Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAH tiada guna! Itulah ihwal kulit jeruk keprok saat kita memakan buah ini. Tapi, di tangan Rosa Adelina, Maria Dwi S., dan Dwiana Nawangsari, ihwal itu benar-benar berbalik. Dari sampah, kulit jeruk keprok ”naik derajat” jadi obat ayu dan sehat. Tiga mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada itu mengolahnya menjadi suplemen kecantikan dan pembesar payudara—hmmm…, siapa tak tertarik?
Bernama latin Citrus reticula, jeruk keprok berbungkus kulit multiguna: mampu mengencangkan kulit, meningkatkan kepadatan tulang, dan mengatur kadar kolesterol di tubuh. Hormon estrogen perempuan menyusut drastis di masa tak produktif. Efeknya: berat badan menanjak, kulit kasar, tulang mudah terserang osteoporosis, dan payudara mengendur. Untuk ”mengganti” estrogen, kulit jeruk keprok bisa dipakai. ”Kulit ini mengandung fitoestrogen, senyawa yang berefek seperti estrogen,” kata Rosa.
Penelitian tepat guna seperti inilah yang kerap dilakukan para mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Laboratorium kampus selalu sibuk. Pada puncak penelitian, para mahasiswa biasa ”lembur” di akhir pekan.
Penelitian tak hanya diwajibkan untuk mahasiswa. ”Para dosen harus melakukan penelitian minimal sekali setahun,” ujar Edy Meiyanto, Wakil Dekan Fakultas Farmasi. Termasuk para dosen senior. Sri Noegrohati Soekanto, misalnya. Setahun lagi dia pensiun sebagai pengajar di Fakultas Farmasi. Tapi dia masih rajin keluar-masuk laboratorium. Ia kini sibuk menangani penelitian toksikologi lingkungan.
Edy Meiyanto mengklaim, riset merupakan keunggulan kampusnya. Setiap tahun 150 proposal penelitian diajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui kampus masing-masing. Dari jumlah itu, sekitar 70 proposal diterima, yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian.
Proposal penelitian juga ditawarkan ke lembaga pemerintah lain, misalnya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi, atau ke bidang industri seperti Kimia Farma dan Indo Farma. Perusahaan-perusahaan pembuat jamu atau kosmetik tradisional juga dibidik oleh para pembuat proposal.
Tema penelitiannya beragam, dari pengobatan, makanan, hingga isu lingkungan. Riset berbasis materi alam pun berkembang setelah kampus ini membuka spesialisasi Farmasi Bahan Alam empat tahun silam.
Semula fakultas ini memiliki dua spesialisasi yang disebut ”minat”: Farmasi Sains dan Industri serta Farmasi Komunitas dan Klinik. Sebagian penelitian merupakan proses berkelanjutan, seperti berbagai riset obat antikanker. Riset tentang keampuhan kurkumin, senyawa aktif dalam kunyit sebagai obat kanker, dimulai pada 1990-an.
Banyak dosen dan mahasiswa terlibat dalam riset kurkumin. Perhatian pada kanker diwujudkan dengan pembangunan Cancer Chemoprevention Research Center atau Pusat Penelitian Kemoprevensi Kanker.
Kampus menyediakan insentif riset bagi dosen dan mahasiswa. Jumlahnya? Peneliti berhak atas satu persen dana yang diajukan pada setiap proposal penelitian. Untuk mahasiswa, setiap proposal diberi bonus Rp 100 ribu. ”Itu untuk yang diajukan, belum tentu disetujui,” kata Marchaban, Dekan Fakultas Farmasi.
Fakultas mengalokasikan dana sekitar Rp 300 juta setiap tahun untuk aktivitas ini. Memang kecil dibanding biaya pendidikan fakultas sebesar Rp 16 miliar untuk jenjang S-1 dan Rp 21 miliar untuk S-2. Fasilitas laboratorium juga terbatas. Satu alat dipakai 10-16 mahasiswa. Idealnya, satu alat dipakai lima mahasiswa. Toh, kehidupan penelitian tidak meredup karena biaya yang masih minim.
Untuk mengatasi soal itu, mahasiswa menggunakan laboratorium fakultas lain di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Misalnya Fakultas Kedokteran, Pertanian, Biologi, dan Teknik Kimia. Dana dari industri digalang buat penelitian lanjutan hingga tahap uji pada manusia.
Fakultas Farmasi Gadjah Mada punya sejarah panjang. Didirikan pada September 1946 dengan nama Perguruan Tinggi Ahli Obat, fakultas ini kemudian bergabung dengan Kedokteran, Kedokteran Gigi, Pertanian, dan Kedokteran Hewan. Dipimpin Profesor M. Sardjito, kampus gabungan ini berpusat di Klaten, Jawa Tengah.
Perkuliahan berhenti setelah pemberontakan Madiun 1948. Baru setahun kemudian, kegiatan kuliah dibuka kembali dan berpindah ke Bulaksumur, Yogyakarta. Kini fakultas ini telah memiliki 22 guru besar aktif.
Setiap tahun, menurut Dekan Marchaban, lebih dari 6.200 calon mahasiswa mendaftar. Mereka berebut 200 kursi yang tersedia. Biaya kuliah di sini relatif terjangkau: Rp 500 ribu per semester, plus biaya operasional pendidikan Rp 75 ribu per satuan kredit semester.
Di kampus ini, kulit jeruk keprok, sisa jeruk nipis, dan kunyit ”naik derajat”. Kulit jeruk nipis, misalnya, mengandung senyawa flavonoid yang berpotensi mencegah kanker. ”Kami masih mengembangkan penelitian untuk menghasilkan food supplement dan makanan,” ujar Ilham Pratomo, peneliti di Fakultas Farmasi.
Riset yang berhasil mengalihkan kulit jeruk menjadi obat ayu telah membuahkan prestasi. Trio Rosa, Maria, dan Dwiana menjadi presenter terbaik Kongres Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia 2008. Adapun Ilham dan teman-temannya memenangi lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Universitas Sultan Agung, Semarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo