Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUHU sebelas derajat Celsius membekap Hong Kong, pekan terakhir Januari lalu. Aku berjalan menyusuri Taman Victoria di kawasan Causeway Bay melawan hawa dingin yang menusuk tulang. Taman sudah ramai. Para perempuan berkumpul membentuk kelompokkelompok kecil dengan kegiatan masingmasing.
”Piye kabare, Mbak, aku kangen nih,” tibatiba sebuah suara menyapa Etik Juwita, yang sedari tadi menemaniku. Etik balas menyapa, lalu mereka bercakap akrab dalam bahasa Jawa. Aku tidak begitu heran. Sepanjang jalan tadi memang banyak percakapan dalam bahasa daerah menyusup ke kupingku. Taman Victoria, pada setiap hari Minggu, memang menjadi milik orang Jawa.
Pada hari bebas kerja itu, taman di jantung kota ini selalu disesaki ratusan buruh migran Indonesia. Inilah hari libur mereka setelah enam hari mengabdi pada sang majikan. Wajah khas Melayu bertebaran di manamana. Dialog dalam bahasa Jawa medok ramai mengisi udara taman peninggalan Ratu Inggris itu. Wajar, soalnya 80 persen dari 92 ribu buruh migran asal Indonesia di Hong Kong berasal dari Pulau Jawa.
Pada hari Minggu seperti ini lupakanlah kata buruh plus sederet pengertian dan citra yang telanjur melekat padanya. Coba liriklah penampilan perempuan yang tadi menyapa Etik. Dia ngetren dengan sweater dan Tshirt. Tidak jadi soal meski pilihan warnanya tak padu satu sama lain.
Di lehernya menjuntai kalung manikmanik, dan beberapa gelang melingkar di tangan. Ia juga memakai bot dari bahan sintetis setinggi lutut dan rok mini plus celana panjang bahan kaus. Hari itu ia mirip Britney Spears atau setidaknya Agnes Monica.
Etik tersenyum kecil melihat roman tak percaya di mukaku. Aku pun sebenarnya masih silau oleh potongan rambut kawannya yang modis dan dicat cokelat terang itu. Tak lupa sebuah telepon seluler model paling kiwari tergenggam tangannya. Fiuh!
Penampilan semacam itulah yang bertebaran di Taman Victoria. Jika tak diterangkan Etik, pasti aku tak percaya mereka semua asal Indonesia—dari dusun terpencil pula. Sebelumnya aku menduga mereka buruh asal Filipina, yang juga cukup banyak di sini. ”Hong Kong memang punya daya yang bisa membuat penampilan seseorang cepat berubah,” kata Etik, pekerja asal Malang, Jawa Timur.
Tapi Hong Kong tak kuasa mengubah Etik. Meski sudah dua tahun di sana, perempuan ini tetap tampil seadanya. Hari itu, misalnya, dia hanya mengenakan sweater plus celana panjang, tanpa riasan di wajah. Sesekali ia memencetmencet telepon seluler.
Di Victoria Park, para buruh tak punya majikan. Di sana mereka berhak mengekspresikan diri masingmasing. ”Di sini mereka bebas. Penampilan mereka nggak beda dengan anak majikan,” ujar Nurul Qoiriah, aktivis buruh di Asian Migrants Centre, sebuah lembaga yang mengurus buruh migran.
Tapi, sekali orang Indonesia, tetap orang Indonesia. Di Victoria Park, kebiasaan piknik di kampung halaman tak pernah lekang. Di kerimbunan pepohonan, para buruh sibuk menggelar tikar. Sambil mereka lesehan, rantangrantang berisi makanan buatan sendiri dibuka. Dan dengan keguyuban khas, mereka lalu beramairamai menyantapnya. Ngobrol ngalorngidul. Sesekali suara tawa pecah di udara.
Tapi itu bukan pemandangan tunggal. Di sudut lain, sekumpulan perempuan mengadakan pengajian, lengkap dengan pengeras suara. Juga ada bukubuku bacaan religius. Imas Maskuroh, Ketua Majlis Dzikir Ilham, yang mengkoordinasi pengajian mingguan ini, mengaku gembira karena tak ada hambatan menjalankan ibadah. ”Ini cara kami saling mempererat persaudaraan,” ujarnya.
Di tengah taman, beberapa perempuan asyik menari mengikuti minicompo yang mereka bawa. Beberapa pria Pakistan ikut nimbrung. ”Mereka ini sudah biasa bergabung untuk menggaet buruh Indonesia,” kisah Etik. Namun, dia melanjutkan, temantemannya kini hatihati menghadapi pria Pakistan itu. Soalnya, mereka sering menipu. ”Mereka hanya mau menguras uangnya. Setelah itu, pergi cari mangsa lain.” Percintaan antarbangsa memang kerap terjadi di Hong Kong.
Tak hanya antarbangsa, kisah kasih sesama jenis pun marak. Di taman itu, agak menyepi di pojok, beberapa pasang perempuan tampak beradu kasih. Saat berjalan di Jalan Jardine menuju Taman Victoria, sempat kulihat beberapa pasangan wanita bergandengan tangan keluarmasuk toko. Aku sempat menyapa, tapi mereka tak membalas.
Etik berbisik, belakangan ini lesbianisme jadi tren di kalangan buruh Indonesia di Hong Kong. Awalnya, saat baru tiba di Hong Kong, mereka menyukai lawan jenis. Entah apa sebabnya belakangan mereka menjalin cinta sesama. Jumlah mereka konon terus meningkat. ”Tapi soal itu kami tidak punya data pasti,” ujar Mega Vristian, aktivis buruh perempuan.
Menjelang sore, dingin semakin menusuk. Satu per satu buruh migran meninggalkan taman. Aku pun bergegas menuju kantor Koalisi Organisasi Buruh Migran di Hong Kong (Kotkiho), sebuah organisasi yang berusaha memberi dukungan bagi para buruh migran, tak jauh dari Taman Victoria.
Di sana, sore itu beberapa buruh tengah mengatur jadwal kepulangan temannya. Mereka yang pulang mengalami masalah dengan majikan. Tapi umumnya sudah dapat diselesaikan. Menurut koordinator lembaga itu, Sumiati, persoalan yang menimpa buruh biasanya terkait dengan hak pekerja. Misalnya pemotongan gaji, penghasilan di bawah standar pemerintah Hong Kong, sulit mendapat hari libur, atau kekerasan serta pelecehan seksual.
Sumiati mengeluh selama ini pemerintah Indonesia tak tegas membantu mengatasi persoalan mereka. ”Pemerintah tak berubah sampai sekarang,” ujar Sumiati, yang sudah bekerja di Hong Kong selama 17 tahun.
Selain membela para buruh, Kotkiho juga memfasilitasi dibukanya warung makan khas Indonesia yang beroperasi hanya pada hari Minggu. Makanan itu dibeli oleh sesama buruh, dan hasilnya digunakan untuk membiayai hidup pekerja bermasalah. Selama mereka bermasalah, Kotkiholah yang menampung di flat. ”Soalnya, selama punya kasus, mereka tidak boleh masuk kerja. Itu memang aturannya,” kata Mega. Saat ini ada sekitar 26 buruh yang ditampung di sana.
Meski demikian, Sumiati menegaskan, nasib mereka yang bekerja di Hong Kong masih mendingan ketimbang rekan seprofesi di negara lain. Sebab, pemerintah Hong Kong akan bertindak tegas terhadap majikan yang melanggar aturan. ”Makanya, kami memilih bertahan di sini,” kata Prapti, buruh asal Jawa Timur, salah satu buruh yang tengah punya persoalan.
Selain untuk penampungan, flat berukuran 50 meter persegi ini juga dipakai sebagai pusat kursus keterampilan. Setiap hari Minggu, berbagai kursus digelar, seperti latihan komputer, bahasa Inggris, menjahit, kecantikan diri, dan rias pengantin.
Tentu saja tidak gratis. Untuk kursus komputer, misalnya, biayanya 300600 dolar Hong Kong (Rp 350 ribuRp 700 ribu). Untuk kursus pengantin, peserta dikutip 1.250 dolar Hong Kong atau hampir Rp 1,5 juta. Kotkiho masih punya satu kegiatan lagi guna menjalin kekompakan antarburuh, yakni menerbitkan tabloid Suara. Di kantor itu, beberapa eksemplar terbitan Januari 2006 tergeletak di meja. Oplah tabloid ini ternyata lumayan: 36 ribu eksemplar. Para buruh memang bukan sekadar pekerja. Di Victoria Park, kusaksikan mereka adalah manusia.
Maria Hasugian (Hong Kong)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo