Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bustanul Arifin
PADA Januari 2006 ini, kontroversi impor beras memasuki episode ketiga, karena telah bergulir ke ranah politik dan mengarah ke hak angket, bahkan hak interpelasi. Episode pertama terjadi pada awal September 2005. Kontroversi dipicu sinyalemen atau kekhawatiran kelangkaan stok domestik. Banyak pedagang beras melakukan ”penahanan” stok karena pemerintah masih ragu-ragu mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Pada waktu itu, harga eceran beras kualitas medium di beberapa kota besar telah melewati Rp 3.000 per kilogram. Kemudian, beredar wacana untuk segera membuka kembali keran impor beras, karena Indonesia masih menerapkan larangan impor beras sampai Desember 2005.
Banyak kalangan menentang karena justifikasi ancaman kelangkaan beras di dalam negeri tampak terlalu artifisial, jika perkiraan produksi beras 2005, yang mencapai 34 juta ton, cukup akurat dan perhitungan stok penyangga dilakukan secara obyektif. Sepanjang 2005 itu cuaca agak bersahabat, sehingga tidak banyak terdengar fenomena gagal panen secara massal.
Umumnya, setiap tahun Bulog mampu mengelola 2 juta hingga 2,2 juta ton setara beras, ditambah pengelolaan program beras untuk keluarga miskin (raskin) yang berkisar 4 juta ton. Laporan Bulog kepada Komisi IV DPR RI per 14 September 2005 menyebutkan stok yang dikelolanya mencapai 1,64 juta ton setara beras yang tersebar di seluruh Indonesia, atau cukup untuk 8,88 bulan penyaluran rutin. Sekali lagi, ancaman kelangkaan beras dalam negeri sulit diterima karena perkiraan produksi beras cukup baik.
Episode kedua terjadi pada November 2005. Kontroversi berawal dari hasil rapat koordinasi terbatas Kabinet Indonesia Bersatu, 22 dan 25 Oktober 2005, yang memberikan izin impor kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog sebesar 70,050 ribu ton. Izin impor itu dikuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 05/M-DAG/11/2005 Tanggal 1 November 2005.
Izin impor beras itu dianggap mengabaikan instrumen kebijakan sebelumnya, yang melarang impor beras sampai akhir 2005, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 9/MPP/Kep/1/2004 tentang pengaturan impor beras, yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan telah diperpanjang atau direvisi dua kali.
Argumen yang digunakan oleh para pendukung impor beras masih mirip, bahwa impor beras hanya akan digunakan untuk mengisi stok domestik. Masyarakat kemudian mulai bertanya-tanya, berapa sebenarnya neraca produksi dan konsumsi beras di Indonesia per tahun. Untuk 2005, Departemen Pertanian mengatakan surplus, Departemen Perdagangan dan Badan Pusat Statistik mengatakan defisit, walaupun selisihnya tidak sampai 650 ribu ton.
Para petinggi negara seakan lupa bahwa perbedaan data tersebut sangat mengganggu ekonomi perberasan, karena pasar beras di dalam negeri memiliki struktur asimetris. Para pedagang beras, yang juga merangkap penggilingan padi, selama ini telah ”mengelola” cadangan beras di gudang, menaikkan harga jual beras, dan menekan harga beli gabah petani. Akhirnya, setelah melalui rapat berkali-kali, tim ekonomi baru hasil reshuffle terbatas menghasilkan ”angka kesepakatan” bahwa neraca beras 2005 hanya minus 25 ribu ton.
Episode ketiga, sekarang, sebetulnya lebih dramatis. Dipicu kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai akibat kenaikan harga BBM, pemerintah konon ”sangat peduli” akan kenaikan harga eceran beras yang melewati Rp 4.000 per kilogram pada akhir Desember 2005. Sekali lagi, stok pemerintah yang dikelola Bulog dilaporkan menipis sampai di bawah 1 juta ton, walaupun tidak ada mekanisme terbuka untuk melakukan cek silang atas laporan tersebut.
Upaya mobilisasi dari pengadaan beras domestik dilakukan sampai batas waktu 5 Januari 2006, yang tentu saja sulit dipenuhi karena kebijakan terbaru Instruksi Presiden No. 13/2005 menetapkan harga pembelian beras Rp 3.550 per kilogram. Harga eceran beras di pasar domestik saat ini tidak ada yang di bawah Rp 3.800 per kilogram.
Bulog kemudian diizinkan melakukan impor beras 110 ribu ton dari Vietnam, hanya untuk memenuhi stok penyangga domestik, dan konon hanya akan langsung menuju gudang-gudang Bulog, terutama di Luar Jawa. Di sinilah penjelasan menjadi simpang-siur dan kontroversi semakin tidak berujung, karena argumen tentang stabilisasi harga menjadi hambar.
Studi empiris terakhir telah menunjukkan bahwa kebijakan stabilisasi harga beras saat ini telah semakin mahal dan tidak terjangkau (Arifin, 2005). Studi lain juga menunjukkan bahwa Bulog hanya berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada periode isolasi pasar masa Orde Baru, tapi tidak berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga beras, baik pada periode isolasi pasar, ”pasar bebas” masa reformasi, maupun pada pasar terbuka terkendali (Suparmin, 2005).
Jika beras impor itu memang betul hanya langsung masuk gudang, pasti sulit sekali menekan harga eceran beras di tingkat konsumen. Artinya, impor beras saat ini akan sia-sia belaka. Sebaliknya, jika beras impor dilempar ke pasar domestik, dikhawatirkan akan menekan harga gabah petani, yang akan mulai panen pada Februari ini. Dengan kesimpang-siuran seperti itu, hak angket dan hak interpelasi mungkin hanya akan memperkeruh, bukan memberikan solusi obyektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo