BAU darah membayangi perayaan bulan keduabelas perang melawan
Irak, yangdiperingati di Teheran. Dalam tiga hari, 207 oposan
dihukum mati. Sebagian besar orang-orang Mujahidin.
"Sejak lahirnya Republik Islam, belum pernah terjadi penindasan
sebiadab ini," tulis wartawan Christian Hoche dalam majalah
L'Express. "Di antara yang disiksa, ditembak atau digantung,
terdapat tokoh agama, wanita, dan anak-anak."
Eksekusi berantai ini bagai tak ada habis-habisnya. Apalagi,
menurut Hoche, keadaan itu "memang dikehendaki para pejabat
tinggi pengadilan tinggi Iran." Ia mengutip Ayatullah Moussavi
Tabrizi, Jaksa Agung Revolusi yang berkata: "Orang-orang yang d
itangkap dalam kerusuhan bersenjata di jalan-jalan, juga mereka
yang membantu kaum perusuh, akan dihukum mati hari itu juga."
Bagai gayung bersambut, Hakim Pengadilan Revolusi Ayatullah
Guilani menimpali. "Islam tidak membenarkan para pendurhaka yang
terluka dirawat," katanya. "Mereka harus dihabisi."
Tapi, sebagaimana biasa di awah penindasan macam apa pun,
harapan rupanya tak pernah padam. "Khomeini akan membayar
kejahatan ini," kata Siavouch Bachiri kepada L'Express. Wartawan
Iran berusia 42 tahun itu sempat mendekam enam bulan di penjara.
Tiga kali ia nyaris dibabat pedang malaikat maut Iran. Kepada
L'Express ia menuturkan pengalamannya.
Hari itu 10 Agustus. Mungkin hari Minggu. Malam baru saja turun
di Kota Teheran. "Malam yang hangat dan sunyi," kenang Bachiri.
Sejak dipecat dari harian Etelt, tempat ia menduduki jabatan
penanggungjawab, "saya tahu saya dalam bahaya." Bachiri telah
menulis--atas permintaan mendiang Syah Iran --sebuah buku
tentang monarki Pahlavi. Yaitu jilid pertama sebuah ensiklopedi
mengenai sejarah Iran.
Ancaman memang sudah diterimanya dari Ayatullah Doaie, alias
'Lafayette', bos harian Etelaat yang baru. Tokoh ini menyertai
pengasingan Khomeini di Neauphle-le-Chateau, Prancis. Tapi
menurut Bachiri, di sana sang ayatullah 'pernah ditangkap karena
terlibat pencurian di Galeries Lafayette." Konon, agar keluar
dari kesulitan itu, "Ayatullah Montazeri harus membayarkan denda
sebesar 4000 franc." Itulah sebabnya Doaie dipanggil
'Lafayette'.
Selama beberapa bulan, Bachiri bekerja diam-diam untuk
membeberkan "kebobrokan rezim Khomeini." Ia mengaku bersekutu
dengan sejumlah wartawan, penulis dan intelektual Iran. "Kami
mengumpulkan bukti bahwa tokoh-tokoh tertinggi keagamaan
merampok bank sentral dengan jalan penggelapan," katanya.
Dalam kaitan ini ia bahkan menyebut Ayatullah Montazeri dan
putranya. Juga Ahmad, putra sang Imam Khomeini, dan Ayatullah
Shahab Echraghi. "Banyak tokoh agama yang duduk dalam
pemerintahan telah dan sedang merampok negara."
Pada 10 Agustus yang naas itu, Bachiri bersembunyi di rumah
seorang teman. Ketika itu 'genderang perang' memang telah
dipukul bertalu-talu oleh Ayatullah Sadegh Khalkhali, pemimpin
pemberantasan narkotika. Penangkapan-penangkapan disusul
pembantaian tanpa ampun.
MENJELANG pukul 11 malam, sekawanan Pasdaran mengepung
persembunyian Bachiri. "Mereka menerjang pintu masuk
menembak-nembak, dan menangkap saya." Sambil dianiaya, wartawan
itu digelandang ke penjara Ghasre, di utara Ibu kota.
Orang menamakan tempat itu Penjara Khalkhali--karena ayatullah
ini pernah lama 'memerintah di sana. "Saya menggigil lantaran
takut."
Pukul tujuh malam esoknya, ia diinterogasi untuk pertama kali.
Dihadapkan kepada dua orang anggota Pengadilan Islam. Mereka
adalah Safa Tahmazebi dan Mohamad Rezvani.
Keduanya jangan terkejut, anggota Partai Tudeh alias Partai
Komunis Iran. "Orang ini bertanggungjawab atas kematian 450
orang," tuding Bachiri.
"Di mana kamu sembunyikan senjata itu?" hardik Rezvani.
"Mengaku! Kami tahu kamu bekerja untuk Bakhtiar, Syah, dan
orang-orang Fedayeene-Khalk. Kalau mau bebas, mengaku!"
Bachiri tidak menjawab. "Alasan saya sederhana saja," katanya.
"Saya bukan teroris." Atas perintah Rezvani, ia lalu dibawa ke
rumah Machallah Ghassad, salah seorang tokoh penyanderaan awak
Kedubes Amerika dulu.
Sampai pukul empat subuh, Ghassad dan 'polisi-polisi'-nya
menghajar Bachiri. Pukulan bedil ke pinggang disusul tendangan
sepatu ke wajah. Sebagai penutup, disajikan cambukan dengan
kabel listrik.
"Saya berlumuran darah, mental saya binasa," katanya. Kepalanya
berdengung gawat. Saat fajar ia diseret ke dalam ruang tutupan
berukuran 40 meter persegi. Di sana sudah mendekam 80 orang.
Mendengar ia mengaduh-aduh, seseorang mencoba memberikan
perawatan dengan secarik gombal yang dibasahi minyak zaitun.
Senin 11 Agustus bertepatan dengan Hari Raya Ied. Semua penghuni
sel memasang telinga dengan cemas. "Hadjara," teriak salah
seorang. Hadjara adalah nama yang diberikan kepada Khalkhali.
Hampir tiap petang, Khalkhali memilih sendiri korban untuk regu
tembak. Waktunya tak bervariasi. Dari pukul 8 pagi hingga pukul
2 siang ia di Parlemen. Kemudian muncul di Ghasre, tempat ia
menimbun ambal-ambal sutra yang dicuri dari para terhukum.
Ia menikmati satu jam yang santai, kemudian masuk ruang
kerjanya. Di sinilah ia "mengadili". Sejak subuh truk para
Pasdaran mengangkut para pelacur, orang-orang homo, morfinis,
kaum "kontra revolusi ", hartawan, orang-orang Baha'i, para
pejabat rezim lama.
MOHAMAD Rezvani membuatkan hanya satu berkas surat tuduhan
untuk orang-orang dalam satu angkutan. Khalkhalilah yang
kemudian bertugas dalam masalah penghukuman.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Beberapa Pasdaran mendorong
seorang pemuda 20-an tahun yang ditangkap dalam kasus
penyelundupan obat bius. la dilarang bicara, bahkan dilarang
menyebut namanya.
Rezvani mendekati Khalkhali, membisikkan beberapa kata, dan
"dengan nama Allah yang Kuasa dan Pengampun" sang ayatullah
menetapkan hukumannya. Hukuman mati, seumur hidup, penjara
sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun.
Proses pengadilan pura-pura ini berlangsung antara tiga sampai
lima menit. Khalkhali menyeka kening. Lalu, sambil
bernyanyi-nyanyi, diikuti pengiring-pengiringnya ia mengunjungi
sel-sel "politik". Dengan sekedar gesekan jari ia menunjuk:
"Kamu. Keluar dari sini. Kamu harus mati." Putusannya tak bisa
ditawar. Beberapa jam setelah undian ini, mereka ditembak.
Pada hari kedua penahanannya, "kawan-kawan di sel berdoa
sendiri-sendiri." Tiba-tiba sosok pendek, gemu dan mengerikan
itu muncul: Khalkhali. Ia memandang berkeliling. Dan tujuh
orang termasuk Bachiri, terpilih. Di antaranya terdapat
Jenderal Mohamad Charhname, penulis tentang penangkapan Navab
Safavi, pendiri Fedayeene-Islam cabang Iran.
Sebelum keluar dari sel, "kawan-kawan memeluk kami,
berlama-lama," kata Bachiri. Tiba-tiba seorang Pasdaran
memerintahkan mengikutinya sampai ke ruangan kecil, guna menulis
surat wasiat. Itu peraturan.
Setiap yang dihukum mati harus menuliskan keinginan mereka yang
terakhir. Tentu saja surat wasiat ini tak pernah diteruskan
kepada keluarga si terhukum. Jika ada seseorang yang mewariskan
sejumlah uang kepada istri atau anak-anaknya, para Pasdaran
memberinya 'anugerah' 24 jam. Besoknya mereka mengantar si
terhukum ke bank untuk mengambil uang simpanannya. "Dalam
kenyataannya, uang ini berpindah ke rekening pribadi Khalkhali,"
kata Bachiri.
SUATU hari, seorang Kurdi bernama Pahrviz Manaseki mencantumkan
dalam surat wasiatnya warisan hampir 70 ribu franc untuk
anak-anaknya. Ia diberi anugerah 24 jam, pergi ke bank dan
kembali ke penjara. Ketika makan malam, dua orang Pasdaran
menyerbunya. Ia berpaling, terkejut. Lehernya dicekik. Lalu ia
diseret ke depan regu tembak.
"Tapi hari Senin 11 Agustus itu saya tak yakin akan ajal saya,"
kata Bachiri. Mana mungkin dihukum mati tanpa diadili? Lima dari
mereka bertujuh mulai tersedu-sedu. Seorang pedagang kecil
begitu hancur hatinya sehingga tak mampu menulis. Ia meminta
Bachiri mengarangkan surat wasiatnya, sementara para Pasdaran
membersihkan senjata di punggung mereka.
"Aku yang akan membunuhmu," raung seorang tentara revolusi
kepada Jenderal Charhname. Tiap Pasdaran memilih korbannya
sendiri-sendiri. Karena Bachiri tetap berdiri, ia dipaksa
menuliskan beberapa baris untuk keluarganya. Ia menulis:
"Disiksa, tak diadili, tak bersalah."
Surat wasiat itu, seperti juga enam surat yang lain, dibawa
kepada Khalkhali. Satu persatu mereka memasuki kamar kerjanya.
Khalkhali sendirian, sedang mengunyah entah apa. Dengan aksen
Turki yang kuat, ia bertanya tanpa memandang Bachiri: "Kamu tak
punya keinginan apa-apa? Kamu tak ingin melihat anak-anakmu? "
"Anda tahu benar, anak-anak saya tinggal di Paris," sahut
Bachiri. "Saya hanya minta agar keluarga Jenderal Charhname yang
menangis di ruang tamu bisa melihatnya untuk terakhir kali."
"Anak pelacur, anak anjing, kamu mengejek saya, ha?!"
Dialog ini berlangsung hampir satu menit. "Saya dilempar ke luar
ruangan. Selama hampir dua jam, kami dijaga di dalam gang
Sempit." Seseorang meminta air, tapi ditolak. "Tak ada air bagi
penjahat," teriak seorang Pasdaran.
Pukul 9 malam, Khalkhali keluar dari kamarnya dan memerintahkan
tahanan itu dibawa ke halaman di tengah bangunan penjara. Mereka
berjalan sekitar sepuluh langkah ke arah 'Tembok Allahu Akbar",
tembok yang merah oleh darah.
Tiba-tiba Khalkhali, dengan hanya gerakan jari, memberi kode.
Arah langkah diubah: menuju sel. "Tapi ini hanya untuk saya,"
kata Bachiri.
"Saya harus menyiksamu sebelum kamu mati," kata Khalkhali.
Sambil tersenyum ia memerintahkan seratus kali cambukan.
Wartawan itu terhuyung-huyung. Di halaman ada bangku beton yang
digunakan untuk menyiksa. Di bangku ini telah dibaringkan
laki-laki maupun perempuan.
SIKSAANNYA serupa. Seratus kali cambukan. Hanya alatnya yang
berbeda. Kabel listrik berdiameter 3 cm untuk laki-laki, dan
pipa penyiram untuk perempuan. Paha mereka ditutup dengan karung
goni. Banyak lengan atau tulang rusuk yang patah. Sebagian tetap
lumpuh tak diobati.
Ketika untuk kedua kalinya dalam 24 jam Bachiri dibaringkan di
bangku itu, ia memandang ke langit. Gelap. Setelah beberapa
detik, dan ia juga tak dicambuk, ia heran. Seorang polisi
yang--seperti semua polisi--membenci Pasdaran, rupanya merasa
iba melihat sang wartawan.
Ia membantu Bachiri mengenakan kemeja. Dan ini memancing
kemarahan Khalkhali. Dengan penggaris kayu yang besar ia memukul
muka Bachiri dan meraung: "Kau akan tahu sendiri nanti." Ia
dilemparkan kembali ke sel.
Teman-teman senasib mengelilingi dan menciuminya. Mereka tak
percaya pada penglihatan mereka--bahwa ia masih hidup. Saat itu
juga semua lampu padam.
Ini adalah saat eksekusi. Selalu dilaksanakan antara pukul 10
dan 12 malam. Tak pernah Dada waktu dinihari. Dari jendela
mereka bisa melihat 'Tembok Allahu Akbar' itu. Bisa mendengar
senjata dikokang, orang-orang disiksa, dan letusan. Esok paginya
biasanya para Pasdaran menyiramkan wiski dan wodka untuk
menghilangkan bau darah. Tapi sia-sia.
"Pukul 11 malam sepuluh menit, enam orang kawan saya itu
digelandang ke halaman," kenang Bachiri. Proyektor raksasa
disorotkan ke arah tembok. Tangan mereka tak diikat. Yang tak
punya sapu tangan, tak ditutup matanya.
Kepala regu penembak, Haji Ahmad, bangga sekali akan misinya.
"Ia membunuh, sambil mengira telah mengabdi Islam,"
kata-Bachiri. Lebih buruk lagi, orang-orang itu tak bisa
menembak tepat ke jantung. Seorang kadangkadang harus menderita
selama dua puluh menit sebelum mati. Termasuk Jenderal
Charhname. Kepalanya tegak. Pada saat senjata otomatis menyalak,
seorang tahanan dengan tongkat kecil menggoreskan ke dinding:
empat ratus dua puluh tujuh . . .
DUA hari kemudian Bachiri kembali dipanggil Khalkhali.
"Khomeini mengatakan, saya harus membunuh seratus orang setiap
harinya. Jika saya hanya membunuh antara sepuluh sampai dua
puluh orang, itu karena kelembutan hati saya."
Kali ini pasti tak ada lagi keajaiban, pikir Bachiri. Khalkhali
telah menjatuhkan hukuman mati. Proyektor dinyalakan. Di ujung
halaman, tembok merah dan para Pasdaran.
Ia melangkah. Di sebelahnya adalah Iravani, seorang kapitalis
Teheran. Kepalanya kosong. Ia tak tahu apa-apa lagi. Tapi ia
melihat Haji Ahmad mengacungkan senjatanya dalam jarak sepuluh
meter. Maut mengangakan mulut.
Tembakan berbunyi. Orang-orang tersungkur. "Tapi saya tetap
berdiri," kenang Bachiri. Hidup atau mati? Dadanya gemuruh.
Seorang Pasdaran menarik tangannya. Pipi kanannya terasa hangat:
darah. Kemejanya kotor. Darah Iravani muncrat sebelum tubuhnya
jatuh. Para Pasdaran melarang Bachiri mengelap muka.
Tiga hari kemudian wartawan itu dipanggil lagi. Sendirian. Di
halaman menanti Mohamad Rezvani dan Machallah Ghassad, si Tudeh
dan si penyandera Kedubes AS tadi. Mereka meminta 3,5 juta
franc. Jika tidak, ia akan dihukum mati.
"Saya ulangi bahwa saya tak punya uang sebanyak itu," kata si
korban. Puluhan kali Ghassad memukulkan pistolnya ke pelipis
Bachiri. "Saya pernah melihat, suatu hari pukul 9 pagi, seorang
tahanan tua mati dengan cara ini," kenangnya. Ia pun mohon agar
mereka mempercayai kata-katanya.
Setelah sepuluh menit, mereka berhenti memukul, lalu
memaki-maki. Hari itu adalah terakhir kali Bachiri melihat
mereka, juga Sadegh Khalkhali. Sebab ia segera dikirim ke
penjara Evin.
Di sana dua kali ia diinterogasi. Lagi-lagi tentang dua obsesi:
senjata dan Llang. Setelah empat belas hari ia dikembalikan ke
Ghasre. Dan dekor pun berubah.
Kini ia disekap di bangunan lain, di penjara nomor 7. Sementara
itu ia mendengar bahwa Pengadilan Islam menjatuhkan hukuman
penjara tiga tahun baginya. Bagaimana, dan mengapa, ia tak tahu.
Hanya satu hal ia tahu: dalam bangunan yang sebenarnya
diperuntukkan bagi 400 tahanan ini (mereka menjejalkan 1800
orang di situ) ia bisa bernafas lebih baik.
Tapi kondisi kesehatan menjijikkan. Kasur jerami penuh
kepinding, rambut mereka penuh kutu. Mangkuk-mangkuk makan juga
berfunsi untuk membuang kotoran. Makanan jelek. Ransum
berkurang separuh sejak pecah perang dengan Irak.
Semua tahanan menggunakan bawang putih untuk menyembuhkan
penyakit. Bau busuk bercampur bau bawang menyesakkan napas. Di
musim dingin sel-sel bersalju, di musim panas terik pengap.
Di penjara No. 7 ini terdapat segala macam orang: dua orang
sepupu Shapour Bachtiar, beberapa dokter, bekas anggota Parlemen
termasuk Senator Homayoumi, perwira-perwira, dan orang-Orang
biasa. Juga beberapa orang asing - terutama Jerman, Prancis
Inggris. Bachiri tak tahu mengapa mereka ditahan.
Tapi para Pasdaran juga menyekap para mullah. Misalnya puluhan
hakim Pengadilan Islam, yang masing-masing bertanggungjawab atas
kematian 150 orang. Mereka ini mula-mula bekerja sama dengan
Khalkhali, "lalu berselisih dalam pembagian harta yang dicuri
dari orang hukuman," kata Bachiri. Orang-orang tahanan mengutuki
mereka.
SEBALIKNYA, mereka menghormati, bahkan melindungi, sekitar 60-an
tokoh agama pengikut Ayatullah Qomi dan Shariat Madari yang
tergolong melawan Khomeini. Di antara mereka terdapat Allameh
Vahidi Mazandarani, Hojatoleslam Raissi Gorgani, Haj Ghavam
Khatib dan Ayatullah Maulai, teman masa kanak Khomeini.
Lewat jalur merekalah Bachiri mengetahui: Sadegh Khalkhali telah
menjadikan dirinya seorang prajurit pengawal Islam yang terdiri
dari lima ribu orang yang terlatih dan baik perlengkapannya.
Mereka ini dipilih sendiri oleh sang ayatullah dari para murid
sekolah menengah dan mahasiswa universitas-universitas ilmu
agama di Qom. Yang terpilih semuanya menjadi anggotaorganisasi
Feddayeen-e-Islam.
Selama dua minggu, serombongan mahasiswa yang berjumlah dua
ratus orang tiba di kediaman Khalkhali yang baru di Chemiran,
sebelah utara Kota Teheran. Selama lima belas hari mereka
dilatih keras oleh instruktur-instruktur militer.
Mereka umumnya disiapkan sebagai pasukan terjun payung.
"Majikan" mereka adalah Letnan Kolonel Hamid Ta'ati, salah
seorang yang paling keras dalam jajaran eks Tentara Kerajaan.
Rahasia yang ketat melingkupi eksistensi "tentara Islam" ini.
Semua ini diselidiki Bachiri sekeluar dari penjara.
Baru setelah Bani-Sadr mengumumkan praktek-praktek penyiksaan ke
seluruh dunia, orang-orang Khomeini mulai membuka
penjara-penjara. "Saya bersemangat dan gila oleh harapan yang
meluap," kenang Bachiri. Tapi ia pun ingat, Haji Koucheche,
tahanan No. 28114, menerima surat perintah pembebasannya empat
bulan setelah ia ditembak mati pada bulan Agustus 1980 . . .
Dalam dokumen Bachiri tertulis kalimat yang digaris-bawahi
dengan tinta merah: "Atas perintah Imam, tahanan ini tak boleh
dibebaskan." Atas dasar solidaritas, kawan-kawannya setahanan
melakukan mogok makan. Akhirnya, 6 Februari 1981 ia dipanggil
Direktur Penasihat Penjara-penjara.
Katanya: "Karena kamu seorang penulis, dan akan bisa menjadi
saksi masa depan, kamu saya bebaskan besok. Tinggalkan Iran
secepatnya, sebab dokumen tentang dirimu akan selalu
mengancammu."
Ia menepati janjinya. Esok harinya wartawan itu bebas. Empat
puluh delapan jam sesudah itu, surat perintah baru dikeluarkan
untuk menangkapnya ....
Sebelum lari lewat Turki, ia melakukan dua hal. Pertama
menelepon ibunya. "Tetapi beliau telah meninggal karena sangat
berdukacita." Enam bulan sebelumnya perempuan itu mendengar
bahwa sang anak telah dihukum tembak.
Yang kedua, ia menyembunyikan kemejanya yang berlumuran darah
Iravani. Katanya: "Kemeia itu merupakan salah satu bukti
kejahatan Khomeini yang tak terhitung."
***
Fantastis? Mengerikan, ternyata-meski seluruh-kebenaran kisah
ini sulit dicek. Kesaksian hanya datang dari seorang--bekas
wartawan dengan jabatan tinggi (kelihatannya sejak zaman Syah),
yang tidak dituturkan lebih jelas reputasi maupun integritasnya.
Pengalaman para tahanan di berbagai negeri, khususnya di kancah
revolusi yang seperti sering terjadi penuh ulat, umumnya memang
mengerikan--hanya saja tidak semua kisahnya dibeberkan. Belum
lagi orang mengingat apa yang dilakukan orang di Kamboja,
Vietnam dan blok komunis umumnya. Bahkan, di Iran sendiri, apa
yang dilakukan Savak di bawah Syah dulu.
Tapi bahwa kebiadaban perkenankan di sebuah negeri yang
selalu menggembar-gemborkan dirinya sebagai yang "paling
Islam", memang menjijikkan. Sekiranya 50% saja (apa lagi kalau
lebih) dari yang dikisahkan si wartawan itu benar, kita
barangkali menjadi lebih arif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini