Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukan Bedinde Biasa

Victoria Park, Hong Kong, adalah potret sedihbahagia buruh migran Indonesia di luar negeri. Di taman kota itu, setiap Minggu, ratusan pembantu rumah tangga asal Indonesia berkumpulsekadar menyetel lagu dangdut atau bercengkerama dengan bahasa Jawa medok.

Lebih dari sekadar pembantu rumah tangga, di sana mereka membuat majalah, mementaskan drama, dan menerbitkan kumpulan cerpen. Wartawan Tempo Dewi Anggraeni menuliskan kisah merekaberdasarkan penelitian mendalam yang Maret nanti akan diterbitkan menjadi buku. Maria Hasugian, yang mengunjungi Hong Kong bulan lalu, melengkapinya dengan sejumlah reportase.

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA hari biasa, Hong Kong mengingatkan kita pada tempattempat di Cina. Di tengah pusat bisnis utama di Pulau Victoria, kadangkadang aura Shanghai samarsamar menyelubungi Guangzhou. Bagaimana mungkin Shanghai berbaur dengan Guangzhou? Hong Kong memang penuh kontradiksi.

Mulai dari Kowloon sampai New Territories, bahasa yang terdengar dominan bahasa Kanton. Bau masakan yang tercium sarat dengan selera Cina selatan ketimbang, katakanlah, masakan Barat. Nama tokotoko, bahkan nama jalan, tertera dalam huruf Cina. Huruf Latin agak langka.

Namun, kalau Anda melancong ke Victoria Park pada Minggu siang, lain lagi ceritanya. Mulai dari pinggiran alunalun itu, bahasa Jawa atau bahasa Indonesia yang medok dengan logat Jawa, dan musik pop Indonesia yang berkumandang dari radio jinjing, sudah mencapai antena indra Anda. Melangkahlah masuk, dekati kelompokkelompok yang sedang bersimpuh atau berbaring santai di atas tikartikar plastik, terhalau segera dunia Hong Kong, berganti dengan suasana yang serba Indonesia, terutama Jawa Timur.

Obrolan diiringi cekikikan, pertengkaran ringan, konseling pribadi alias curhat, suara nyanyian mengiringi rekaman atau radio, bahkan bau makanan bungkus yang menyentuh hidung, nyaris membuat Anda merasa berada di Malang, Surabaya, atau Sidoarjo. Sekalisekali Semarang dan Magelang mungkin melintas di benak Anda. Ya, pada Minggu siang, Victoria Park adalah taman buruh migran Indonesia (lihat, Taman Victoria, Suatu Hari).

Apa sebenarnya di balik kontras hari biasa dengan hari Minggu di kawasan administrasi khusus Cina ini? Hari Minggu adalah hari libur bagi para pekerja migran dari Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga. Mereka inilah yang Anda jumpai di Victoria Park dan tempattempat umum lain. Dan menurut data Konsulat Jenderal RI di Hong Kong, jumlahnya sekitar 90 ribu jiwa.

Secara resmi mereka dikenal sebagai pembantu rumah tangga asing (foreign domestic helpers). Beberapa pejabat pemerintah lebih suka menyebut mereka ”penata laksana rumah tangga”. Mereka sendiri yang menyebut dirinya buruh migran Indonesia. Jarang ada yang menyebut diri tenaga kerja Indonesia. Istilah buruh migran Indonesia lebih populer, terutama di kalangan pekerja yang aktif dalam berbagai serikat yang berafiliasi dengan serikat buruh internasional.

Keberadaan pekerja migran Indonesia adalah efek dari daya alamiah pasar yang sudah berlaku semenjak beberapa abad: kelebihan sumber daya manusia dari suatu tempat akan mengalir ke tempat yang kekurangan. Dan arus perpindahan tenaga kerja ini tidak selalu mengalir tanpa bantuan maupun kendali. Mulai dua abad lalu, peran pemerintahan kolonial dalam migrasi jenis ini sangat kuat.

Para pengelola perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia menyaksikan suksesnya program pengiriman tenaga pembantu rumah tangga dari Filipina ke Hong Kong. Mereka menganggap ini sebagai peluang. Begitu ide ini dicetuskan, gayung bersambut, proses pun berlangsung. Setelah dicoba sedikitsedikit, pekerja mulai datang dalam jumlah besar pada awal 1990an dan sampai sekarang belum ada tandatanda akan berhenti.

Sementara itu, pemerintah Kawasan Administrasi Khusus (Special Administrative Region) atau lebih dikenal dengan Hong Kong SAR, yang mewarisi undangundang dan peringkat hukum dari Inggris, sudah punya kerangka prasarana legal untuk menangani situasi ini. Efeknya memang kelihatan. Semua pekerja, termasuk pekerja sementara yang bukan warga permanen, mendapat perlindungan UndangUndang Tenaga Kerja.

Istimewanya, pekerja pembantu rumah tangga, yang di negara pemakai lain umumnya dianggap pekerja informal, di Hong Kong mendapat status pekerja formal. Artinya, mereka berhak mendapat libur seminggu sekali dan pada harihari libur nasional. Kalau mereka masuk kerja pada hari libur, majikan harus mengganti liburnya pada hari lain atau—dengan persetujuan pekerja—menggantinya dengan uang tunai.

Ini tidak berarti pembantu rumah tangga dari Indonesia bisa menikmati hidup gampang, kerja ringan, dengan gaji berlimpahlimpah. Memang gaji minimum yang ditentukan undangundang bisa membuat hati calon pembantu, apalagi yang masih di Indonesia, berbungabunga: 3.270 dolar Hong Kong atau lebih dari Rp 4 juta per bulan.

Tapi, itu kisah manisnya. Kisah sedihnya bukan tak ada. Sejauh ini ada tiga hal pahit yang kerap menimpa buruh migran asal Indonesia. Pertama, mereka tidak menerima gaji pada beberapa bulan pertama. Soalnya, dalam banyak hal si pekerja berutang pada sponsor, yang populer disebut calo. Utang itu biasanya untuk pelatihan, penampungan, persiapan dokumen perjalanan dan izin kerja, ujian pemerintah sebelum diberi izin berangkat, pembekalan akhir, dan tiket pesawat.

Semua harus dibayar oleh si pekerja begitu ia mendapat gaji. Baru setelah utang itu lunas, si pekerja akan dapat menabung atau menggunakan uang yang mereka terima sesuka hati. Banyak, memang, yang sempat menabung untuk membangun rumah atau memulai usaha kecilmenengah pada akhir masa kontrak. Tidak sedikit yang mengongkosi pendidikan anakanak atau anggota keluarganya yang lain dengan gaji mereka.

Kedua, bagi yang datang dari kota kecil, apalagi desa di Indonesia, kondisi fisik Hong Kong tak jarang menyebabkan perasaan terkungkung, terperangkap, klaustrofobia. Mendongak tidak otomatis melihat awan. Bangunanbangunan pencakar langit, yang cantik dan megah kalau dipotret dari angkasa, menjadi kerangkeng bisu. Tapi, kenyataannya, kebanyakan keluarga yang mempekerjakan mereka tinggal di apartemen kecil dalam bangunanbangunan ini. Kalau si pekerja tidak siap mental, dia berpotensi tertimpa depresi.

Ketiga, perbedaan perbandingan etos kerja antara orang Indonesia dan orang Hong Kong bisa mengagetkan yang baru datang. Dewasa ini, yang mempekerjakan pembantu bukan lagi sematamata orang kaya, nyonyanyonya yang kesibukannya berkisar pada kegiatan sosial tanpa harus pusingpusing dari mana datang duitnya.

Sebagian besar para majikan ialah keluarga dengan suamiistri bekerja keras, dalam usaha kecilmenengah, atau dalam profesi yang penuh stres. Gaji dan tunjangan yang harus mereka bayarkan kepada pembantu menelan porsi cukup banyak dari gaji mereka. Akibatnya, banyak majikan yang tidak senang kalau pembantunya kelihatan lamban atau dalam beberapa hal tidak memenuhi janji agen yang mengirim para pembantu.

Di pihak lain, si pembantu mungkin lamban bekerja karena dia masih menyesuaikan diri. Ada juga yang tidak cukup mendapat pelatihan sehingga tidak hanya kelimpungan tapi juga tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana melakukan pekerjaannya.

Tiga hal ini menjadi penyebab konflik yang berbuntut kekerasan. Kalau si majikan orang yang komunikatif dan berpribadi baik, dia akan mencari solusi. Misalnya meminta pertanggungjawaban agen atau meminta agen memberi pelatihan tambahan kepada pembantunya itu. Dapat juga terjadi si majikan yang mengambil inisiatif melatih pembantunya di luar jam kerjanya sendiri.

Tapi, bila majikan tidak sabar, sementara dia berharap pembantunya siappakai, ujungujungnya dia frustrasi karena merasa tertipu. Sialnya, yang menjadi sasaran frustrasi adalah si pembantu. Situasi menjadi lebih parah lagi kalau si pembantu dalam pelatihannya tidak mendapat cukup pelajaran bahasa Kanton. Akibatnya mudah ditebak, kekerasan fisik yang merebak.

Tapi, dalam peta buruh migran asing, terutama bagi pembantu rumah tangga, Hong Kong termasuk yang terbaik. Kekerasan nyata terjadi, dan penyalahgunaan wewenang oleh majikan serta penipuan oleh agen selalu berujung pada penderitaan si pembantu. Namun, kalau si pembantu dapat berkomunikasi dengan orang luar yang bersedia menolongnya, biasanya pelanggaranpelanggaran yang ringan atau berat akan sampai ke pengadilan dan pelanggarnya dihukum.

Badan nonpemerintah tetap memberi bantuan kepada para pembantu asing, kendati dana tak banyak. Mereka bukan hanya menyediakan tempat penampungan, tapi juga melobi pemerintah untuk mendapat perpanjangan visa bagi si pembantu agar kasusnya dibawa ke pengadilan dan dia mendapat kompensasi yang layak. Selain itu, setiap agen lokal umumnya mempunyai penampungan sementara untuk para klien mereka. Ini berkat peraturan Konsulat Jenderal RI yang mensyaratkan tempat penampungan sebagai salah satu kriteria akreditasi bagi agen tenaga kerja Indonesia. Konsulat sendiri juga punya penampungan sementara.

Di lain pihak, pemerintah Hong Kong SAR tidak cuma memberi perlindungan hukum kepada para pekerja migran, tapi juga memelihara pasar tenaga kerja agar tetap tertata. Peraturan imigrasi dan ketenagakerjaan yang ketat menjamin agar pekerja lokal tidak tersisih oleh pekerja pendatang. Yang diizinkan masuk hanya yang sudah memegang bukti janji kontrak kerja. Calon majikan yang ingin mendatangkan tenaga kerja harus membuktikan bahwa lahan kerja yang akan diisi tidak dapat diisi oleh pekerja lokal.

Kebutuhan akan pembantu rumah tangga di Hong Kong menonjol berbarengan dengan berkembangnya ekonomi negara itu. Para ibu yang sebelumnya tinggal di rumah diberi kesempatan untuk karier. Klausulklausul hukum disiapkan. Kontrak baku untuk para pembantu ditetapkan umumnya dua tahun dan harus ditandatangani kedua pihak dengan disaksikan agen lokal. Kalau kedua pihak ingin memperpanjang kontrak, majikan harus memberikan cuti dua minggu kepada pembantu agar bisa kembali ke kampung. Kalau si pembantu merasa tidak perlu pulang, dia bisa minta izin khusus dari Kementerian Tenaga Kerja. Kalau izinnya diberikan, cutinya akan diganti dengan uang tunai. Tidak mudah lolos sebagai imigran gelap di Hong Kong. Sedikit saja dokumen tidak beres, si pelanggar terancam hukuman melanggar peraturan imigrasi, dan masuk penjara.

Bagi para pekerja yang beruntung mendapat situasi kerja yang cocok dan sempat menyesuaikan diri pada situasi di Hong Kong, harihari libur selain digunakan untuk bersantai juga untuk mengembangkan kreativitas. Mungkin karena imingiming gaji yang relatif tinggi, yang datang dari Indonesia untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga banyak yang lulusan SMU, bahkan ada yang pernah kuliah.

Hanya, di Hong Kong komunitas pekerja rumah tangga mempunyai Forum Lingkar Pena dan Sanggar Budaya. Selain memanfaatkan forum itu sebagai sarana bertemu dan sekalisekali mengadakan seminar, mereka juga menerbitkan majalah yang memuat karya anggotanya. Penyair dan penulis cerpen muncul di antara para pekerja. Ada juga yang melukis dan bermain teater.

Salah seorang penyair yang produktif, Mega Everistianawati, sudah beberapa kali memimpin pementasan drama pendek pada Hari Kartini dan Hari Kemerdekaan RI. Victoria Park tempat favorit mereka. Mega, yang sangat baik hubungannya dengan keluarga majikannya, sempat mengikuti kursus drama bersama salah seorang anak asuhnya, Candy, yang kini berusia 12 tahun. Sebelum itu, bersama Candy, ia juga ikut kursus melukis.

Asosiasi tenaga kerja berperan penting bagi kelangsungan hidup para buruh. Yang cukup penting adalah Indonesian Migrant Workers Union atau Serikat Buruh Migran Indonesia (IMWU). Lembaga ini memberi bantuan advokasi kepada pekerja yang terbentur masalah, dan memberi informasi tentang situasi pekerja migran Indonesia di Hong Kong. IMWU malah juga menerbitkan koran Kabar IMWU. Salah seorang mantan aktivisnya kini tidak lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dialah Lestari Dewi—ups, jangan tertukar dengan penyanyi dan novelis terkenal Dewi ”Dee” Lestari. Tulisantulisannya yang sangat informatif banyak dikutip beberapa penerbitan online.

Hong Kong memang bukan sembarang tempat bagi buruh migran Indonesia. ”Kalau dikatakan mereka datang ke Hong Kong karena didorong kemiskinan, itu benar. Tapi tidak semua begitu,” kata seorang pengelola agensi penempatan tenaga pembantu di sana. Katanya lagi, ”Beberapa ada yang lari dari situasi keluarga yang tidak disukai. Ada juga yang mencari pengalaman.” Di Hong Kong, para pembantu Indonesia memang bukan sembarang pembantu.

Dewi Anggraeni (Hong Kong)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus