke langit. Gelap. Setelah beberapa detik, dan ia juga tak dicambuk, ia heran. Seorang polisi yang--seperti semua polisi--membenci Pasdaran, rupanya merasa iba melihat sang wartawan. Ia membantu Bachiri mengenakan kemeja. Dan ini memancing kemarahan Khalkhali. Dengan penggaris kayu yang besar ia memukul muka Bachiri dan meraung: "Kau akan tahu sendiri nanti." Ia dilemparkan kembali ke sel. Teman-teman senasib mengelilingi dan menciuminya. Mereka tak percaya pada penglihatan mereka--bahwa ia masih hidup. Saat itu juga semua lampu padam. Ini adalah saat eksekusi. Selalu dilaksanakan antara pukul 10 dan 12 malam. Tak pernah Dada waktu dinihari. Dari jendela mereka bisa melihat 'Tembok Allahu Akbar' itu. Bisa mendengar senjata dikokang, orang-orang disiksa, dan letusan. Esok paginya biasanya para Pasdaran menyiramkan wiski dan wodka untuk menghilangkan bau darah. Tapi sia-sia. "Pukul 11 malam sepuluh menit, enam orang kawan saya itu digelandang ke halaman," kenang Bachiri. Proyektor raksasa disorotkan ke arah tembok. Tangan mereka tak diikat. Yang tak punya sapu tangan, tak ditutup matanya. Kepala regu penembak, Haji Ahmad, bangga sekali akan misinya. "Ia membunuh, sambil mengira telah mengabdi Islam," kata-Bachiri. Lebih buruk lagi, orang-orang itu tak bisa menembak tepat ke jantung. Seorang kadangkadang harus menderita selama dua puluh menit sebelum mati. Termasuk Jenderal Charhname. Kepalanya tegak. Pada saat senjata otomatis menyalak, seorang tahanan dengan tongkat kecil menggoreskan ke dinding: empat ratus dua puluh tujuh . . . DUA hari kemudian Bachiri kembali dipanggil Khalkhali. "Khomeini mengatakan, saya harus membunuh seratus orang setiap harinya. Jika saya hanya membunuh antara sepuluh sampai dua puluh orang, itu karena kelembutan hati saya." Kali ini pasti tak ada lagi keajaiban, pikir Bachiri. Khalkhali telah menjatuhkan hukuman mati. Proyektor dinyalakan. Di ujung halaman, tembok merah dan para Pasdaran. Ia melangkah. Di sebelahnya adalah Iravani, seorang kapitalis Teheran. Kepalanya kosong. Ia tak tahu apa-apa lagi. Tapi ia melihat Haji Ahmad mengacungkan senjatanya dalam jarak sepuluh meter. Maut mengangakan mulut. Tembakan berbunyi. Orang-orang tersungkur. "Tapi saya tetap berdiri," kenang Bachiri. Hidup atau mati? Dadanya gemuruh. Seorang Pasdaran menarik tangannya. Pipi kanannya terasa hangat: darah. Kemejanya kotor. Darah Iravani muncrat sebelum tubuhnya jatuh. Para Pasdaran melarang Bachiri mengelap muka. Tiga hari kemudian wartawan itu dipanggil lagi. Sendirian. Di halaman menanti Mohamad Rezvani dan Machallah Ghassad, si Tudeh dan si penyandera Kedubes AS tadi. Mereka meminta 3,5 juta franc. Jika tidak, ia akan dihukum mati. "Saya ulangi bahwa saya tak punya uang sebanyak itu," kata si korban. Puluhan kali Ghassad memukulkan pistolnya ke pelipis Bachiri. "Saya pernah melihat, suatu hari pukul 9 pagi, seorang tahanan tua mati dengan cara ini," kenangnya. Ia pun mohon agar mereka mempercayai kata-katanya. Setelah sepuluh menit, mereka berhenti memukul, lalu memaki-maki. Hari itu adalah terakhir kali Bachiri melihat mereka, juga Sadegh Khalkhali. Sebab ia segera dikirim ke penjara Evin. Di sana dua kali ia diinterogasi. Lagi-lagi tentang dua obsesi: senjata dan Llang. Setelah empat belas hari ia dikembalikan ke Ghasre. Dan dekor pun berubah. Kini ia disekap di bangunan lain, di penjara nomor 7. Sementara itu ia mendengar bahwa Pengadilan Islam menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun baginya. Bagaimana, dan mengapa, ia tak tahu. Hanya satu hal ia tahu: dalam bangunan yang sebenarnya diperuntukkan bagi 400 tahanan ini (mereka menjejalkan 1800 orang di situ) ia bisa bernafas lebih baik. Tapi kondisi kesehatan menjijikkan. Kasur jerami penuh kepinding, rambut mereka penuh kutu. Mangkuk-mangkuk makan juga berfunsi untuk membuang kotoran. Makanan jelek. Ransum berkurang separuh sejak pecah perang dengan Irak. Semua tahanan menggunakan bawang putih untuk menyembuhkan penyakit. Bau busuk bercampur bau bawang menyesakkan napas. Di musim dingin sel-sel bersalju, di musim panas terik pengap. Di penjara No. 7 ini terdapat segala macam orang: dua orang sepupu Shapour Bachtiar, beberapa dokter, bekas anggota Parlemen termasuk Senator Homayoumi, perwira-perwira, dan orang-Orang biasa. Juga beberapa orang asing - terutama Jerman, Prancis Inggris. Bachiri tak tahu mengapa mereka ditahan. Tapi para Pasdaran juga menyekap para mullah. Misalnya puluhan hakim Pengadilan Islam, yang masing-masing bertanggungjawab atas kematian 150 orang. Mereka ini mula-mula bekerja sama dengan Khalkhali, "lalu berselisih dalam pembagian harta yang dicuri dari orang hukuman," kata Bachiri. Orang-orang tahanan mengutuki mereka. SEBALIKNYA, mereka menghormati, bahkan melindungi, sekitar 60-an tokoh agama pengikut Ayatullah Qomi dan Shariat Madari yang tergolong melawan Khomeini. Di antara mereka terdapat Allameh Vahidi Mazandarani, Hojatoleslam Raissi Gorgani, Haj Ghavam Khatib dan Ayatullah Maulai, teman masa kanak Khomeini. Lewat jalur merekalah Bachiri mengetahui: Sadegh Khalkhali telah menjadikan dirinya seorang prajurit pengawal Islam yang terdiri dari lima ribu orang yang terlatih dan baik perlengkapannya. Mereka ini dipilih sendiri oleh sang ayatullah dari para murid sekolah menengah dan mahasiswa universitas-universitas ilmu agama di Qom. Yang terpilih semuanya menjadi anggotaorganisasi Feddayeen-e-Islam. Selama dua minggu, serombongan mahasiswa yang berjumlah dua ratus orang tiba di kediaman Khalkhali yang baru di Chemiran, sebelah utara Kota Teheran. Selama lima belas hari mereka dilatih keras oleh instruktur-instruktur militer. Mereka umumnya disiapkan sebagai pasukan terjun payung. "Majikan" mereka adalah Letnan Kolonel Hamid Ta'ati, salah seorang yang paling keras dalam jajaran eks Tentara Kerajaan. Rahasia yang ketat melingkupi eksistensi "tentara Islam" ini. Semua ini diselidiki Bachiri sekeluar dari penjara. Baru setelah Bani-Sadr mengumumkan praktek-praktek penyiksaan ke seluruh dunia, orang-orang Khomeini mulai membuka penjara-penjara. "Saya bersemangat dan gila oleh harapan yang meluap," kenang Bachiri. Tapi ia pun ingat, Haji Koucheche, tahanan No. 28114, menerima surat perintah pembebasannya empat bulan setelah ia ditembak mati pada bulan Agustus 1980 . . . Dalam dokumen Bachiri tertulis kalimat yang digaris-bawahi dengan tinta merah: "Atas perintah Imam, tahanan ini tak boleh dibebaskan." Atas dasar solidaritas, kawan-kawannya setahanan melakukan mogok makan. Akhirnya, 6 Februari 1981 ia dipanggil Direktur Penasihat Penjara-penjara. Katanya: "Karena kamu seorang penulis, dan akan bisa menjadi saksi masa depan, kamu saya bebaskan besok. Tinggalkan Iran secepatnya, sebab dokumen tentang dirimu akan selalu mengancammu." Ia menepati janjinya. Esok harinya wartawan itu bebas. Empat puluh delapan jam sesudah itu, surat perintah baru dikeluarkan untuk menangkapnya .... Sebelum lari lewat Turki, ia melakukan dua hal. Pertama menelepon ibunya. "Tetapi beliau telah meninggal karena sangat berdukacita." Enam bulan sebelumnya perempuan itu mendengar bahwa sang anak telah dihukum tembak. Yang kedua, ia menyembunyikan kemejanya yang berlumuran darah Iravani. Katanya: "Kemeia itu merupakan salah satu bukti kejahatan Khomeini yang tak terhitung." *** Fantastis? Mengerikan, ternyata-meski seluruh-kebenaran kisah ini sulit dicek. Kesaksian hanya datang dari seorang--bekas wartawan dengan jabatan tinggi (kelihatannya sejak zaman Syah), yang tidak dituturkan lebih jelas reputasi maupun integritasnya. Pengalaman para tahanan di berbagai negeri, khususnya di kancah revolusi yang seperti sering terjadi penuh ulat, umumnya memang mengerikan--hanya saja tidak semua kisahnya dibeberkan. Belum lagi orang mengingat apa yang dilakukan orang di Kamboja, Vietnam dan blok komunis umumnya. Bahkan, di Iran sendiri, apa yang dilakukan Savak di bawah Syah dulu. Tapi bahwa kebiadaban perkenankan di sebuah negeri yang selalu menggembar-gemborkan dirinya sebagai yang "paling Islam", memang menjijikkan. Sekiranya 50% saja (apa lagi kalau lebih) dari yang dikisahkan si wartawan itu benar, kita barangkali menjadi lebih arif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus