Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Pasti Karena Si Bung

Era demokrasi liberal sempat membangkitkan semangat pemberantasan korupsi. Amblas karena intervensi politik dan militer.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di rumah mendiang Daniel S. Lev di Seattle, Amerika, ada sebuah foto seukuran kalender. Foto hitam-putih dipigura rapi. Tampak belasan anak muda Indonesia, sebagian berpakaian Barat, beberapa memakai blangkon, berpose dengan mimik serius. Itulah foto mahasiswa Indonesia yang kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, angkatan 1920-an.

Foto tersebut itu dipajang di dinding dalam setelah ruang tamu. Terlihat di sana ada Achmad Soebardjo, Sartono, Soejoedi, Iwa Kusumasumantri, Nazir Pamoentjak, dan beberapa yang lain. ”Mungkin Dan mendapatkannya dari Sartono (mantan Ketua DPR 1953–1959—Red.) Mereka bersahabat,” kata Marsillam Simanjuntak, kolega dekat Dan Lev.

Bukan tanpa alasan foto itu dipajang oleh ahli Indonesia terkemuka itu. Kepada beberapa sahabatnya, Lev mengaku mengagumi anak-anak muda yang bergaya itu. ”Mereka luar biasa,” kata Dan.

Dan tidaklah keliru. Foto itu seperti awal sebuah cerita kehidupan. Saat itu ada 43 mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda, 14 orang di antaranya mengambil studi hukum. Sebagian besar dari mereka kuliah di Leiden. Di kemudian hari, setelah berhasil membawa pulang gelar Meester in de Rechten, banyak di antara mereka yang kemudian menjadi motor utama pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia.

Leiden memang lebih banyak menyulap mahasiswa Indonesia menjadi aktivis politik ketimbang fakultas serupa di Universitas Utrecht. ”Leiden lebih progresif,” kata aktivis politik Soebadio Sastrosatomo.

Para anak muda pribumi itu mendapat pengaruh kuat dari tokoh paling radikal pada masa itu, Prof. Dr. Cornelis van Vollenhoven (1874–1933). Van Vollenhoven adalah guru besar hukum adat di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, sejak 1901.

Van Vollenhoven, yang sampai kini bukunya menjadi bacaan wajib mahasiswa hukum, adalah pelopor aliran hak etis (de etische richting). Aliran ini jauh lebih kritis ketimbang ”saudara kembarnya”, politik etis (de etische politiek) yang sangat tergantung pada kebaikan kaum penjajah ketimbang kebutuhan rakyat di wilayah anak jajahan.

Vollenhoven makin yakin bahwa Hindia Belanda harus diberi kesempatan menuju otonomi, emansipasi, dan bebas dari perwalian (ontvoogding) negeri penjajahnya. Kesempatan itu tidaklah datang karena kebaikan atau pemberian, melainkan hak yang semestinya.

Sekembalinya ke Indonesia, mereka memasuki lapangan kerja hukum yang masih didominasi kulit putih. Beberapa di antaranya memilih menjadi advokat, profesi hukum yang lebih dekat untuk membela pribumi. Ali Sastroamidjojo bermitra dengan Soejoedi. Juga, Besar Mertokusumo yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang, Jawa Tengah.

Sebagian alumni Leiden ini kemudian duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mereka banyak memberikan ide dan warna di BPUPKI. Achmad Soebardjo, misalnya, menuntut pembentukan Kementerian Kehakiman yang terpisah dari Kejaksaan. Tapi sumbangan terpenting mereka di badan yang berisi 68 orang wakil rakyat Indonesia ini adalah rumusan reschstaat atau negara hukum dalam konstitusi Indonesia merdeka.

l l l

Setelah Proklamasi, Kementerian Kehakiman mencabut banyak aturan peninggalan Jepang dan Belanda. Beberapa dipertahankan untuk mencegah kekosongan hukum. Jaksa dan hakim melakukan penyesuaian dan penataan organisasi di tengah kecamuk perang. Tak banyak yang bisa dilakukan. Hanya sedikit perkara yang bisa ditangani. Beberapa perkara pemberontakan mewarnai periode ini, misalnya pengadilan Kutil, tokoh Pemberontakan Tiga Daerah di Pekalongan, dan Peristiwa 3 Juli 1946, percobaan kudeta oleh Jenderal Mayor Soedarsono dan Mr. Muhammad Yamin.

Setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, langkah-langkah menuju rechstaat seharusnya bisa dilakukan. Tapi Republik Indonesia Serikat, yang menganut sistem federal, membuat badan penuntutan dan pengadilan harus ditata ulang. Lembaga-lembaga hukum ini relatif mulai stabil setelah pembubaran RIS pada 1950. Itu pun baru terasa pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dari Partai Masyumi (12 Agustus 1955–24 Maret 1956).

Membuat polisi, jaksa, dan hakim akur dalam sebuah sistem peradilan bukan perkara gampang. Karena, belum-belum, misalnya, hakim memprotes aturan gaji jaksa yang kelewat tinggi berdasarkan aturan 1951. Hakim menuntut gaji yang lebih tinggi karena merasa posisi mereka secara ”hukum” dan sosial di atas jaksa. ”Kerja hakim juga lebih berat. Karena harus menyidangkan banyak perkara,” kata Soerjadi, Ketua Ikatan Hakim, kala itu.

Dibutuhkan waktu tiga tahun (1953–1956) untuk menyelesaikan perkara ini. Wakil dari Ikatan Hakim dan wakil Persatuan Djaksa terpaksa dipanggil dan didengar keterangannya oleh Menteri Kehakiman, parlemen, dan Badan Kepegawaian. Keputusan berakhir dengan kemenangan jaksa dan dibalas dengan pemogokan hakim pada 1 Maret 1953, yang kemudian dibatalkan oleh Ikatan Hakim sendiri dua hari kemudian.

Pada 20 Agustus 1955, Kabinet Burhanuddin Harahap menggulirkan Rencana Undang-Undang Darurat Anti Korupsi. ”Banyak orang kaya mendadak harus buktikan dia tidak korupsi,” kata Burhanuddin seperti dikutip Harian Indonesia Raya. Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata menyatakan undang-undang ini akan menganut prinsip pembuktian terbalik dan berlaku surut. Sejumlah pengadilan khusus antikorupsi juga akan dibentuk di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tapi aturan baru ini ditolak Presiden Soekarno.

Pasca-Pemilu 1955, terbentuklah parlemen dan pemerintahan yang lebih kokoh. Usaha membangun independensi pengadilan dan penanganan perkara mulai jadi perhatian. Periode ini, yang dianggap sebangun dengan ”kualitas” perdebatan anggota Konstituante, oleh advokat senior Adnan Buyung Nasution dianggap terbaik. ”Menteri-menteri diusut dan diadili. Tidak pernah terjadi di masa sebelumnya dan masa sekarang,” kata Buyung yang juga mantan jaksa ini dalam diskusi dengan Tempo, Mei lalu.

Jaksa-jaksa, seperti klaim organisasi mereka, juga bekerja keras. ”Setiap pagi di kantor, kami dihadapkan pada setumpuk berkas. Segini,” kata Prijatna Abdurrasjid sembari mengangkat tangannya setinggi 30 sentimeter dari meja. Dalam sehari, berkas itu beres. Bahkan Jaksa Agung Suprapto menyidik sendiri Sultan Hamid—dengan mesin ketik tua milik Kejaksaan yang tuts-tuts hurufnya alot—dan menuntutnya sendiri di Mahkamah Agung pada 1953. Para Jaksa Agung Muda seperti Oemar Seno Adji dan Mutalib Moro pun bersidang.

Hal itu tidaklah istimewa saat itu karena, seperti dinyatakan sendiri oleh Oemar Seno Adji pada Kongres Persadja pada 6–9 Agustus 1955 di Semarang, Jawa Tengah, Kejaksaan kekurangan tenaga. Jumlah jaksa di Indonesia ketika itu hanya 700 orang. Padahal, Indonesia membutuhkan seribu lebih jaksa. ”Akibatnya ada jaksa berumur 75 tahun masih bekerja di Jawa Tengah, namanya Mangunsoedarmo,” kata Seno Adji, seperti dikutip Harian Indonesia Raja.

Periode 1955 sampai keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 amat hiruk-pikuk. Di Jakarta dan Bandung, tempat anggota Konstituante bersidang, perkara-perkara ”politik” banyak bermunculan.

Lima hari setelah menghadiri Resepsi Kongres Persadja di Balai Kota Semarang pada 7 Agustus 1955, yang dihadiri Ketua Parlemen Sartono, Jaksa Agung Soeprapto, dan Menteri Kehakiman demisioner Djodi Gondokusumo, jaksa menangkap Djodi. Tuduhan untuk Ketua Partai Rakyat Nasional ini adalah menerima suap dalam pengurusan visa Bong Kim Tjong. Kasus ini dilaporkan oleh Tan Po Goan, seorang advokat yang juga anggota Partai Sosialis Indonesia (lihat Menghalau Korupsi di Awal Republik).

Atau, perkara Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, yang juga dituduh menerima uang Rp 1,5 juta dari Wakil Direktur Percetakan Negara, Lie Hok Thay. Roeslan ditangkap dengan surat perintah Kolonel Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi, 13 Agustus 1956. Padahal, saat itu, tokoh arek Surabaya ini mendapat tugas dari Perdana Menteri untuk mengikuti konferensi di London dan harus berangkat pagi itu. Kasus ini terungkap setelah sekelompok pemuda menculik Hok Thay dan menyerahkannya ke polisi (lihat Menjerat dengan Aturan Devisa).

Senjakala penegakan hukum mulai terasa pada 1958. Ketika angin berbalik karena Soekarno jenuh dengan kerja Kontituante yang bertele-tele, Kejaksaan berubah menjadi ”alat kekuasaan”. Di Bandung, lima orang anggota Konstituante dari Partai Masyumi ditahan atas perintah Jaksa Agung Soeprapto. Sebabnya, mereka mengecam Konsepsi Demokrasi Terpimpin sebagai arah menuju diktatorial.

Setelah Dekrit Presiden diumumkan 5 Juli 1959, tekanan terhadap ”musuh-musuh” politik pun menguat. Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, dan Dr. Lie Kiat Seng ditahan karena dituduh membantu Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Sejumlah mantan anggota Konstituante dari Partai Masyumi, seperti Mawardi Noor dan Udin Syamsudin, juga ditahan dengan tuduhan serupa.

Soekarno dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, otobiografi yang disusun Cindy Adams, menjelaskan adanya hukum revolusi, yakni ”pukul musuh kamu, bunuh atau dibunuh. Penjarakan atau dipenjarakan.” Hukum ini pula yang mengenai Sutan Sjahrir pada 1962, meskipun secara pribadi ia tidak mendendam. ”Aku menyadari bahwa ini suatu permainan dua sisi yang mengerikan dan aku terlibat. Permainan untuk kelangsungan hidup.”

l l l

Pada 1 April 1959, Jaksa Agung Soeprapto diberhentikan oleh Presiden Soekarno. Ia dicopot karena ”memberi tekanan” pada Presiden Soekarno. Sebagai gantinya diangkat Mr. Gatot Tarunamihardja, yang juga Jaksa Agung pertama Indonesia. Masa jabatan Gatot yang singkat, cuma 4 bulan 21 hari, berakhir tragis.

Pada 10 September 1959, ia ditangkap tentara Angkatan Darat atas perintah Penguasa Perang Pusat. Ia baru diperiksa setelah dua hari ditahan Markas Besar Angkatan Darat. Harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 14 September 1959 menulis, Gatot ditangkap karena ia menyusun ”jaringan gelap di dalam alat-alat negara dengan melanggar segala hierarki dan organisasi yang dapat menimbulkan disintegrasi”. ”Tindakan tersebut sebagai usaha preventif menghindarkan kekacauan yang lebih luas dan tetap terpeliharanya Angkatan Darat khususnya dan Angkatan Perang umumnya,” demikian siaran pers Markas Besar AD.

Penangkapan Jaksa Agung Gatot tentu menimbulkan kegemparan. Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Abdul Harris Nasution dan Perdana Menteri Djuanda secara khusus dipanggil Presiden Soekarno. Pada 17 September 1959, Gatot pun dipanggil ke Istana, namun dengan kawalan ketat tentara. ”Sabar, sabar. Datanglah besok di Istana Merdeka. Mungkin dapat minuman stroop,” kata Bung Karno sambil tertawa pada wartawan yang menanyakan hasil pembicaraan.

Hasil pembicaraan Soekarno dengan Djuanda dan Nasution akhirnya memutuskan mencopot Gatot sebagai Jaksa Agung dan mengembalikannya ke Departemen Kehakiman. Belakangan terungkap lebih terang sebab-musabab penangkapan Gatot. ”Kesalahan” Gatot adalah karena mengusut kasus ”barter Priok”, impor gelap oleh sejumlah perwira Angkatan Darat.

Kejaksaan semula mengusut sejumlah perwira-perwira rendahan, namun Gatot mengembangkan kasusnya untuk menjangkau level perwira di atasnya. Ia mengajukan permintaan kekuasaan khusus dari Presiden Soekarno atas polisi dan polisi militer untuk mengusut perkara itu. Soekarno mengabulkannya.

Santer disebut-sebut kala itu, impor itu sebenarnya dilakukan oleh Markas Besar Angkatan Darat untuk mencari dana bagi penumpasan sejumlah pemberontakan di daerah. Pengusutan itu membuat tentara gusar dan polisi militer menolak tunduk pada Gatot. Berkat kuasa SOB (Staat van Oorlog en Beleg atau darurat perang), Markas Besar Angkatan Darat menangkap Gatot. Perkara impor ini kemudian terhenti karena Jaksa Agung R. Goenawan, yang menggantikan Gatot, menutup kasusnya.

Situasi Demokrasi Terpimpin makin menguatkan intervensi politik dan militer ke ruang pemeriksaan dan pengadilan. Demokrasi Terpimpin, seperti kata Bung Karno, tidak membutuhkan sarjana hukum yang rewel untuk menuntaskan revolusi. ”Met de juristen kunnen wij geen revolutie maken” (dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi). Cita-cita membangun negara hukum pun masuk laci.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus