Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEWAT tengah malam, di kafe Hotel Ritz-Carlton, kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Muhammad Nasir berulang kali menjungkirkan pocinya. Tapi tak ada yang mengucur ke cangkir. English breakfast tea itu betul-betul tandas. Sempat hendak memanggil pelayan, abang kandung Muhammad Nazaruddin ini akhirnya membiarkan cangkirnya kosong.
Idrus Marham, yang duduk di samping Nasir, tak berhenti bicara. "Kalau betul saya ikut menekan, saya berhenti sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar, hari ini juga," kata mantan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia ini berapi-api, dengan logat Makassar.
Ditemui Jumat dinihari pekan lalu itu, Idrus menyatakan keberatan namanya dikaitkan dengan pembelian saham Garuda oleh perusahaan Nazaruddin. Transaksi ini telah menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu sebagai tersangka perkara tindak pidana pencucian uang. Idrus disebut-sebut membantu Nazaruddin meminta Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas Harry Maryanto Supoyo mengembalikan duit Rp 300,8 miliar pembelian 400 juta lembar saham PT Garuda.
"Coba tanya orang Mandiri Sekuritas, betul enggak saya pernah menghubungi," ujar Idrus. Harry Supoyo, lewat juru bicara PT Mandiri Sekuritas, Febriati Nadira, hanya memberi keterangan pendek. "Sejauh ini kami sudah menyampaikan keterangan sesuai yang diminta Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Nadira. Ia memastikan permohonan wawancara Tempo sudah disampaikan kepada Harry.
Idrus sebenarnya tak terkait langsung dengan kasus pembelian saham Garuda oleh Nazaruddin. Namanya muncul belakangan, setelah prediksi Nazaruddin meraup laba dalam sekejap dari pembelian saham itu meleset. Belakangan kepemilikan saham itu dialihkan ke Talent Center Limited, perusahaan lain milik Nazaruddin yang berbasis di Singapura.
Lewat lima perusahaannya, pada akhir Januari-awal Februari 2011, Nazaruddin membeli saham Garuda. Kelima perusahaan itu adalah PT Permai Raya Wisata (30 juta lembar), PT Exartech Technology Utama (165 juta), PT Cakrawala Abadi (50 juta), PT Darmakusuma (55 juta), dan PT Pacific Putra (100 juta). Menjelang penawaran saham perdana, saham Garuda dihargai Rp 750 setiap lembar.
Ketika perdagangan saham maskapai penerbangan itu dibuka di bursa pada 11 Februari 2011, harganya anjlok menjadi Rp 600 per lembar. Mengetahui nilai saham turun, Nazaruddin menyatakan keberatan ke Mandiri Sekuritas, yang mengurusi pembelian ini. Pada akhir Februari itu, Nazaruddin memanggil Harry Supoyo agar menemuinya di Restoran Nippon Kan di Hotel Sultan, Jakarta.
"Nazaruddin menyampaikan bahwa orang-orang yang tergabung dalam konsorsium perusahaan sudah marah," kata Muhammad Irwan, pegawai Mandiri Sekuritas yang mendampingi Harry ke Sultan, ketika diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam pertemuan itu, Nazaruddin meminta Harry mengembalikan uang Rp 300,8 miliar tersebut, tak kurang sepeser pun. Nazaruddin mengancam bakal mengadu ke polisi bila Harry tak memenuhi permintaannya.
Meski ditekan Nazaruddin, Harry menolak memenuhi permintaannya. Setelah pertemuan di Sultan, Nazaruddin mengirimkan orang-orangnya untuk menanyakan soal saham itu kepada Mandiri Sekuritas. Pada Maret, Nazaruddin, misalnya, memerintahkan Yulianis dan Jimy R. Take alias Franky menemui Harry. Ditemui mereka, Harry berkukuh tak bisa mengembalikan uang Nazaruddin. Selanjutnya, hingga Mei, orang-orang Nazaruddin masih mendatangi Harry.
Menurut sumber Tempo, pada bulan-bulan itulah Idrus Marham diduga menghubungi Harry. Ia meminta Harry meluluskan permintaan Nazaruddin. Bagaimana Idrus bisa menelepon Harry? Sumber Tempo bercerita, setelah gagal menekan Harry, Nazaruddin meminta bantuan Idrus. Dimintai tolong, Idrus akhirnya menelepon Harry. Idrus dan Nazaruddin memang sudah lama berteman.
MENGINJAK 2009, sejumlah politikus kerap meriung di kantor Grup Anugrah—sebelum berubah jadi Grup Permai—di Tebet, Jakarta Selatan. Mereka yang berkumpul di lantai empat kantor Nazaruddin itu berasal dari lintas partai. Dari Partai Demokrat ada Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Muhammad Nasir, Sutan Bhatoegana, dan Ayub Khan. Dari Partai Persatuan Pembangunan ada Usman Tokan alias Doni. Ada pula Arche Joseph Renyut dari Partai Demokrasi Kebangsaan.
Menurut Yulianis, di kantor Tebet, Nazaruddin dan kawan-kawan berkumpul untuk mempersiapkan pemilihan calon anggota legislatif. Anas, misalnya, maju dari daerah pemilihan Blitar. Adapun Nazaruddin mencalonkan diri dari Jember. "Mereka menyablon kaus bersama-sama di Jakarta, lalu mengirimkannya ke daerah pemilihan masing-masing," kata Yulianis kepada Tempo, Selasa pekan lalu. "Pak Anas, Pak Doni, semua ada kausnya."
Sutan Bhatoegana, salah seorang yang disebut kerap hadir, membantah pernah bertandang ke kantor Nazaruddin di Tebet. "Saya hanya pernah dua kali bertemu Nazar di kantor yang di Mampang," ujar Sutan, merujuk ke alamat kantor Nazaruddin di Tower Permai setelah pindah dari Tebet.
Selain mereka, ada Idrus Marham. Tak seperti yang lain, Idrus tak ikut kumpul-kumpul. Yulianis mengaku suatu kali melihat Idrus main ke kantor Nazaruddin. "Pak Idrus datang sendiri," ujar Yulianis.
Kedatangan Idrus, yang saat itu sudah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, ke kantor Nazaruddin tertulis pula dalam catatan pengeluaran Grup Anugrah. Catatan dalam format Microsoft Excel itu merekam nama Idrus Marham sebagai penerima duit. Dengan begitu, selain Azis Syamsudin, politikus Golkar yang namanya tercantum dalam catatan Nazaruddin adalah Idrus Marham.
Sepanjang Januari hingga Juli 2009, Idrus—yang ditulis dengan kode "IDRS"—disebut menerima duit sebanyak enam kali. Pada 30 Januari, ia disebut mendapat Rp 20 juta. Dalam catatan, pemberian uang itu ditulis sebagai "biaya entertain".
Berbeda dengan pemberian kepada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau pejabat kementerian, duit untuk Idrus tak berhubungan dengan proyek. Selain "biaya entertain", dalam catatan berbentuk tabel dengan 15 kolom itu tertulis bahwa maksud pemberian uang adalah untuk biaya operasional. Selain pada 30 Januari, Nazaruddin diduga memberikan duit pada 5 Maret (Rp 30 juta), 22 April (Rp 20 juta), 23 Juni (Rp 20 juta), dan 4 Juli (Rp 10 juta). Duit diserahkan, antara lain, oleh Amin R.—salah satu nama sandi Muhammad Nazaruddin.
Yulianis, yang mengetahui duit keluar-masuk di Grup Anugrah, irit berbicara ketika ditanya soal data tersebut. "Semua sudah disita KPK," ujarnya.
Ditanya soal kedekatannya dengan Nazaruddin, Idrus tak membantah. "Tak cuma dengan Nazar, saya juga dekat dengan Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Benny Harman, dan banyak lagi," ujarnya. Menurut Idrus, meski Nazaruddin, Anas, dan Angelina tengah terpuruk, mereka tetap sahabatnya. Tapi Idrus menolak menjelaskan sejak kapan kedekatan di antara mereka terjalin.
Nasir tak membantah kedekatan Idrus dengan keluarganya, termasuk Nazaruddin. Nasirlah yang mengajak Idrus menemui Tempo dinihari itu. Kendati begitu, ia menggembok mulutnya soal apakah Idrus pernah ke kantor Tebet dan menerima duit.
Meski berkawan, Idrus membantah pernah bertandang ke kantor Nazaruddin di Tebet. "Saya enggak pernah ketemu Nazar di kantor Tebet," ujarnya. Meski berteman, Idrus mengaku tak pernah menerima uang dari Nazaruddin. "Coba tanyakan saja kepada Nazaruddin," katanya. Ditanya soal ini seusai persidangan kasus Wisma Atlet pada Rabu pekan lalu, Nazaruddin menjawab, "Siapa yang bilang? Jangan fitnahlah…." Ia senyam-senyum, lantas mengeloyor.
Anton Septian, Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo