LAKI-LAKI itu berdiri dengan sebilah pisau di tangan, siap untuk
dilemparkan. Di mukanya duduk seseorang menahan sakit, setengah
mengerang. Seperti kepala orang inilah yang hendak di timpe.
Sekejap pisau itu pun melayang. Tapi ternyata melampaui pipi
orang malang ini. Benda tajam itu menancap di dinding di
belakang kepalanya. Dan, aneh, saat itu juga orang yang menahan
sakit tiba-tiba berhenti mengerang. Ia mulai tampak berseri.
Sakitnya hilang.
Adegan serupa itu tidak jarang terjadi di Turki. Si pelempar
pisau tak lain seorang dukun. Dan yang mengerang-erang itu
penderita sakit gigi yang lagi dikerjain. Dr. Margaret
Bainbridge, dari he London School of Oriental and African
Studies, menuturkan peristiwa embuhan seperti itu di majalah
Hemisphere. Ia juga bercerita mengenai penyembuhan radang
lpa. Selama proses pengobatan, si penderita berbaring--dan
seisi rumah tak hentihentinya memukuli panci dan kaleng-kaleng
kosong yang menimbulkan suara bising. Sementara itu sebuah
percakapan berlangsung antara sang dukun--yang membawa kapak --
dan pembantunya.
"Ke mana, Pak?"
"Ha, mau potong limpa!" jawab sang embah dengan suara hebat
menggeletar.
"Bagus, 'tu. Lekas, Pak, kami tunggu hasilnya."
Kemudian sang dukun menyerbu si sakit. Kelihatannya kapak itu ia
jatuhkan ke bagian bawah perut si penderita. Padahal dalam
kenyataan, jatuhnya cuma pelan saja di tempat yang terasa sakit.
Atau dalam peristiwa seperti itu, terkadang kapak memang
dijatuhkan sekuat tenaga ke bawah--tapi ke sepotong papan di
sisi si penderita. Atau ke sepotong limpa betulan--tapi limpa
sapi, yang disediakan di sebelah si sakit. Setelah selesai, itu
limpa lalu digantung di pohon sampai mengering. Entah buat apa.
Sebuah lagi. Kali ini ikhtiar penyembuhan penyakit kuning.
Kepada sang dukun, diberikan beberapa buah apel armeni dan
sejenis kacang berwarna kuning. Lantas benda-benda itu ditaruh
pada sebuah batu, bersama pakaian si sakit. Seraya
menggerak-gerakkan sebilah pisau di atas barangbarang itu, sang
dukun membacakan doa-doa dan ayat Quran. Si sakit lantas disuruh
memakai pakaian tersebut. Setiap pagi, sebelum makan apa-apa, ia
harus makan itu apel armeni dan kacang kuning.
Sebenarnya pemerintah Turki sejak lama telah menyediakan
berbagai fasilitas pengobatan modern untuk rakyat, dan telah
berhasil pula dalam pemberantasan berbagai penyakit menular.
Namun pengobatan dukun untuk berbagai penyakit lain masih tetap
berlaku di sana hingga kini.
Dukun pun dipandang--setidaknya di kalangan yang masih
lugu--sebagai setingkat dengan dokter, atau pembantu dokter.
Sebab segala penyakit memang datang dari Tuhan. Karena itu,jika
Allah menghendaki, kata mereka, bukan saja akan diturunkan
penyembuhannya. Tapi juga Tuhan yang akan memilih penyembuhnya:
entah dokter entah dukun. Pokoknya orang wajib ikhtiar, kata
mereka.
Seperti juga di Indonesia, di Turki dukun pun macam-macam. Dukun
beranak (bukan dukunnya yang beranak), yang di Jawa Tengah biasa
disebut dukun bayi, dan di Pasundan disebut paraji, di Turki
begitu penting bagi masyarakat. Mereka mendapat pengakuan resmi,
di samping bidan yang beroleh pendidikan khusus.
Tukang sunat pun tentu saja penting bagi pembangunan. Tapi kalau
di Indonesia pekerjaan menyunat biasanya dilakukan orang yang
punya kemahiran khusus (di Jawa Tengah dikenal sebagai bong
supit), di Turki tugas ini sering dikerjakan tukang cukur
setempat. Tak diceritakan apa yang dipakai pisau yang buat
mencukur rambut. ANG barangkali sudah langka di Indonesia ialah
dukun pengisap darah. Bukan mengisap dengan mulut, Iho. Di Turki
mereka biasanya mempergunakan lintah--dia inilah yang
mengisap--dan gelas penampung. Di Indonesia, sampai tahun-tahun
1950-an, selain lintah juga sering digunakan tanduk kerbau yang
dipanasi--untuk memperoleh efek kosong udara.
Caranya: kertas dibakar, dimasukkan ke tanduk. Tanduk yang sudah
hampa udara dilekatkan mulutnya pada bagian tubuh--biasanya
tengkuk-yang sudah dicecah-cecah dengan pisau cukur. "Darah
kotor" pun terhisap --hitam warnanya.
Mungkin praktek itu masih berlaku di sebagian pelosok kita.
Gunanya, kata orang di Turki itu: menyembuhkan rematik, tekanan
darah tinggi, sakit kepala dan bahkan lemah penglihatan. Sering
juga dukun pengisap darah ini beroperasi di pemandian Turki.
Ngeri, tidak?
Dan belakangan, di Turki ada juga dukun mata yang, berkeliling,
mengobati berbagai penyelamat dan bahkan penyakit bular
(alaucoma). Untuk yang sebuah ini ternya kita harus
berhati-hati--umpama kita di sana.
Apa yang disebutkan itu terbilang dukun-dukun biasa--yang dalam
paktek memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan yang
dilakukan dokter.
Tapi ada juga dukun macam lain. Sebagiannya adalah orang-orang
yang dipandang keramat--berkat hubungan dengan makam tertentu,
atau masjid tertentu. Mereka ini biasa disebut hodja. Terutama
mengobati penyakit jiwa dan saraf, ayan, atau bila sakit kepala
membandel. Dan sebagainya. Itu mereka lakukan dengan
mengembus-embus si sakit, memegang-megang bagian tubuh--bahkan
ada pula yang berjalan di tubuhnya--dan mengucapkan kata-kata
yang "mengandung kekuatan" kepadanya. Atau dengan menuliskan
kata-kata tertentu untuk jimat, atau merendam tulisan di air
sebelum diminum.
Di Indonesia pun ada yang mirip. Dalam hal hubungan dengan makam
tertentu, misalnya, dapat disebut sebagai contoh Upik
Zuhaniar--yang memimpin Pusat Pertolongan Pusaka Banten di
Jakarta, dan konon punya hubungan dengan makam Habib Husein
Alaidrus di Luar Batang.
Begitu pula Sudarsono, yang dapat melakukan "pembedahan gaib" di
Hamparan Perak, Sumatera Utara. Kalau Tien Wartiningsih alias
Pangrukti Aji, teman Masagung dari Penerbit Gunung Agung itu,
mengaku keturunan langsung, Sunan Kalijaga, Sudarsono konon
megaku punya hubungan dengan roh walisongo. Dan kalau hodja
di Turki biasa menembus-embus si sakit sebagai laku ritual,
dukun bedah Sumatera ini mengembus pula--tapi pada kedua
telinga, untuk membiusnya sebelum dilakukan operasi.
Mirip dengan kebiasaan mengembus dan memegang seperti dilakukan
para hodju ialah praktek pengobatan seorang kiai--yang tak mau
disebut namanya--di Darusslam Helth Centre, Malang. Ia
memberikan semburan air pada si pasien sebagai laku ritual, dan
memegang-megang tubuhnya untuk mencari di mana penyakit
bersarang. Bila si pasien meronta atau merasa sakit pada bagian
yang dipegang, nah. Di situlah penyakit bercokol.
Juga kebiasaan rnenuliskan kata-kata jimat ataupun merendam
tulisan untuk diminum airnya. DiLakukan misalnya oleh seorang
dukun di Sala, yang berumah di halaman sebuah masjid. Dia biasa
bertafakur sebentar setelah mendengar keluhan si sakit, kemudian
berwudu dan masuk ke dalam--sembahyang. Keluar, ia membawa
secarik kertas bertuliskan rapal. Itulah yang harus direndam dan
dimInum.
Bahkan tak hanya para dukun. Sebab sebenarnya cukup banyak--atau
banyak sekali--kiai di kampung yang sering dimanfaatkan umat
sebagai semacam tabib. Yang bukan profesional ini tak mau
menerima upah, bahkan tak suka nama maupun "praktek" mereka
dikabar-kabarkan. Seorang kiai misalnya akan memegang semangkuk
air, berkomat-kamit membaca doa, kemudian meniup atau
menyemburnya sedikit--dan memberikannya kepada keluarga si
pasien untuk diminum si sakit.
Menuliskan doa pada kertas untuk dilipat, dibungkus kain dan
digantungkan di leher anak yang sakit-sakitan misalnya, seperti
juga menuliskan rapal pada pecahan belanga untuk digantungkan di
bubungan rumah, sering masih merupakan bagian dari "pelayanan"
sang kiai kepada jamaahnya. Di Kalimantan bahkan dikatakan,
seorang kiai yang tidak bisa menolong rakyatnya dari perbuatan
jahat tukang tenung, bukan kiai namanya.
Di Turki, banyak dukun--laki-laki dan perempuan--yang butahuruf.
Dan karenanya tak mempergunakan tulisan dalam berpraktek. Mereka
ini menerima kepandaian dari orang yang lebih tua, biasanya
keluarga sendiri, yang mengajarkan ilmu dan kemudian secara
ritual menyerahkan "sertifikat" dengan menghembus si penerima.
Kemampuan dukun golongan itu umumnya terbatas pada penyakit
tertentu: dukun yang ini khusus penyakit kuning, yang itu
penyakit gigi, yang satu lagi penyakit pinggang, yan lain bisul
atau apa. inilah terutama jenis dukun yang bekerja secara "gaib"
para spesialis yang telah dituturkan di muka.
Bagi mereka, menurut Dr. Margaret Bainbridge, melakukan
penyembuhansebenarnya bukan berurusan dengan penyakit. Melainkan
dengan sang penyebab. Dan penyebab itu mungkin jin, mungkin
setan, tenung, atau kengerian, kesedihan dan gangguan emosional
yang lain, atau hukuman Tuhan, atau campuran semuanya.
Karena itu, terhadap setan misalnya diperlukan jimat, merjan
biru, kertas bertulis ayat-ayat, lambang-lambang untuk digantung
dan sebagainya. Jin bisa didamaikan, konon, dengan air
gula--bila orang pertama kali-pindah ke rumah baru misalnya .
Maklum jin Turki suka minum manis.
Atau dengan mengusir kekuatan jahat itu sekaligus. Misalnya
dengan menimbulkan kejutan. Bila orang yang menderita penyakit
kuning atau malaria dalam keadaan setengah tertidur, tamparlah
dia agar terkejut (tak usah dipraktekkan benar, Iho). Atau guyur
dengan air es agar menggigil. Untuk itu pulalah sang dukun
melempar pisau dalam penyembuhan sakit gigi tadi.
Masih ada cara lain: menimbulkan rasa muak. Tanpa sepengetahuan
si sakit, kepada penderita penyakit kuning berikan air kencing
untuk diminum. Setelah itu beritahukan. Nah. Rasa muak akan
membuat dia muntah-dan bersama itu akan "terbawa keluar pula
kekuatan jahat itu."
Menimbulkan suara bising, menggores tempat antara kedua alis,
mengampak sepotong limpa sapi atau sehelai papan, merupakan cara
lain lagi untuk mengusir. Juga membakar harmel-sejenis tanaman
berdaun pahit, dari Suriah. Bakar, sedot asapnya, terjunlah ke
tengah asap itu, biarkan asap memenuhi rumah dan keluar lewat
pintu--kekuatan jahat "akan terbawa keluar."
Malah itu setan-jin-peri-perayangan konon dapat pula dibujuk
masuk obyek lain yang dianggap sama. Kesamaan itu bisa hanya
dalam warna. Misalnya: untuk penyakit campak dan sejenisnya,
baik dimakan makanan berwarna merah, dipakai pakaian merah dan
dipergunakan minyak obat berwarna merah. Maka jin atau apa akan
berpindah dari anggota tubuh yang diganggunya itu ke makanan
atau pakaian atau apa. Maklum jin-setan itu bodoh. Karena itulah
orang berpenyakit kuning disuruh makan apel armeni dan sejenis
kacang berwarna kuning.
Para dukun itu sendiri mengaku sebagai "muslim tulen"--menurut
Dr. Margaret tadi. Mereka melakukan yang biasa mereka lakukan
yang mereka lakukan, menurut Margaret sebenarnya, tak lain
dari cara-cara penyembuhan dengan sugesti--dalam arti
luas--yang mendapatkan coraknya sendiri dari kebudayaan
setempat. Gampang bukan, kesimpulan begitu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini