Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Terusik Penistaan Agama

Ahok gagal menang satu putaran. Bangkit setelah sidang penodaan agama Islam.

20 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 40 orang bergerombol di depan tempat pemungutan suara nomor 30 di Rumah Susun Marunda, Jakarta Utara, pada Rabu pekan lalu. Mereka marah karena tak bisa mencoblos akibat surat suara habis. "Berkali-kali saya didata, surat-surat ada, tetap juga saya tak bisa memilih," kata Devi Rosiana, penghuni Blok C2.

Devi, bersama tiga anggota keluarganya, tak tercatat dalam daftar pemilih tetap. Seharusnya mereka bisa memilih memakai formulir daftar pemilih tambahan terbatas. Masalahnya, kertas tambahan hanya ada 19 lembar. "Jadi mereka tak kebagian juga," ujar Amih, ketua kelompok penyelenggara pemungutan suara di TPS tersebut.

Hiruk-pikuk di Marunda merembet ke Rumah Lembang di Jakarta Pusat, markas pemenangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Sekretaris tim Ahok, Tubagus Ace Hasan, meminta seseorang lewat telepon mengarahkan pemilih di Rumah Susun Marunda itu bergeser ke tempat pencoblosan lain.

"Pak, di Taman Rasuna banyak yang tak bisa mencoblos sampai sekarang," kata seorang anggota tim tiba-tiba. Taman Rasuna adalah kompleks apartemen milik Grup Bakrie di Kuningan, Jakarta Selatan. "Kok bisa?" Ace menggerutu.

Anggota tim Ahok, I Gusti Putu Artha, mengatakan sudah mengingatkan pendukung Ahok sejak Desember tahun lalu agar mengecek daftar pemilih tetap. Ia yakin mereka yang tak bisa memilih itu pendukung Ahok. "Saya perkirakan jumlahnya 7,5 persen, cukup untuk menang satu putaran," ujar Putu, eks anggota Komisi Pemilihan Umum.

Menurut Putu, tim Ahok terlalu berfokus menggalang opini publik, terutama untuk membendung isu penistaan agama. Selain soal daftar pemilih, Putu mengkritik tim karena abai memeriksa pengangkatan ketua kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Akibatnya, kata Putu, banyak ketua KPPS terafiliasi dengan kompetitor Ahok. "Hasilnya, kita dicurangi," katanya.

Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan Ahok menjadi pemenang pemilihan Gubernur Jakarta dengan meraih 42,91 persen suara. Pemilihan harus dilanjutkan ke babak kedua karena perolehan suara pemenang tak mencapai 50 persen plus 1. Ini syarat khusus untuk pemilihan di Jakarta dalam Undang-Undang Pemilihan Umum.

Menurut Ace, Ahok mampu bangkit setelah dihantam berbagai kasus selama empat bulan terakhir. "Elektabilitas Ahok tinggal sepuluh persen dan dia ditolak kampanye," ujarnya. Kenyataan itu, kata Ace, membuat tim memutar otak agar Ahok tetap bisa bertemu dengan masyarakat. Ace khawatir pendukung terintimidasi.

Setelah unjuk rasa umat Islam meminta Ahok ditangkap karena menistakan agama pada 4 November 2016, Ace merancang Rumah Lembang menjadi "Balai Kota". Tim menggalang pendukung datang ke sana untuk mengadukan pelbagai soal kepada Ahok, seperti saat ia menjadi gubernur sebelum cuti.

Mula-mula seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Golkar diminta memobilisasi pendukungnya. Mereka yang datang mencapai 700 orang, lalu berlipat menjadi 2.000. "Pelan-pelan kami percaya diri lagi," ujar Ace.

Kebangkitan Ahok mulai terasa saat dugaan penistaan agama disidangkan di Kementerian Pertanian. Menurut Ace, demo 4 November dan 2 Desember 2016 membuat Ahok tak memiliki ruang membela diri. Tuduhan penistaan agama ini membuat elektabilitasnya melorot drastis. Padahal, kata dia, hampir 70 persen masyarakat Ibu Kota puas atas kinerjanya sebagai gubernur.

Di dunia maya, tim pemenangan mengerahkan pesohor media sosial. Menurut Ace, Ahok dua kali bertemu dengan para selebritas Twitter di Rumah Lembang untuk menyampaikan gagasannya membangun Jakarta.

Tim membahas tema kampanye yang akan diangkat di media sosial melalui banyak grup WhatsApp. Selain untuk menunjukkan kinerja Ahok dan Djarot selama menjadi gubernur dan wakil gubernur, menurut Ace, kampanye media sosial ditujukan buat mengalihkan fokus masyarakat. "Ketika isu penistaan agama naik, kami alihkan dengan topik lain," ujar Ace.

Ahok juga diminta menjaga tutur kata. Dalam beberapa bulan terakhir, hampir tak ada kata kasar keluar dari mulut Ahok. Raja Juli Antoni, juru bicara tim, mengakui susah mengatur Ahok dalam soal ini. "Dia tidak sama dengan politikus lain yang suka berbasa-basi," kata Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia ini.

Saat hari pemilihan Rabu pekan lalu, tim meminta Ahok jalan kaki ketimbang naik mobil dari rumahnya di Pantai Marina, Jakarta Utara. Tujuannya agar Ahok bisa menyapa pemilih. Juga datang ke TPS pagi-pagi agar mendapat liputan media yang luas dan lama. "Dia cuma menuruti saran yang pertama," ujar Antoni.

Selain melancarkan strategi udara dan dunia maya, partai pengusung bergerak di pertarungan darat. Menjelang pencoblosan, kata politikus PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, mereka berfokus menjaga daerah basis, yakni Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Untuk menguatkan mental, partai meminta kader-kadernya bersiaga jika ada penolakan pemasangan bendera partai. "Kami harus berani menunjukkan identitas," kata Bambang.

Tim PDI Perjuangan juga menyasar daerah-daerah yang selama ini identik sebagai lumbung suara calon lain. Kader partai banteng diminta bergerilya dan mengutamakan pendekatan personal ke calon pemilih. Di sekitar markas Front Pembela Islam-kelompok yang menggerakkan demo penistaan agama-Bambang meminta kadernya berani memasang atribut kotak-kotak, simbol pasangan Basuki-Djarot. "Agar yang lain juga percaya diri," ujarnya.

Hasilnya, di markas FPI, Ahok membukukan 278 suara, unggul ketimbang Anies Baswedan, yang meraih 212 suara, dan Agus Harimurti, 38 suara. Penghitungan suara di tempat ini bahkan diulang hingga lima kali. Hasilnya, Ahok tetap unggul.

Saat berkunjung ke rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri seusai pemilihan, Ahok tampak sumringah. "Wajah Mas Ahok ini cerah karena di Petamburan menang," kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, merujuk ke wilayah FPI.

Survei Indikator Politik pada 2-8 Februari 2017, atau sepekan sebelum pemilihan, menunjukkan hanya 57 persen responden yang percaya Ahok menistakan agama ketika menyenggol ayat 51 Surat Al-Maidah tentang pemimpin muslim di Kepulauan Seribu pada September tahun lalu. Tapi 16 persen dari jumlah itu menyatakan tetap akan memilih Ahok. Sebanyak 27 persen tak percaya penistaan dan 83 persennya akan memilih Ahok.

Sesuai dengan prediksi Bambang, Ahok menang mutlak di Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat. Dia keok di Jakarta Timur dan kalah telak di Jakarta Selatan oleh Anies Baswedan. Di Jakarta Barat, dengan pemilih 1,24 juta, Ahok meraih 48 persen, unggul jauh dibanding Anies, sebesar 35,27 persen, dan Agus, 16,26 persen. Dari delapan kecamatan di Jakarta Barat, Ahok hanya kalah di Palmerah, yang dikuasai Anies.

Ace menuturkan, banyaknya pemilih yang gagal mencoblos berpengaruh pada suara Ahok. Di Rumah Susun Marunda saat TPS 30 ditutup, Ahok kalah satu suara dibanding Anies, yang membukukan 142. Ace mengulang pernyataan Putu: "Seharusnya kami bisa menang satu putaran."

Wayan Agus Purnomo | Diko Oktara | Arkhelaus Wisnu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus