Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahir dan dibesarkan di Ibu Kota, Riana Afifah Ibrahim, karyawan swasta di Jakarta, punya selera musik yang sangat go international. Dalam setahun ia bisa nonton konser penyanyi atau band asing hingga empat kali. "Sekarang saya lagi nunggu konser Alicia Keys," kata perempuan 26 tahun ini. Penyanyi berkulit gelap asal Amerika Serikat itu akan manggung di Jakarta untuk kedua kalinya pada November.
Biaya nonton konser yang semakin mahal tak menyurutkan niat Riana. Koneksi dengan teman-teman yang bekerja di perusahaan promotor musik atau sponsor acara ia buka demi mendapatkan tiket gratis. Terakhir, ia datang ke Java Rockin'land dua hari berturut-turut demi melihat aksi band Collective Soul dan Sugar Ray pada Juni lalu.
Tak hanya nonton penampilan grup band besar, Riana pernah datang ke konser musik di hadapan 200 penonton. Konser kecil itu menghadirkan penyanyi dan pencipta lagu Ben Folds. "Konsernya bagus sekali, meskipun promosinya kurang," ucapnya. Konser band Michael Learns to Rock pun didatanginya, meskipun ia harus menempuh penerbangan Jakarta menuju Yogyakarta.
Tahun depan, menjelang pemilihan umum, ia memprediksi penyelenggaraan konser tak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Tapi Riana tetap berharap hal ini tak menyurutkan langkah promotor mengadakan aneka konser. "Penyelenggaraan konser musik berskala internasional itu penting untuk menunjukkan Indonesia aman dan sekalian menjadi daya tarik wisata," ujarnya.
Masalah keamanan memang kerap menjadi alasan utama para artis luar negeri mengurungkan niat berkonser di sini. Masih teringat, tahun ini grup band legendaris Aerosmith batal datang gara-gara ada penangkapan teroris menjelang konser 11 Mei lalu. Promotor musik kala itu, Ismaya Live, Dyandra Entertainment, dan Sound Rhythm, akhirnya terpaksa mengembalikan tiket yang telah terjual 85 persen dari target 15 ribu penonton.
Namun Manajer Dyandra Entertainment Cheri Ibrahim berpandangan lain: ia memprediksi pada Februari-April 2014 akan banyak konser di Jakarta. Rentang waktu itu memang sebelum pencoblosan. "Kami sudah punya artis yang setuju mengadakan konser pada saat kampanye," katanya. Artis itu adalah disc jockey terkemuka asal Belanda, Armin van Buuren.
Untuk meyakinkan para agen yang mendatangkan artis, Dyandra mengajukan tempat penyelenggaraan di dalam gedung. "Kalaupun ingin outdoor, kami cari lokasi yang tidak dipakai kampanye," ujar Cheri. Mengingat Pemilihan Umum 2009 yang aman, ia melihat para agen tetap optimistis bisa menyelenggarakan konser musik di Indonesia. "Itu kunci mereka tetap datang, khususnya ke Jakarta," katanya.
Soal target, Dyandra bersikap konservatif. Jumlah konser tak banyak berubah dibanding tahun ini. Pada 2014, konser yang akan terselenggara melalui promotor musik ini lima-enam kali. Dari segi pendapatan, perusahaan melihat nilai rupiah masih lemah terhadap dolar Amerika Serikat dan euro, serta angka inflasi cukup tinggi. "Kalau lebih tinggi 10 persen saja sudah bagus," ujarnya. Perusahaan bisa menutupi kurangnya pendapatan konser musik dengan menyelenggarakan talk show, family show, dan beberapa konser artis lokal.
Sama dengan Dyandra, promotor musik Big Daddy Entertainment tak ragu menyelenggarakan konser di Indonesia tahun depan. Menurut pendiri dan komisaris PT Prima Java Kreasi, Michael Rusli, perusahaannya tidak akan terganggu oleh kampanye atau pemilu. "Dari pengalaman pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012, tidak ada masalah keamanan atau apa pun," katanya. PT Prima Java Kreasi merupakan pemilik Big Daddy Entertainment.
Lokasi teraman untuk membuat konser di Jakarta masih di seputaran Senayan, yaitu Gelora Bung Karno dan Istora Senayan. Promotor musik yang sempat berhasil mengundang penyanyi Lady Gaga untuk konser ini—konser akhirnya batal karena protes kelompok garis keras—telah menganggarkan belanja modal Rp 300 miliar dalam lima tahun ke depan. Dana itu untuk membangun dua gedung pertunjukan bertaraf internasional di Jakarta. Dengan adanya gedung tersebut, perusahaan jadi lebih efisien menjalankan bisnis.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan dari industri hiburan dan rekreasi mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir. Pada 2008, PDB sektor tersebut mencapai Rp 13 triliun, sementara sampai kuartal kedua 2013 telah menembus angka Rp 12,6 triliun. Hal ini seiring dengan kenaikan konsumsi rata-rata penduduk Indonesia.
Menurut Boston Consulting Group, dari 250 juta penduduk, sekitar 74 juta orang kini menghabiskan uang lebih dari US$ 200 per bulan atau sekitar Rp 2 juta. Angka inilah yang menjadi patokan batas kelas menengah. Jadi tidak aneh kalau bisnis dua sektor itu sedang moncer sekarang. Para pengembang properti sampai gandrung membuat taman rekreasi demi memperoleh tambahan pendapatan.
PT Bakrieland Development punya taman rekreasi The Jungle Water Adventure dan JungleLand. Keduanya berada di perumahan milik Grup Bakrie, Bogor Nirwana Residence. General Manager The Jungle Zakky Afifi mengatakan segmen taman rekreasi ini terbuka dari kelas menengah bawah hingga atas. "Tiket kami paling murah dibanding yang lain," ujarnya. Saat hari kerja, harga tiket masuk Rp 50 ribu per orang. Kalau akhir pekan, Rp 70 ribu per orang.
Target pengunjung tahun depan naik 100 persen. "Satu juta dari Jungle Waterpark, satu juta lagi dari Jungle Festival," ujar Zakky. Tempat rekreasi yang terakhir ia sebut itu akan dibuka pada Desember nanti. Bentuknya bukan lagi taman rekreasi dengan kolam renang, melainkan theme park untuk anak muda nongkrong. Fasilitas makan, mendengarkan musik, dan beberapa permainan akan tersedia di taman tersebut.
Soal pendapatan pada 2014, Zakky mengatakan akan naik dari target Rp 60 miliar pada tahun ini. "Semua butuh hiburan," ucapnya. "Bisnis kami tak terpengaruh pemilu." Omzet taman rekreasi ini sudah naik 120 persen dibanding saat awal beroperasi pada 2007. Pengunjungnya tak hanya dari sekitar Bogor. Keluarga-keluarga muda dari Jakarta, Banten, dan Jawa Barat juga menjadi target pasar taman rekreasi ini.
Melihat tren itu, kawasan rekreasi Ancol pun mulai berbenah. PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk sedang berfokus pada pengembangan bisnis rekreasi dan properti. Hotel Putri Duyung akan bersanding dengan Hotel Marriott menjadi tempat penginapan dengan lebih dari 300 kamar. Lalu yang paling laris sekarang adalah Ecopark—sebuah taman seluas 33,6 hektare dengan fasilitas untuk aktivitas outdoor seperti flying fox dan jalur untuk joging.
Dulunya lahan tersebut dipakai untuk lapangan golf di dalam kawaÂsan Ancol. Pengunjungnya ketika itu tak lebih dari 40 ribu orang per tahun. Sejak Ecopark muncul tahun lalu, jumlah pengunjung mencapai dua juta per tahun. Pembenahan ini membuat perusahaan pada semester pertama 2013 meraih pendapatan Rp 459 miliar. Bahkan tahun lalu pendapatannya mencapai rekor, tembus Rp 1 triliun.
Lalu yang kehadirannya cukup mendapat sorotan adalah Trans Studio milik Trans Corporation. Taman hiburan ini mengambil konsep seperti Sentosa Island, Singapura, yakni taman hiburan—Universal Studios kalau di Singapura—dengan fasilitas penginapan dan pusat belanja. Ekspansinya telah mencakup Makassar dan Bandung. Tahun depan, Trans Studio akan dibangun di Jabodetabek dan bakal bersaing dengan Dunia Fantasi Ancol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo