Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dunia dukun di turki (dan di sini)

Pengobatan tradisional oleh para dukun di turki seperti sakit gigi, radang limpa, dsb. serta macam-macam dukun dan praktek pengobatannya. di turki, dukun masih dihargai.

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKI-LAKI itu berdiri dengan sebilah pisau di tangan, siap untuk dilemparkan. Di mukanya duduk seseorang menahan sakit, setengah mengerang. Seperti kepala orang inilah yang hendak di timpe. Sekejap pisau itu pun melayang. Tapi ternyata melampaui pipi orang malang ini. Benda tajam itu menancap di dinding di belakang kepalanya. Dan, aneh, saat itu juga orang yang menahan sakit tiba-tiba berhenti mengerang. Ia mulai tampak berseri. Sakitnya hilang. Adegan serupa itu tidak jarang terjadi di Turki. Si pelempar pisau tak lain seorang dukun. Dan yang mengerang-erang itu penderita sakit gigi yang lagi dikerjain. Dr. Margaret Bainbridge, dari he London School of Oriental and African Studies, menuturkan peristiwa embuhan seperti itu di majalah Hemisphere. Ia juga bercerita mengenai penyembuhan radang lpa. Selama proses pengobatan, si penderita berbaring--dan seisi rumah tak hentihentinya memukuli panci dan kaleng-kaleng kosong yang menimbulkan suara bising. Sementara itu sebuah percakapan berlangsung antara sang dukun--yang membawa kapak -- dan pembantunya. "Ke mana, Pak?" "Ha, mau potong limpa!" jawab sang embah dengan suara hebat menggeletar. "Bagus, 'tu. Lekas, Pak, kami tunggu hasilnya." Kemudian sang dukun menyerbu si sakit. Kelihatannya kapak itu ia jatuhkan ke bagian bawah perut si penderita. Padahal dalam kenyataan, jatuhnya cuma pelan saja di tempat yang terasa sakit. Atau dalam peristiwa seperti itu, terkadang kapak memang dijatuhkan sekuat tenaga ke bawah--tapi ke sepotong papan di sisi si penderita. Atau ke sepotong limpa betulan--tapi limpa sapi, yang disediakan di sebelah si sakit. Setelah selesai, itu limpa lalu digantung di pohon sampai mengering. Entah buat apa. Sebuah lagi. Kali ini ikhtiar penyembuhan penyakit kuning. Kepada sang dukun, diberikan beberapa buah apel armeni dan sejenis kacang berwarna kuning. Lantas benda-benda itu ditaruh pada sebuah batu, bersama pakaian si sakit. Seraya menggerak-gerakkan sebilah pisau di atas barangbarang itu, sang dukun membacakan doa-doa dan ayat Quran. Si sakit lantas disuruh memakai pakaian tersebut. Setiap pagi, sebelum makan apa-apa, ia harus makan itu apel armeni dan kacang kuning. Sebenarnya pemerintah Turki sejak lama telah menyediakan berbagai fasilitas pengobatan modern untuk rakyat, dan telah berhasil pula dalam pemberantasan berbagai penyakit menular. Namun pengobatan dukun untuk berbagai penyakit lain masih tetap berlaku di sana hingga kini. Dukun pun dipandang--setidaknya di kalangan yang masih lugu--sebagai setingkat dengan dokter, atau pembantu dokter. Sebab segala penyakit memang datang dari Tuhan. Karena itu,jika Allah menghendaki, kata mereka, bukan saja akan diturunkan penyembuhannya. Tapi juga Tuhan yang akan memilih penyembuhnya: entah dokter entah dukun. Pokoknya orang wajib ikhtiar, kata mereka. Seperti juga di Indonesia, di Turki dukun pun macam-macam. Dukun beranak (bukan dukunnya yang beranak), yang di Jawa Tengah biasa disebut dukun bayi, dan di Pasundan disebut paraji, di Turki begitu penting bagi masyarakat. Mereka mendapat pengakuan resmi, di samping bidan yang beroleh pendidikan khusus. Tukang sunat pun tentu saja penting bagi pembangunan. Tapi kalau di Indonesia pekerjaan menyunat biasanya dilakukan orang yang punya kemahiran khusus (di Jawa Tengah dikenal sebagai bong supit), di Turki tugas ini sering dikerjakan tukang cukur setempat. Tak diceritakan apa yang dipakai pisau yang buat mencukur rambut. ANG barangkali sudah langka di Indonesia ialah dukun pengisap darah. Bukan mengisap dengan mulut, Iho. Di Turki mereka biasanya mempergunakan lintah--dia inilah yang mengisap--dan gelas penampung. Di Indonesia, sampai tahun-tahun 1950-an, selain lintah juga sering digunakan tanduk kerbau yang dipanasi--untuk memperoleh efek kosong udara. Caranya: kertas dibakar, dimasukkan ke tanduk. Tanduk yang sudah hampa udara dilekatkan mulutnya pada bagian tubuh--biasanya tengkuk-yang sudah dicecah-cecah dengan pisau cukur. "Darah kotor" pun terhisap --hitam warnanya. Mungkin praktek itu masih berlaku di sebagian pelosok kita. Gunanya, kata orang di Turki itu: menyembuhkan rematik, tekanan darah tinggi, sakit kepala dan bahkan lemah penglihatan. Sering juga dukun pengisap darah ini beroperasi di pemandian Turki. Ngeri, tidak? Dan belakangan, di Turki ada juga dukun mata yang, berkeliling, mengobati berbagai penyelamat dan bahkan penyakit bular (alaucoma). Untuk yang sebuah ini ternya kita harus berhati-hati--umpama kita di sana. Apa yang disebutkan itu terbilang dukun-dukun biasa--yang dalam paktek memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan yang dilakukan dokter. Tapi ada juga dukun macam lain. Sebagiannya adalah orang-orang yang dipandang keramat--berkat hubungan dengan makam tertentu, atau masjid tertentu. Mereka ini biasa disebut hodja. Terutama mengobati penyakit jiwa dan saraf, ayan, atau bila sakit kepala membandel. Dan sebagainya. Itu mereka lakukan dengan mengembus-embus si sakit, memegang-megang bagian tubuh--bahkan ada pula yang berjalan di tubuhnya--dan mengucapkan kata-kata yang "mengandung kekuatan" kepadanya. Atau dengan menuliskan kata-kata tertentu untuk jimat, atau merendam tulisan di air sebelum diminum. Di Indonesia pun ada yang mirip. Dalam hal hubungan dengan makam tertentu, misalnya, dapat disebut sebagai contoh Upik Zuhaniar--yang memimpin Pusat Pertolongan Pusaka Banten di Jakarta, dan konon punya hubungan dengan makam Habib Husein Alaidrus di Luar Batang. Begitu pula Sudarsono, yang dapat melakukan "pembedahan gaib" di Hamparan Perak, Sumatera Utara. Kalau Tien Wartiningsih alias Pangrukti Aji, teman Masagung dari Penerbit Gunung Agung itu, mengaku keturunan langsung, Sunan Kalijaga, Sudarsono konon megaku punya hubungan dengan roh walisongo. Dan kalau hodja di Turki biasa menembus-embus si sakit sebagai laku ritual, dukun bedah Sumatera ini mengembus pula--tapi pada kedua telinga, untuk membiusnya sebelum dilakukan operasi. Mirip dengan kebiasaan mengembus dan memegang seperti dilakukan para hodju ialah praktek pengobatan seorang kiai--yang tak mau disebut namanya--di Darusslam Helth Centre, Malang. Ia memberikan semburan air pada si pasien sebagai laku ritual, dan memegang-megang tubuhnya untuk mencari di mana penyakit bersarang. Bila si pasien meronta atau merasa sakit pada bagian yang dipegang, nah. Di situlah penyakit bercokol. Juga kebiasaan rnenuliskan kata-kata jimat ataupun merendam tulisan untuk diminum airnya. DiLakukan misalnya oleh seorang dukun di Sala, yang berumah di halaman sebuah masjid. Dia biasa bertafakur sebentar setelah mendengar keluhan si sakit, kemudian berwudu dan masuk ke dalam--sembahyang. Keluar, ia membawa secarik kertas bertuliskan rapal. Itulah yang harus direndam dan dimInum. Bahkan tak hanya para dukun. Sebab sebenarnya cukup banyak--atau banyak sekali--kiai di kampung yang sering dimanfaatkan umat sebagai semacam tabib. Yang bukan profesional ini tak mau menerima upah, bahkan tak suka nama maupun "praktek" mereka dikabar-kabarkan. Seorang kiai misalnya akan memegang semangkuk air, berkomat-kamit membaca doa, kemudian meniup atau menyemburnya sedikit--dan memberikannya kepada keluarga si pasien untuk diminum si sakit. Menuliskan doa pada kertas untuk dilipat, dibungkus kain dan digantungkan di leher anak yang sakit-sakitan misalnya, seperti juga menuliskan rapal pada pecahan belanga untuk digantungkan di bubungan rumah, sering masih merupakan bagian dari "pelayanan" sang kiai kepada jamaahnya. Di Kalimantan bahkan dikatakan, seorang kiai yang tidak bisa menolong rakyatnya dari perbuatan jahat tukang tenung, bukan kiai namanya. Di Turki, banyak dukun--laki-laki dan perempuan--yang butahuruf. Dan karenanya tak mempergunakan tulisan dalam berpraktek. Mereka ini menerima kepandaian dari orang yang lebih tua, biasanya keluarga sendiri, yang mengajarkan ilmu dan kemudian secara ritual menyerahkan "sertifikat" dengan menghembus si penerima. Kemampuan dukun golongan itu umumnya terbatas pada penyakit tertentu: dukun yang ini khusus penyakit kuning, yang itu penyakit gigi, yang satu lagi penyakit pinggang, yan lain bisul atau apa. inilah terutama jenis dukun yang bekerja secara "gaib" para spesialis yang telah dituturkan di muka. Bagi mereka, menurut Dr. Margaret Bainbridge, melakukan penyembuhansebenarnya bukan berurusan dengan penyakit. Melainkan dengan sang penyebab. Dan penyebab itu mungkin jin, mungkin setan, tenung, atau kengerian, kesedihan dan gangguan emosional yang lain, atau hukuman Tuhan, atau campuran semuanya. Karena itu, terhadap setan misalnya diperlukan jimat, merjan biru, kertas bertulis ayat-ayat, lambang-lambang untuk digantung dan sebagainya. Jin bisa didamaikan, konon, dengan air gula--bila orang pertama kali-pindah ke rumah baru misalnya . Maklum jin Turki suka minum manis. Atau dengan mengusir kekuatan jahat itu sekaligus. Misalnya dengan menimbulkan kejutan. Bila orang yang menderita penyakit kuning atau malaria dalam keadaan setengah tertidur, tamparlah dia agar terkejut (tak usah dipraktekkan benar, Iho). Atau guyur dengan air es agar menggigil. Untuk itu pulalah sang dukun melempar pisau dalam penyembuhan sakit gigi tadi. Masih ada cara lain: menimbulkan rasa muak. Tanpa sepengetahuan si sakit, kepada penderita penyakit kuning berikan air kencing untuk diminum. Setelah itu beritahukan. Nah. Rasa muak akan membuat dia muntah-dan bersama itu akan "terbawa keluar pula kekuatan jahat itu." Menimbulkan suara bising, menggores tempat antara kedua alis, mengampak sepotong limpa sapi atau sehelai papan, merupakan cara lain lagi untuk mengusir. Juga membakar harmel-sejenis tanaman berdaun pahit, dari Suriah. Bakar, sedot asapnya, terjunlah ke tengah asap itu, biarkan asap memenuhi rumah dan keluar lewat pintu--kekuatan jahat "akan terbawa keluar." Malah itu setan-jin-peri-perayangan konon dapat pula dibujuk masuk obyek lain yang dianggap sama. Kesamaan itu bisa hanya dalam warna. Misalnya: untuk penyakit campak dan sejenisnya, baik dimakan makanan berwarna merah, dipakai pakaian merah dan dipergunakan minyak obat berwarna merah. Maka jin atau apa akan berpindah dari anggota tubuh yang diganggunya itu ke makanan atau pakaian atau apa. Maklum jin-setan itu bodoh. Karena itulah orang berpenyakit kuning disuruh makan apel armeni dan sejenis kacang berwarna kuning. Para dukun itu sendiri mengaku sebagai "muslim tulen"--menurut Dr. Margaret tadi. Mereka melakukan yang biasa mereka lakukan yang mereka lakukan, menurut Margaret sebenarnya, tak lain dari cara-cara penyembuhan dengan sugesti--dalam arti luas--yang mendapatkan coraknya sendiri dari kebudayaan setempat. Gampang bukan, kesimpulan begitu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus