ANAK-ANAK dan orang tua berduyun-duyun pergi ke bioskop
Paramount, Bandung. Di depan loket mereka membentuk antrean
panjang. Harga Tanda Masuk (HTM) Rp 1.250 seorang habis terjual
dalam tempo kurang dari satu jam. Pemandangan ramai seperti itu
juga tampak di bioskop Plaza.
Hari itu (18 Oktober), dua bioskop kelas A (utama) tersebut
memutar Si Unyil, sebuah film serial boneka anak-anak yang
muncul setiap hari Minggu siang di layar tv. Di kalangan
anak-anak, film karya Pusat Produksi Film Negara (PPFN) tadi
cukup populer. Tapi di luar dugaan, Si Unyil yang diputar di
kedua bioskop tadi serial kisahnya pernah tampil di tv. Apa
boleh buat. Dengan sabar, mereka tetap duduk menonton kisah
Sesal Kemudian, Si Unyil Saki, Ke Rumah Nenek dan Panarlih
(Panitia Pendaftaran Pemilih) yang dirangkaikan jadi satu,
hingga memakan masa putar sekitar satu setengah jam.
Dari dua kali pertunjukan, hari itu Paramount dan Plaza
masing-masing menyedot 1.800 dan 1.300 penonton. PT Tri Daya
Film, pengedar Si Unyil di Bandung, akan memutarnya lagi pada
akhir Oktober ini. Kisah sukses tersebut bermula dari Surabaya.
Ketika awal Oktober diputar di kota itu, sepuluh kisah (episode)
film tersebut mendapat sambutan melimpah. Karenanya, "kami
(kemudian) memberanikan diri memutar (Si) Unyil di Bandung,"
ujar Ny. Maman Ratman dari PT Tri Daya Film.
Sejumlah pengusaha bioskop di Jawa Timur, menurut H. Rusli
Yacoub, Kepala Bagian Produksi PPFN, juga meminta kesempatan
memutar film tersebut. PPFN tidak mengenakan beban tinggi.
"Pihak bioskop hanya dikenakan biaya (untuk membuat) copy-nya
saja," ujarnya. Sampai kini sudah 10 kisah Si Unyil yang beredar
di tangan pengusaha bioskop. Namun di luar dugaan PPFN,
pengusaha bioskop kemudian merangkaikan kisah-kisah tadi menjadi
satu bagian. Padahal, demikian Rusli, kisah Unyil itu dalam
perjanjian hanya boleh diputar sebagai voor film (film
pendamping) saja. "Jika kemudian pihak bioskop memutarnya
sebagai film utama, kami tidak tahu," katanya.
Cerita sukses tersebut akhirnya mendorong PPFN membuat kisah Si
Unyil yang diperankan manusia sesungguhnya. Shooting sudah
dimulai 18 Oktober, dengan judul Unyil Mimpi Jadi Manusia.
Bambang Utoyo, 11 tahun, pengisi suara tokoh boneka Unyil di tv
akan memerankan tokoh itu sendiri. Juga Drs. Suyadi, perancang
boneka Unyil dan pengisi suara Pak Raden (Pak Kumis) akan
memerankan tokoh sendiri itu pula. Film dengan masa putar satu
setengah jam tadi direncanakan hanya untuk konsumsi
bioskop--bukan buat tv.
Akan menarikkah Unyil yang diperankan manusia? Belum jelas. Tapi
jelas film boneka itu juga digemari orang tua. Semula memang
serial boneka itu dikerjakan sebagai hiburan untuk anak-anak. Ke
dalam kisahnya itu disisipkan pesan-pesan pemerintah. Jadi
semacam pelajaran "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
buat anak-anak," kara Drs. Gufron Dwipayana, Direktur PPFN.
"Namun saya tidak ingin si Unyil kelihatan kasar membawakan
pesan (propaganda) pemerintah."
Tapi kisah Si Unyil dalam Raja Diraja (TVRI 11 dan 18 Oktober)
dikritik seorang pembaca koran Kompas. Di situ, Si Unyil yang
tersesat di suatu kerajaan dengan kemampuan luar biasa (ehm)
menjelaskan tentang sistem pemerinuhan suatu negara (Indonesia)
kepada sang raja. Dia juga menjelaskan tentang hakhak seorang
warga negara dalam pemilihan umum. Pembaca tersebut
mengkhawatirkan anak-anak jadi matang sebelum masak.
"Janganjangan nanti Si Unyil diwajibkan mensukseskan pemilu,"
tambahnya.
Perlu Cermat
Sebelum suatu kisah ditampilkan, menurut Dwipayana, PPFN
biasanya berkonsultasi dengan sejumlah pendidik. Jika dianggap
terlalu berat, katanya, pengadeganan suatu cerita kemudian
dibatalkan.
Si Unyil berusia sekitar tujuh tahun, anak tunggal dari keluarga
menengah yang tinggal di pedesaan. Ibunya keras, sementara
ayahnya bijaksana. Si Unyil selalu mengenakan kopiah hitam
dengan sarung dililitkan ke bahu. Dia, menurut Drs. Suyadi
perancang dan pembuat boneka Si Unyil dan kawan-kawan, merupakan
gambaran anak nakal dan cerdas yang selalu ingin tahu segala
hal. Kawan-kawannya: Usro, Cuplis, Si Ucrit, Endut dan Meilani.
"Si Unyil bukanlah anak orang Jawa maupun Sunda. Dia adalah anak
Indonesia," ujar Dwipayana.
Dengan masa puur sekitar dua puluh menit di tv, film serial Si
Unyil (berwarna, 35 mm) mengisahkan anak-anak pedesaan.
Anak-anak kota ternyata menyukainya pula. Dana sebesar Rp 200
juta (sampai tahun anggaran 1981/82) disediakan untuk
menyelesaikan 60 kisah serial tersebut.
Kenapa boneka, bukan kartun saja? "Film boneka lebih murah, dan
mudah mencapai sasaran," jawab Dwipayana. Film kartun
dianggapnya terlalu mahal. Untuk satu kisah (episode) dengan
masa putar sekitar sepuluh menit, film kartun bisa memakan biaya
Rp 40 juta. Kendati cuma boneka, menurut Suyadi, pengerjaan Si
Unyil dan kawan-kawan memerlukan kecermatan. "Yang sulit,
misalnya, membuat (mimik) seorang tokoh pemalas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini