Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menghalau Korupsi di Awal Republik

Perang melawan korupsi gencar dilakukan pada masa demokrasi liberal. Salah satu yang diadili adalah Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESTA itu berlangsung meriah. Diselenggarakan di kediaman Wakil Presiden Mohamad Hatta, Jakarta, Jumat, 12 Agustus 1955, keriaan itu digelar untuk menyambut kabinet baru Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Semua menteri baru dan lama hadir dalam resepsi itu. Tapi seorang tak datang: Mr Djodi Gondokusumo, Menteri Kehakiman pada kabinet sebelumnya. Dalam pesta itu, Djodi hanya mengirim karangan bunga ucapan selamat.

Djodi memang tidak bisa hadir malam itu. Beberapa jam sebelumnya, sekitar pukul empat seperempat, Ketua Umum Partai Rakyat Nasional (PRN)—pecahan Partai Nasional Indonesia—itu dijemput truk Powerwagon berlambang Korps Polisi Militer di rumahnya, Jalan Teuku Umar 44, Menteng, Jakarta Pusat. Djodi ditangkap dengan tuduhan korupsi. Dalam penangkapan itu Djodi mengenakan jas wol dan berdasi.

Kejaksaan Agung bergerak cepat. Beberapa jam setelah penangkapan itu, kejaksaan menggeledah sebuah rumah di Jalan Kenari 22, Jakarta, yang sering dikunjungi Djodi. Dalam brankas di rumah itu, ditemukan uang kertas Rp 135 ribu—jumlah yang tak sedikit kala itu.

Keesokan harinya, penangkapan dilanjutkan. Satu demi satu, kaki-tangan Djodi di kantor Jawatan Imigrasi, Partai Rakyat Nasional, dan Kementerian Kehakiman dicokok jaksa. Tak kurang dari sepuluh orang ditangkap di hari kedua, termasuk dua jaksa yang bekerja di Biro Pengawasan Orang Asing Jawatan Imigrasi. Dua pekan kemudian, rekening bank Djodi dibekukan.

”Tersangka sudah lama kami ikuti,” kata Jaksa Agung Soeprapto dalam konferensi pers sehari setelah penangkapan. Dia membantah kasus ini bermuatan politis. Penangkapan baru bisa dilakukan beberapa jam setelah pelantikan kabinet baru karena, ”Secara psikologis, kurang tepat jika penangkapan dilakukan pada saat dia masih menteri,” kata Soeprapto. ”Ini bukan soal berani atau tidak.”

Keluarga Gondokusumo bukannya tidak berbuat apa-apa. Pada 29 Agustus 1955, lebih dari dua pekan setelah Djodi ditahan, istrinya sempat menemui Jaksa Agung dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Zulkifli Lubis, meminta Djodi diberi status tahanan luar. Permintaan ini ditolak hari itu juga.

Penangkapan Djodi mengawali gelombang penangkapan eks menteri, sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang dicanangkan perdana menteri baru, Burhanuddin Harahap. Setelah Djodi, ada empat mantan menteri yang diperiksa atas tuduhan yang sama.

l l l

Sepekan setelah Djodi dicokok, pelanggaran pidana yang dituduhkan kepadanya mulai terang. Kejaksaan Agung mengaku memiliki bukti bahwa Djodi menyalahgunakan kedudukannya sebagai menteri dengan menerima suap dari orang asing yang mengurus visa kunjungan ke Indonesia.

Nasib apes Djodi berawal dari laporan anggota parlemen dari Partai Sosialis Indonesia, Tan Po Goan. September 1954, dia mengkritik keras tindakan Menteri Kehakiman yang mengusir Tjong Hoen Njie, aktivis Kuo Min Tang, partai terlarang di Cina. Goan yang juga advokat ini mengaku dihalang-halangi saat berusaha melihat dokumen keimigrasian Njie. ”Menurut saya, tindakan Menteri Djodi itu sewenang-wenang, seolah-olah orang asing dapat diusir begitu saja tanpa mendapat kesempatan membela diri,” kata Goan.

Dari pengusiran Njie, Goan bergerak. Dari seorang kawan, dia berkenalan dengan Ie Van Tjhong, seorang calo di Kementerian Kehakiman dan Kejaksaan Agung. ”Dari dia, saya mendapat informasi adanya perpanjangan visa tidak wajar untuk seorang Tionghoa bernama Bong Kim Tjong dengan imbalan Rp 40 ribu,” kata Goan seperti dikutip harian Pedoman kala itu.

Informasi itu tidak gratis. Goan harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli semua dokumen soal skandal Djodi. ”Semula saya diminta Rp 10 ribu. Setelah saya tawar, dapat Rp 6.000,” kata Goan. Dia lalu menggandakan dokumen itu dan menyerahkannya kepada harian Keng Po dan Kejaksaan Agung. Dari sanalah aparat hukum mulai mengendus jejak korupsi Djodi.

Selain bukti disposisi dari Menteri Djodi yang menyetujui perpanjangan visa Bong Kim Tjong, ada kuitansi senilai Rp 20 ribu yang menegaskan uang Bong telah diterima sebagai sokongan untuk Partai Rakyat Nasional. Uang itu dibayarkan pada Desember 1954 dan diterima calo Kementerian Kehakiman bernama Notopuro. Calo ini lalu menyetor duit suap itu kepada Subagio, anggota staf khusus Menteri Djodi, yang juga pengurus PRN.

Bingo...! Kejaksaan tak perlu waktu lama menyidik kasus ini. Kurang dari dua bulan setelah penangkapan, 3 Oktober 1955, sidang Djodi di Mahkamah Agung dimulai. Mengacu pada UUD Sementara 1950, pengadilan untuk pejabat tinggi negara memang dilakukan di Mahkamah Agung.

Surat kabar Indonesia Raya mencatat warga membeludak menyaksikan sidang Djodi. Pengeras suara dipasang di luar ruangan, supaya pengunjung yang tidak kebagian tempat bisa mengikuti jalannya sidang. Djodi muncul diapit dua polisi militer. Raut wajahnya tenang dengan rambut disisir rapi ke belakang. Namun, saat menjawab pertanyaan hakim, suaranya amat pelan, nyaris tidak terdengar. Ketua majelis hakim Satochid Kartanegara, yang memeriksa perkara ini, sampai beberapa kali mengulangi pertanyaannya.

Yang paling menggemparkan dari persidangan Djodi adalah pengakuan sejumlah aktivis PRN bahwa Djodi memang menugasi beberapa pengurusnya mencari uang untuk program pemenangan PRN pada Pemilu 1955. Abdullah Thamrin, bekas Komisaris PRN Jawa Timur, mengaku bahwa Djodi memang mengincar orang-orang asing—terutama orang Tionghoa dan India—yang ingin mendapat visa masuk ke Indonesia. ”Harga satu visa Rp 100 ribu,” kata Thamrin.

Masih menurut Thamrin, setiap rupiah yang masuk dibagi rata: 70 persen masuk kantong calo-calo dan staf khusus di kantor Kementerian Kehakiman, sementara sisanya dibagi dua antara dewan pimpinan pusat dan pimpinan daerah PRN. Kesaksian itu dibenarkan oleh Darmansjah Mansoer, Ketua PRN Surabaya. ”Kas partai kami kosong,” katanya di persidangan. ”Tidak ada anggota yang membayar iuran.” Di persidangan juga terungkap bahwa operator lapangan Djodi adalah seorang mayor militer bernama Subagio—kawan seperjuangan Djodi di masa revolusi. Di Jakarta, Subagio tinggal di rumah Djodi.

Semua tuduhan disangkal Djodi. Meski mengakui Subagio sebagai sekretaris pribadinya, kata Djodi, ia tidak pernah menerima sepeser pun duit. ”Tak ada bukti kalau uang suap Bong Kim Tjong sampai pada terdakwa,” kata Sujudi, pembela Djodi, di persidangan.

Januari 1956, hakim Satochid menjatuhkan vonis satu tahun penjara untuk Djodi, setahun lebih ringan dari tuntutan jaksa. Lima bulan kemudian, Presiden Soekarno mengurangi separuh hukumannya. September 1956, setelah enam bulan dibui, Djodi keluar dari penjara Cipinang. Sejak itu, tak ada lagi catatan tentang dirinya. Pada 1961, PRN tidak lagi diakui pemerintah.

Sanak keluarga Djodi Gondokusumo hingga kini enggan berbicara soal kasus itu. Tempo, yang menghubungi salah satu anak Djodi, hanya mendapat jawaban pendek, ”Sudahlah, jangan diungkit lagi. Itu kasus politis.” Katanya, kondisi kala itu, ”Sama saja seperti sekarang.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus