Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kasim, Abumasruh, Harry Roesli

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Imam B. Prasodjo
  • Sosiolog

    "…anyone can steer the ship,
    but it takes a leader to chart the course
    "

    — John C. Maxwell

    Sabtu 22 September 1979. Seorang lelaki muda dipanggil almamaternya, Institut Pertanian Bogor. Muhammad Kasim Arifin, nama pemuda itu, diminta kembali ke kampus untuk menerima gelar insinyur, meski kuliah formalnya telah lama ia tinggalkan. Kasim, putra Aceh itu, sebenarnya tak membutuhkan gelar formal itu. Namun, almamaternya ingin menjadikannya teladan bagi sarjana lain bagaimana menerapkan ilmu untuk kesejahteraan rakyat.

    Selama 15 tahun menghilang dari kampus, Kasim menyelinap ke Desa Waimital, Pulau Seram, untuk bersama para petani menyemai benih, menebar pupuk, menggali saluran air irigasi, merancang penggemukan sapi, dan memakmurkan petani. Kepemimpinan Kasim telah mengubah dataran Waimital yang kering dan tandus menjadi hijau subur. Penyair Taufiq Ismail mengabadikan kisah ini dalam selarik puisi:

    Di Waimital Kasim mencetak harapan,
    di kota kita mencetak keluhan.

    ***

    7 Februari 1972. Seorang Carik Desa Merden, Kabupaten Banjarnegara, meninggal dunia. Rakyat desa tak putus berbaris menghantarkan jenazah Abumasruh, nama carik itu, ke makam.

    Ia dicintai dan dihormati rakyat desa. Abumasruh yang sederhana itu sepanjang hidupnya tak henti memelopori gotong-royong rakyat untuk pembangunan desa. Tak sedikit pun ia menggunakan dana pemerintah dalam merealisasi gagasannya. Buah kepemimpinannya telah menghasilkan berbagai fasilitas publik seperti sekolah, poliklinik, pasar, irigasi, jalan desa, dan penghijauan bukit-bukit tandus.

    Ia menjadi penggerak forum rembuk desa, wadah tumbuhnya demokrasi di wilayahnya—sesuatu yang luar biasa saat itu. Sebuah desa dapat memiliki berbagai perangkat infrastruktur sosial dan fasilitas fisik yang cukup lengkap. Nama Abumasruh tak pernah disebut dalam buku, surat kabar, radio, maupun televisi. Namun, hasil buah tangannya dapat dirasakan rakyat hingga sekarang. Dia menjadi teladan anak-anak muda di desanya hingga kini. Saya adalah salah satu anak desa yang mengecap lembaga pendidikan hasil karya Carik Abumasruh.

    ***

    Sabtu 11 Desember 2004. Saya tersentak dengan berita pendek melalui telepon genggam: "Innalillahi wa Inna Ilaihi Raajiun. Kang Harry telah meninggalkan kita." Saya menundukkan kepala, haru, dan memanjatkan doa untuk Harry Roesli, seorang aktivis kemanusiaan sejati.

    Saya termenung membayangkan ribuan wajah anak-anak sengsara yang bertebaran di jalan-jalan Kota Bandung dan kota lainnya. Mereka meneteskan air mata. Mereka kehilangan orang yang selama ini memberi harapan dan perlindungan.

    Di tengah ribuan seniman yang terbawa arus industri hiburan, berlomba ketenaran, mengeruk keuntungan, Harry Roesli memilih bergulat bersama anak-anak jalanan untuk sekadar bertahan hidup. Tanpa mengenal pamrih dan mempedulikan gengsi, Harry mengajarkan beragam jenis nada, menciptakan lagu, mengembangkan kreativitas, dan membangun harga diri. Harry Roesli memberi contoh kepada kita bagaimana mewakafkan waktu dan ilmu untuk mereka yang papa.

    ***

    Kasim, Abumasruh, dan Harry Roesli adalah contoh kecil dari banyak orang Indonesia yang menjalankan perubahan. Mereka contoh manusia yang diberi anugerah kepemimpinan dengan disertai karakter ketulusan, kejujuran, dan kesederhanaan. Di Desa Waimital, Kasim memberi jalan kepada para petani dan generasi keturunannya untuk terbebas dari kelaparan. Di Desa Merden, Abumasruh membuka akses kepada ribuan penduduk untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan peningkatan ekonomi. Di Bandung, Harry Roesli mencontohkan kebajikan dalam kesederhanaan dan ketulusan, untuk membela mereka yang terpinggirkan.

    Mereka adalah contoh men of action, yang mau ikut berlumpur, melakukan aksi nyata, memberi contoh. Mereka adalah tokoh yang berhasil membangun wibawa dan pengaruh untuk menggerakkan masyarakat melakukan kebaikan. Tokoh Kasim dan Abumasruh memberi pelajaran kepada kita bahwa banyak orang meraih gelar insinyur dan titel keilmuan lain yang bergengsi. Banyak orang bisa menjadi carik atau jabatan lain yang jauh lebih terpandang. Tapi hanya orang-orang tertentu yang mampu membuktikan bahwa ilmu dan jabatannya itu berguna bagi perbaikan hidup orang banyak. "Setiap orang dapat mengemudikan kapal, namun hanya pemimpin sajalah yang mampu memetakan jalan," kata ahli kepemimpinan John C. Maxwell.

    Ketiga tokoh genuine seperti ini tentu sulit masuk dalam daftar penerima Bintang Mahaputra. Mereka dianggap terlalu kecil jasanya untuk dihargai sebagai pahlawan nasional. Namun, saat ini kita semakin merasakan perlunya keteladanan dan hasil nyata dari buah tangan orang-orang semacam mereka. Kebutuhan akan tokoh seperti ini menjadi semakin mendesak di saat Indonesia menghadapi masalah berat seperti sekarang ini.

    Tantangan berat tengah dihadapi negeri ini. Akibat pemerintahan otoriter, ekonomi Indonesia terpuruk dan mengalami krisis berkepanjangan. Konglomerat berjatuhan, dan bahkan kini banyak yang menjadi barisan pengutang terbesar.

    Praktek korupsi terus merajalela dan sulit dihilangkan. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) men-catat korupsi meningkat dari Rp 531 miliar (1987-1996) menjadi Rp 6 triliun (1997-1998) dan Rp 165,85 triliun (1999-2000). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mensinyalir korupsi pada 1999-2004 meningkat menjadi Rp 167 triliun.

    Luar biasa. Indonesia ternyata tumbuh di atas fondasi yang rapuh: gunung pasir yang segera runtuh begitu diterpa angin. Padahal, negeri ini di awal 1990-an pernah mendapat sanjungan luar biasa atas prestasi ekonomi yang dicapai. Indonesia disebut salah satu "Naga Kecil Asia". Bank Dunia menyebut negeri kita sebagai "Asian economic miracles" (keajaiban ekonomi Asia).

    Proses desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah, yang semula dimaksudkan untuk mendorong terjadinya pemerataan ekonomi dan lebih menjamin keadilan politik, ternyata banyak diselewengkan.

    Praktek korupsi dan manipulasi juga subur di berbagai daerah. Desentralisasi kewenangan menjelma menjadi desentralisasi korupsi yang terorganisasi rapi hingga ke provinsi, kabupaten, bahkan kecamatan dan desa.

    Di era reformasi ini kita menyaksikan banyak anggota DPRD provinsi dan kabupaten berbaris menjadi tersangka penyeleweng anggaran. Juga gubernur dan bupati. Tampak jelas bahwa negara terus terongrong oleh kerakusan para elite yang akibatnya memperdalam kesengsaraan rakyat.

    Situasi ini menjadikan pengangguran melonjak. Statistik terakhir menyebutkan penganggur terbuka di Indonesia—sebagian besar berpendidikan rendah—terus melonjak dari 4,29 juta (1996) menjadi 10,13 juta (2003). Angka ini diperkirakan akan meningkat lagi dengan pemulangan tenaga kerja Indonesia besar-besaran dari luar negeri.

    Suramnya gambaran negeri ini menjadi semakin sempurna dengan adanya human development index Indonesia yang rendah: peringkat ke-112 dari 175 negara pada tahun 2003. Kualitas mutu kehidupan manusia Indonesia tampak lebih buruk dari Vietnam, negeri yang dulu kita kenal sebagai negeri terbelakang akibat perang.

    Beban berat ini mustahil diselesaikan oleh orang per orang. Kepemimpinan tunggal sehebat apa pun akan sulit mengatasi situasi negeri yang tengah mendekati situasi darurat kompleks (complex emergency).

    Yang kini kita butuhkan adalah kepemimpinan kolektif (collective leadership) yang jujur, kreatif, dan inovatif. Yaitu barisan pemimpin lokal, jaringan kerja antar-institusi, baik pemerintah maupun swasta, yang berani membuat terobosan-terobosan baru untuk kebaikan bersama.

    Peran yang mereka jalankan tidak boleh kaku atau terpenjara oleh aturan-aturan represif dan prosedur birokratis korup yang kini telah terbukti menjadi tempat berlindungnya praktek manipulasi.

    Komitmen kerja dengan moral yang tinggi tentu tidak menghasilkan perubahan besar bila tidak didukung oleh infrastruktur perundang-undangan yang responsif terhadap dinamika yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, harus ada kesadaran bersama bahwa upaya pemberdayaan masyarakat harus didasari oleh perangkat aturan yang memberi kelonggaran pada tumbuhnya kreativitas positif. Reformasi di bidang hukum menjadi sangat vital.

    Hari ini ribuan anak muda siap bekerja keras, melakukan perbaikan, menggalang kerja sama, meringankan beban rakyat dari penderitaan. Tugas generasi pendahulu adalah melebarkan jalan, menekan ego ketamakan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil peran. Kita menunggu sebuah gerakan besar yang lahir untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik di masa hadapan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus