Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjerat dengan Aturan Devisa

Gagal membuktikan Roeslan terlibat korupsi, Kejaksaan Agung mendakwanya membawa dolar tanpa izin.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekitar pukul 6 pagi, 13 Agustus 1956, sesuatu yang tak biasa terjadi di rumah Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, di Jalan Diponegoro, Jakarta. Roeslan tengah bersiap ke Bandara Kemayoran. Dia akan memimpin kontingen Indonesia mengikuti konferensi internasional tentang Suez di London. Tiba-tiba sebuah jip yang dikendarai dua tentara masuk ke halaman rumahnya. Mereka membawa surat perintah Kolonel Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi, untuk menangkap Roeslan.

Menurut kedua orang itu, mereka diperintahkan ”membawa” Roeslan karena dia terlibat korupsi di Percetakan Negara. Wakil Direktur Percetakan Negara Lie Hok Thay, yang lebih dulu ditangkap, mengaku memberikan uang haram sejumlah Rp 1,5 juta kepada Roeslan.

Orang dekat Soekarno itu terkejut. Roeslan berusaha menjelaskan bahwa dia mendapat tugas dari perdana menteri untuk mengikuti konferensi di London dan harus berangkat pagi itu. Tapi kedua orang tersebut tak mau peduli. Mereka malah memerintahkan Roeslan segera berkemas.

Roeslan tak berdaya. Anak-anaknya pun tak bisa ke sekolah karena kedua tamu itu sengaja memarkir mobil jip mereka melintang di depan pagar rumah. Seluruh keluarga bingung.

Baiknya, dalam situasi yang mencekam itu, Nyonya Roeslan teringat untuk menghubungi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Ali terkejut, lalu minta bicara dengan tentara yang bertugas menangkap Roeslan. Dia memerintahkan agar penangkapan dibatalkan, tapi si petugas menolak. Baru setelah Ali menghubungi Komandan Satuan Angkatan Darat (KSAD) Jenderal A.H. Nasution, kedua orang itu mundur. Roeslan akhirnya berangkat ke London.

Drama satu setengah jam itu jadi isu besar. Harian Indonesia Raja dan Pedoman memberitakannya berhari-hari. ”Saya sudah agak lupa, tapi itu jadi ramai,” cerita Rosihan Anwar, mantan Ketua Dewan Redaksi Pedoman. ”Meskipun rasanya Roeslan tidak terima banyak.”

Sehari setelah upaya penangkapan itu, di Bandung, Wakil Perdana Menteri Mohamad Roem bertemu dengan wartawan. Menurut dia, perintah Kawilarang telah mendapat persetujuan Nasution. Jaksa Agung Soeprapto pun tahu. ”Itu hanya untuk memeriksa dan bukan untuk menangkap,” ujarnya. ”Cuma, barangkali waktunya tidak tepat.”

Jaksa Agung tak banyak bicara. Kepada pers, dia hanya mengatakan akan menanyai Roeslan sekembalinya dari London. Sebaliknya, dia mengingatkan media agar tidak mengecam petugas dan pejabat negara. ”Apalagi yang sedang berunding mewakili negara,” katanya seperti dikutip Pedoman, 28 Agustus 1958.

l l l

Kasus korupsi di Percetakan Negara bermula dari laporan Kepala Urusan Pegawai Kementerian Penerangan kepada Menteri Sudibyo pada pertengahan 1955. Isinya, telah terjadi kekacauan dalam pengelolaan Percetakan Negara: ada indikasi korupsi dan suasana kerja yang amburadul akibat cekcok antara Direktur Pieter de Queljoc dan Hok Thay. Laporan tersebut menyarankan Menteri memecat dua pejabat itu.

Namun Sudibyo tak mengambil tindakan. Mungkin dia ragu karena De Queljoc adalah anggota Partai Nasional Indonesia. Ini membuat para pemuda marah. Mereka menculik Hok Thay dan menyerahkannya kepada polisi pada 17 Juli. Dalam pemeriksaan polisi yang dipimpin langsung oleh Kepala Kepolisian Jakarta Komisaris Besar Djen Mohammad itulah Hok Thay mengaku bahwa beberapa pejabat, termasuk Roeslan, ikut menikmati hasil korupsinya.

Agar bisa memeriksa Roeslan, polisi lalu minta bantuan Kawilarang. Ketika itu, panglima tentara teritorium memang memiliki wewenang untuk menangkap.

Nyatanya, Roeslan tak tersentuh karena campur tangan Ali dan Nasution. Marah, Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis lantas mengecam kedua pejabat itu secara terbuka. ”PM Ali dan KSAD Nasution telah membela yang batil,” ujar Zulkifli dalam wawancara dengan Indonesia Raja sehari setelah upaya penangkapan yang gagal. Lima hari setelah mengeluarkan komentar pedas itu, Zulkifli mengundurkan diri.

Belakangan, dalam otobiografinya, Ali Sastro menuduh peristiwa itu sebagai konspirasi politik yang dirancang Kawilarang dan Zulkifli untuk menjatuhkan kabinetnya. Itu berkaitan dengan niat KSAD mengocok ulang pos penting di Angkatan Darat: Zulkifli akan digeser ke Sumatera Utara menjadi Panglima Divisi Bukit Barisan dan Kawilarang ditarik dari Siliwangi. Rencana tour of duty ini, menurut Ali, tak disukai keduanya. Maka dirancanglah peristiwa 13 Agustus itu agar kabinet jatuh dan pergeseran yang telah ditetapkan pun batal.

l l l

Lepasnya Roeslan tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Beberapa anggota DPR mulai bersuara meminta Perdana Menteri Ali menjelaskan kasus itu di hadapan parlemen. Apalagi Indonesia Raja dan Pedoman tak henti-hentinya mengorek cerita mengenai korupsi di Percetakan Negara itu.

Pemerintah kemudian membentuk komisi khusus di bawah pimpinan Mohamad Roem untuk mengklarifikasi korupsi Roeslan. Salah satu anggota tim itu adalah Jaksa Agung. Hasilnya, tak ditemukan bukti Roeslan terlibat korupsi.

”Eh, entah kenapa, tiba-tiba pada Desember Jaksa Agung memeriksa Mochtar Lubis,” ujar Atmakusumah Astraatmadja, mantan wartawan Indonesia Raja. ”Mochtar didakwa telah menghina dan menyatakan perasaan kebencian kepada pejabat pemerintah.” Yang dimaksud adalah berita-berita mengenai Roeslan di Indonesia Raja.

Di pengadilan, Mochtar menunjukkan fotokopi dokumen pemeriksaan polisi atas Hok Thay yang berisi pengakuan bahwa Roeslan menerima sejumlah uang darinya. Bukti-bukti itu memperkuat pembelaan diri Mochtar sehingga pada 30 Juli 1957 hakim Abdul Razak membebaskan dia dari segala tuduhan.

Mochtar lepas. Namun proses pengadilan itu mengungkap fakta lain: Roeslan pernah menerima uang US$ 11 ribu dari Hok Thay saat mengikuti Presiden Soekarno melawat ke Washington pada Mei 1956!

Soeprapto pun menelusuri kasus itu dan membawanya ke Mahkamah Agung dengan dakwaan Roeslan telah membawa dolar ke luar negeri tanpa izin dari Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri. Selagi perkara Mochtar berjalan, Roeslan disidangkan di Mahkamah Agung.

”Saya merasa berkewajiban melakukan penuntutan…. Seorang pejabat tinggi seperti menlu mempunyai kewajiban-kewajiban dan harus menjadi teladan bagi rakyat,” ujar penuntut, Jaksa Agung Muda Zainal Abidin, dalam dakwaannya.

Persidangan Roeslan berlangsung cepat, tapi alot. Roeslan, yang bukan Menteri Luar Negeri lagi menyusul runtuhnya kabinet Ali Sastro, bersaksi bahwa dia cuma membawa titipan Hok Thay dalam amplop cokelat tertutup untuk Letnan Kolonel M.J. Prajogo, pegawai Departemen Pertahanan, yang sedang berada di Washington. Dia tak tahu bahwa amplop itu berisi dolar. ”Telah 12 tahun lamanya saya memberikan amal untuk negara,” ujarnya. ”Kalau saya mengetahui titipan itu akan melanggar peraturan, saya tidak akan melakukannya.”

Akhirnya, pada 13 April 1957, majelis hakim agung pimpinan R.S. Kartanegara memvonis Roeslan bersalah. Namun, karena menganggap Roeslan tak sengaja melakukan hal itu, majelis hakim hanya mendendanya Rp 5.000. Memang, vonis ini tak sesuai dengan tuntutan jaksa: penjara tiga bulan, tapi setidaknya orang dekat Soekarno bisa dipidana.

Herbert Feith, dalam bukunya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menyebut kasus Roeslan sebenarnya tidak seberapa dibanding korupsi menteri-menteri lain masa itu. Namun proses pengadilan terhadap Roeslan menjadi penting sebagai sasaran antara untuk menyorot kabinet secara keseluruhan.Barangkali Feith benar dan mungkin itu pula maksud Soeprapto mengejar Roeslan. ”Saya ingat sekali, Jaksa Agung sendiri turun tangan memeriksa Roeslan,” ujar Prof Dr H Priyatna Abdurrasjid, anak buah Soeprapto kala itu, mengenang kasus Roeslan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus