THE MALAY DILEMMA
Mahathir bin Mohamad Federal Publication,
Kualalumpur, Singapore, Hongkong, 1981 (Cetakan 1, 1970), 198
hal.
MALAYSIA adalah sebuah negara multirasial. Kira-kira lima puluh
persen orang Melayu, empat puluh persen orang Cina dan sepuluh
persen orang India. Sistem perekonomiannya kapitalistis, sistem
politiknya demokrasi liberal. Dalam kombinasi sistem seperti
ini, yang mengutamakan kompetisi bebas, sudah sewajarnya kalau
kelompok yang relatif paling kuat menang. Kelompok ini adalah
kelompok orang Cina.
Pada mulanya ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar, terutama
oleh Pemerintah Malaysia. Meskipun pemerintah dikuasai orang
Melayu, mereka adalah penganut prinsip ekonomi liberal yang
taat. Sampai terjadi huru-hara 13 Mei 1969 yang ditujukan kepada
orang Cina. Ada sesuatu yang salah dalam kombinasi sistem
tersebut, agaknya. Dan buku Mahathir bin Mohamad yang sempat
dilarang pada 1970 ini mencoba mempersoalkannya secara terbuka.
Anugerah Tuhan
Menurut Mahathir, dominasi ekonomi orang Cina tidak bisa
dibenarkan. Terlepas itu dicapai melalui persaingan bebas yang
"adil" sekalipun. Alasannya: Malaysia milik orang Melayu. Orang
Cina cuma tamu, ketika orang Melayu sudah lebih dulu
menghuninya.
Lalu bagaimana dengan Australia atau Amerika Serikat, misalnya?
Menurut Mahathir, tuan rumah sebuah negara adalah orang-orang
yang pertama-tama mendirikan pemerintahan yang efektif di negara
tersebut (hal. 126, 127). Di Australia dan AS, orang-orang
putihlah yang melakukan hal ini, bukan orang-orang Aborigin atau
Indian. Tapi Mahathir memang tidak menjelaskan yang dia
maksudkan dengan "pemerintahan yang efektif".
Kedua, faktor jumlah. Ini untuk menjelaskan mengapa tuntutan
orangorang hitam di Afrika Selatan dan Rhodesia, bahwa mereka
adalah pemilik negara-negara tersebut, adalah sah. Jumlah mereka
jauh lebih besar daripada orang putih yang sekarang memerintah.
Pendapat kedua ini sebenarnya sangat berbahaya buat orang Melayu
di Malaysia, karena bisa menjadi bumerang. Pada saat ini memang
orang Melayu jumlahnya lebih besar dari orang Cina. Tapi kita
masih bisa membayangkan, bisa saja pada suatu saat terjadi
perimbangan yang sebaliknya di Malaysia--suatu hal yang tidak
terbayangkan bgi Indonesia.
Maka bagi Mahathir, dominasi ekonomi orang Cina harus diubah.
Sekaligus konsep Mahathir ini mau menggantikan ideologi
kosmopolitanisme dari sistem kompetisi bebas, dengan ideologi
nasionalisme.
Mahathir tidak membantah bahwa orang Cina jauh lebih kuat dan
gesit ketimbang orang Melayu. Bahkan dia memperteguh pendapat
ini dengan memakai teori perbedaan sifat-sifat ras yang
diturunkan. Katanya, orang Yahudi secara naluriah mengerti uang,
orang Eropa punya dorongan keingintahuan yang tak terbatas,
orang Melayu santai dan toleran, orang Cina berbakat jadi
pedagang (hal. 84). Pada orang Melayu, sifat ras ini diperkuat
karena mereka saling kawin dengan sesama keluarganya. Maka hukum
Mendel pun berlakulah: orang Melayu memperkuat kelemahannya.
Penjelasan kelemahan orang Melayu berdasarkan teori genetika ini
kemudian ditambah dengan penjelasan pengaruh lingkungan.
Pertama, lingkungan alam. Malaysia adalah negeri yang subur dan
jarang terlibat peperangan. Maka orang Melayu menjadi manja dan
santai. Sebaliknya denan orang Cina. Mereka datang dari negeri
yang alamnya kejam, dan di situ peperangan sepertinya tanpa
henti. Akibatnya, mereka menjadi orang yang ulet dan rajin.
Ketika datang ke Malaysia, mereka dengan mudah mengalahkan orang
Melayu. "Apa saja yang dapat dilakukan orang Melayu, orang Cina
dapat melakukannya secara lebih baik dan murah," kata Mahathir
(hal. 25).
Kemudian datang orang Inggris yang mau berdagang (tapi akhirnya
menjajah). Adanya orang Cina untuk dijadikan kawan seiring
merupakan suatu "anugerah Tuhan," kata Mahathir (hal. 35).
Akibatnya, posisi ekonomi orang Cina semakin diperkuat.
Penjelasan kesejarahan ini masih ditambah lagi dengan penjelasan
sistem nilai budaya.
Terlalu Bersemangat
Pendeknya, Mahathir benar-benar ingin meyakinkan kita bahwa
orang Melayu sangat lemah, dan karena itu perlu dilindungi dari
sistem kompetisi bebas. Segala macam penjelasan dia gunakan-dari
penjelasan genetis sampai kepada penjelasan historis dan
nilai-nilai budaya.
Celakanya, pendekatan eklektis seperti ini kadang-kadang
menimbulkan kesimpulan yang saling bertentangan. Misalnya,
penjelasan yang memakai teori genetika dari perbedaan ras. Teori
ini membawa pada kesimpulan, bahwa perkawinan campuranlah yang
harus dipakai sebagai jalan keluar, sesuai dengan teori Mendel.
Tapi Mahathir tidak menuju ke sini (karena alasan politis? -
pen.). Dia lebih banyak bicara tentang tindakan pemerintah yang
positif untuk mengubah lingkungan yang tidak menguntungkan orang
Melayu. Dengan mengubah lingkungan, Mahathir percaya bahwa
"perubahan sifat-sifat dan tingkah laku rasial bukan tidak
mungkin" (hal. 96). Teori genetika yang banyak dipakai Mahathir
memang memberikan kemungkinan ini--teori mutasi dari gen. Tapi
ini memerlukan waktu yang sangat lama, melibatkan beberapa
generasi.
Saya sendiri setuju dengan kesimpulan Mahathir, dan ada banyak
teori yang bisa mendukungnya. Misalnya teori kesejarahan tentang
hakekat manusia dari Marx, yang pada dasarnya berpendapat
hakekat manusia berubah sepanjang sejarah, tergantung pada
sistem sosial yang melingkunginya. Hanya saja, persoalan buku
ini adalah pembicaraan yang agak terlalu bersemangat tentang
teori genetika lebih banyak merintangi daripada membantu
kesimpulan yang dijadikan program politik penulis buku ini.
Seperti sudah dinyatakan, Mahathir ingin mengubah lingkungan
sosial yang membuat orang Melayu tersisih dari posisi penting
ekonomi Malaysia. Dan dia menolak perubahan secara evolusioner.
Karena perubahan macam ini "terlalu tergantung pada keadaan
lingkungan dan pelbagai faktor yang sulit dikenali sebelumnya"
(hal. 103).
Dia menginginkan sebuah revolusi. Tapi bukan revolusi berdarah
disertai kekacauan, melainkan revolusi "yang direncanakan dengan
teliti" dan damai (hal. 103). Pemerintah harus secara aktif
menghancurkan dominasi ekonomi orang Cina, membuka kesempatan
kerja kepada orang Melayu. Kalau perlu melakukan diskriminasi
rasial dalam mempekerjakan dan menempatkan orang Melayu ke
posisi-posisi ekonomi yang penting. Mendidik dan mendobrak
nilainilai feodal dan nilai-nilai lain yang menghambat kemajuan
orang Melayu, dan sebagainya. Semacam affirmative action yang
sekarang populer di AS, untuk menolong orang hitam, kaum wanita
dan kaum minoritas lainnya di sana.
Memang, dalam spektrum orangorang yang fanatik pada sistem
persaingan bebas, usul yang diajukan Mahathir terasa sebagai
sebuah revolusi. Bagi orang-orang penganut ajaran sosialisme,
usul ini cumalah merupakan ekspresi pertentangan di kalangan
kaum borjuis Malaysia dengan menggunakan kontradiksi rasial
sebagai alat penggalang kekuatan. Siapa yang bisa menjamin,
setelah "revolusi" ini berhasil, sebagian orang Melayu yang
sudah menjadi kapitalis baru tidak akan mengeksploatasi
orang-orang sekaumnya? Bukankah sistem kapitalis didasarkan pada
dikembangkannya wiraswasta yang profit motivation-nya kuat, dan
tahu bagaimana memancing keuntungan di antara orang-orang miskin
yang berlimpah mencari kerja?
Tapi memang tidak bisa disangkal juga, bahwa "revolusi" Mahathir
paling sedikit bisa mematahkan dominasi ekonomi orang Cina
--sekiranya berhasil. Tapi, mungkinkah ini?
Ada baiknya kalau kita melihat keadaan di Indonesia. Kedua
negara ini sama-sama menghadapi persoalan dominasi ekonomi oleh
orang Cina. Tapi Cina di Indonesia, karena jumlahnya yang kecil,
tidak mempunyai akses langsung ke bidang politik. Di Malaysia,
orang Cina bukan saja punya kekuatan ekonomi, tapi juga politik.
Juga, di Indonesia terdapat keinginan kuat untuk menghilangkan
dominasi ini. Ini sampai sekarang belum berhasil, terlepas dari
sudah banyaknya kemajuan diperoleh kalangan pengusaha pribumi.
Kalau di Indonesia usaha ini belum berhasil, barangkali kita
boleh merasa tidak terlalu optimistis bahwa pelaksanaan
"revolusi" Mahathir di Malaysia bisa berhasil. Kehidupan negara
Malaysia itu sendiri, ditambah dengan kehidupan enak dari
pejabat-pejabat Malaysia, seperti halnya juga di Indonesia,
sudah saling berkaitan secara kompleks dengan kehidupan
perekonomian orang Cina. Paling-paling, "revolusi" ini bisa
menarik beberapa pengusaha Melayu untuk mendapat porsi yang
lebih besar dari rezeki pembangunan.
Tentu saja kenyataan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak
melaksanakan "revolusi" ini. Cuma, ada persoalan yang lebih
besar, ialah apakah "revolusi" ini bisa memecahkan persoalan
kemiskinan mayoritas orang Melayu?
Buku ini tidak punya pretensi sebagai buku ilmiah. Pada edisi
tahun 1981, di sampul belakangnya dituliskan: "Ini bukan karya
yang obyektif. Bagaimanapun juga, (buku) ini diterbitkan karena
dia menggambarkan pemikiran dan kepercayaan dari seorang Melayu
yang terdidik, modern dan progresif."
Buku ini lebih merupakan manifesto politik Dr. Mahathir bin
Mohamad, yang sekarang menjadi Perdana Menteri Malaysia.
Arief Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini