Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bumi Makin Panas

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah panorama global yang pa-ling mutakhir. Sunni-Syiah, konservatif-liberal, radikal-moderat, se-muanya terserang demam yang sama: hati mereka tertusuk oleh kartun yang dimuat harian Denmark Jyllands-Posten. Ya, garis-garis pemisah itu tiba-tiba menipis, memudar, dan perbedaan yang terbentang berabad-abad menguap—paling tidak ketika menghadapi musuh bersama ini.

Representasi sang musuh adalah ka-rikatur yang mencerminkan wajah Nabi Muhammad. Matanya besar; pada sorbannya yang hitam dan bulat tertera kalimah syahadat, tapi itulah penutup kepala merangkap bom yang siap mengguncang. Ada 12 kartun muncul dengan tema seragam: Muhammad adalah perwujudan teror. Dan setiap orang pun melihat, perlahan-lahan barisan yang ha-ngus hati-nya itu semakin panjang—juga menandakan makin banyak kepentingan yang terlibat. Di Jakarta, demonstran beraksi di Kedutaan Besar Denmark. Di Afga-nistan, beberapa demonstran tewas, terutama setelah menyerang pangkalan militer Amerika Serikat. Di Libanon, demonstran membakar Konsulat Denmark. Di negara-ne-gara Timur Tengah, seruan boikot produk Denmark mulai efektif. Arab Saudi, Suriah, Libya, dan Iran telah menarik duta besarnya dari Denmark.

Pemerintah negara-negara Barat terhenyak. Sement-ara itu, para pendukung karikatur Jyllands-Posten (baca: kelompok nasionalis kanan di Denmark, Prancis, Jerman, dan sebagian orang pers di Eropa Barat) telah sampai di satu titik. Dan mereka merumuskan konflik ini dengan sebuah penyederhanaan: kebebasan berekspresi vs Islam.

Ada tanda-tanda kompleks superioritas di balik penyederhanaan itu. Tapi surat kabar Iran Hamshahri membukti-kan lebih jauh lagi. Hamshahri mengikuti jalan pikiran Jyllands-Posten, meletakkan kebebasan berekspresi di atas segalanya. Di Iran, sayembara karikatur digelar, tapi para karikaturis disodori tema yang sensitif bagi kaum Yah-udi: holocaust (pembantaian orang-orang Yahudi semasa Pe-rang Dunia II). Pada mulanya, atas nama kebebasan berekspresi yang tidak diskriminatif, Jyllands-Posten berjanji akan memuat kartun itu. Tapi itulah janji yang kemudian tidak bisa dipenuhinya. Tidak bisa tidak, langkah Hamshahri menunjukkan dua hal yang sambung-menyambung: diskrimin-asi terjadi, dan kebebasan berekspresi ter-nyata ada batasnya.

Lihatlah kini. Di tujuh negara Ero-pa berlaku undang-undang yang mengharamkan siapa pun menging-kari bahwa Adolf Hitler pernah membantai jutaan orang Yahudi. Dan kita tahu, di dunia setelah Perang Dunia II, sensitivitas terhadap nilai-nilai ”orang lain” mulai mendapat tempat. Meski demikian, kita tidak begitu yakin bahwa sejarah bergerak secara otomatis ke arah itu. Setelah Jyllands-Posten meminta maaf atas segala kerusakan yang diakibatkannya, pada akhir bulan lalu tampillah sejumlah surat kabar Eropa ke atas panggung drama itu: pemainnya berbeda, tapi lakonnya sama.

Mulanya, surat kabar Pra-ncis France-Soir, koran Jerman Berli-ner Zeitung dan Die Welt memuat ulang ke-12 kartun itu. Menarik dicatat, saat itu France-Soir, sebuah koran beroplah kecil di Prancis, menjadi satu-satunya media yang memproklamasikan ”hak untuk mengkartun-kan Tuhan”. Kemudian, berbondong-bondong muncullah koran Prancis lainnya, Le Monde, Liberation, koran Spa-nyol El Pais, koran Belgia De Standaard, menempuh hal yang sama. Sejak itu, semakin masamlah hubung-an ne-gara-negara di atas dengan masyarakat di negara-negara Islam.

Ya, sejarah tidak bergerak secara otomatis ke dunia yang lebih empatis. Peristiwa 11 September 2001, misalnya, malah seakan ”mengukuhkan” stereotip yang semakin menyamakan muslim dengan teroris. Dunia Barat b-elum cu-kup berubah. Keberpihakan yang tak mungkin dit-awar lagi dengan Israel, keengganan untuk mengusik arsenal nuklir Israel, dan kesungguhan untuk menanggalkan kekuat-an nuklir Iran, semua standar ganda tetap berta-han. Dan seka-rang, umat Islam pun menyaksikan sesuatu yang paling ditakutkan: manusia ideal, makhluk rujukan, pemimpin yang paling dekat di hati umatnya, Nabi Muhammad, dibuat terpe-rangkap dalam stereotip itu dalam 12 karikatur Jyllands-Posten.

Sekarang kita tahu, ada power struggle yang tak selalu kasatmata, gesekan yang tak pernah henti: antara keingin-an dianggap setara dan ketakutan kehilangan superioritas diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus