Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR mata Vladimir Putin meleleh di tengah bekunya udara Moskow, Ahad malam dua pekan lalu. Bermantel tebal hitam, Perdana Menteri Rusia itu menyapa ribuan pendukungnya yang tumpah di Lapangan Manezh untuk merayakan kemenangannya terpilih sebagai presiden ketiga kalinya.
"Kita menang!" katanya setengah berteriak. Di atas panggung terbuka, Putin, yang ditemani Presiden Rusia yang juga kawan separtai, Dmitry Medvedev, beberapa kali menyeka air mata dari pipinya.
Pemilihan presiden sudah berakhir, Komisi Pemilihan Umum Rusia menyiarkan hasil resmi penghitungan yang menyatakan Putin menang jauh di atas kandidat lain. Ia mendulang hampir 64 persen suara. Sedangkan pesaing terberatnya, pemimpin Partai Komunis, Gennady Zyuganov, hanya berhasil mengantongi 17,18 persen suara. Zyuganov diikuti calon independen Mikhail Prokhorov dengan perolehan suara 7,98 persen; pemimpin Partai Liberal Demokrat, Vladimir Zhirinovsky, dengan 6,22 persen; dan pemimpin Partai Keadilan Rusia, Sergei Mironov, dengan 3,85 persen.
Lembaga-lembaga jajak pendapat memang sudah memprediksi kemenangan Putin. Bahkan sebuah lembaga survei nyaris tepat membuat perkiraan: 58,3 persen suara. Dengan tingkat partisipasi cukup tinggi, mencapai 65,34 persen dari total pemilih—lebih tinggi dibanding pada pemilihan 2008 yang hanya 52 persen—kemenangan Putin terasa lebih mantap.
Kepala Pemenangan Kampanye Putin, Stanislav Govurukhin, pun meyakini pemilihan presiden kali ini adalah yang paling bersih sepanjang sejarah Rusia. Kubunya, yang menyebarkan 25 ribu pengamat pemilihan, mengklaim tidak menemukan kecurangan apa pun selama proses pesta demokrasi itu.
Sedangkan di markas Partai Komunis Rusia yang berlantai dua di dekat Stasiun Tsvetnoi Bulvar di Kota Moskow, Gennady Zyuganov, kandidat presiden dari Partai Komunis Rusia, terpukul. Dengan langkah gontai, ia muncul ke hadapan lampu kilat dan sorot kamera para wartawan, sesaat setelah Komisi Pemilihan mengumumkan perolehan suara seteru kuatnya, Putin.
Zyuganov emoh menjawab berondongan pertanyaan para jurnalis soal hasil pemilihan. Kalimat yang meluncur pertama kali dari mulutnya adalah kemarahan terhadap krisis ekonomi Rusia dan buruknya kinerja Putin menangani persoalan tersebut. "Pemerintah seperti ini tidak akan bertahan lama," katanya.
Murung juga menyelimuti kantor Partai Liberal Demokrat, yang terletak di kawasan Stasiun Prudy Chistiye, Moskow. Sang kandidat yang juga pemimpin partai itu, Vladimir Zhirinovsky, malah mogok bicara kepada wartawan. Beberapa sumber internal partai mengatakan Zhirinovsky sangat terpukul oleh hasil pemilihan, yang dinilai penuh kelicikan. Terlebih pentolan partai itu memperoleh hasil sangat buruk. Ia berada di posisi keempat di bawah calon independen yang juga pendatang baru, Mikhail Prokhorov.
Udara dingin yang menusuk tulang di Moskow juga membekukan jamuan di markas Partai Keadilan Rusia. Sergei Mironov, sang pemimpin partai, sangat kecewa. Anggur dan roti yang tersaji tidak membuatnya berselera. Kepada wartawan, ia memilih irit bicara. "Kami menunggu seluruh proses penghitungan berakhir," katanya. "Setelah itu, baru ditentukan apa yang akan kami lakukan."
Pihak oposisi percaya kembalinya Putin ke kursi presiden sudah lama dirancang. Dimulai saat Dmitry Medvedev, yang satu partai dengan Putin, menjadi presiden empat tahun lalu. Kala itu keduanya mengatur skenario membuat jabatan baru, yakni posisi perdana menteri untuk Putin. Skenario itu dijalankan agar Putin tidak melanggar undang-undang yang membatasi masa jabatan presiden selama dua periode. Selain itu, pemerintahan Medvedev mengubah konstitusi yang memperpanjang masa jabatan presiden dari empat menjadi enam tahun untuk pemilihan kali ini.
Semua cara dilakukan demi menang. Laporan kecurangan yang dilakukan kubu Putin berhamburan menyerbu kantor Mikhail Prokhorov. Dua puluh ribu pengamat yang disebar taipan Rusia ini melaporkan hampir 6.000 kecurangan telah terjadi selama pemilihan. Bahkan, di sebuah kota bernama Vladimir, tim kampanye Prokhorov menghentikan sebuah bus yang ditumpangi 60 pemilih yang bisa berpindah-pindah pos pemilihan. Mereka mengaku telah dibayar kubu Putin. "Akan kami kumpulkan bukti. Setelah itu, baru diputuskan lanjut ke pengadilan atau tidak," kata Prokhorov.
Vladimir Ryzhkov, doktor sejarah Rusia yang pernah menjabat juru bicara kepresidenan di kabinet Boris Yeltsin, memprediksi Putin akan sendirian menjalankan kekuasaannya. Sebab, oposisi bakal ogah bekerja sama. Dengan banyaknya temuan kecurangan, pihak oposisi bakal duduk di seberang Putin sembari terus mengkritik pemerintahan Putin di masa mendatang.
Yang lebih ekstrem, Ryzhkov menduga bakal terjadi eksodus massal penentang Putin meninggalkan Rusia. Sejarah mencatat sudah hampir empat juta warga Rusia dalam dua dekade ini keluar dari negaranya karena alasan politik. Terlebih apabila dikaitkan dengan janji Putin dalam kampanyenya, yang menyebutkan akan membersihkan Rusia dari para pembelot yang tidak nasionalis.
"Kita akan melihat bersama konflik politik yang permanen kali ini," ujarnya. Walau Putin mengeluarkan pernyataan siap bekerja sama dengan oposisi, pihak yang berseberangan dengannya pasti menolak. Tidak akan lama lagi, penjara-penjara pasti akan dipenuhi para penentang Putin.
Pemilihan memang sudah usai, tapi riuh penentangan masih terasa. Unjuk rasa anti-Putin masih berlangsung hingga akhir pekan lalu, yang mengakibatkan penangkapan lebih dari 500 pemrotes. Suhu politik Rusia dipastikan memanas seiring dengan berakhirnya musim dingin ini. Bisa jadi Putin kembali menitikkan air mata, tapi untuk alasan berbeda.
Sandy Indra Pratama (Moskovsky Komsomolets, Ria Novosti, The Moscow Times, Time.com)
Kalah tapi Pantang Menyerah
TAK ada khatamnya Mikhail Prokhorov menggerutu. Pesta koktail meriah tak mampu mengobati kedongkolannya. Pertama kali terjun di kancah politik, miliuner 47 tahun itu dipaksa menyerah kalah. Perolehan suaranya tak menyundul angka 10 persen. "Banyak kecurangan, dan Rusia tidak bisa berbuat apa-apa," katanya di tengah pesta yang sengaja digelar kolega, tim sukses, dan keluarga di Krasnoyarsk, kota 4.200 kilometer di barat Moskow, itu.
"Jika Putin berpikir pemilihan berakhir pada 4 Maret lalu, dia salah," kata lulusan magna cum laude Fakultas Ekonomi Internasional Universitas Moskow itu. "Akan kami bentuk kekuatan politik baru."
Penggila olahraga keras kickboxing ini memang dikenal senang berkompetisi. Tentu itu berkat asahan dunia bisnis yang digelutinya sejak lulus kuliah pada 1989. Alih-alih kapok, Prokhorov, yang baru terjun di kancah politik tahun lalu, malah berencana membangun partai politik baru.
Manajer kampanye Prokhorov, Anton Krasovsky, kepada surat kabar The Moscow Times mengatakan komitmen bosnya terhadap politik Rusia memang besar. Pendirian partai baru itu merupakan bukti keseriusannya. "Ia tak hanya berjuang untuk Moskow, tapi juga buat seluruh Rusia," ujarnya.
Sayang, langkah ambisius lelaki yang dinobatkan majalah Forbes sebagai orang ketiga terkaya di Rusia dan ke-32 di dunia itu sepertinya masih diragukan rakyat Rusia. Stigma pengusaha yang selalu mencari celah keuntungan di riuhnya kehidupan politik Rusia masih kuat melekat padanya.
Pemimpin redaksi majalah gaya hidup GQ Rusia, Michael Idov, menilai Prokhorov memiliki motif bisnis di balik ambisinya masuk ke dunia politik. Benar atau tidak, Putin tetap harus waspada. Sebab, sang taipan memiliki aset US$ 18 miliar atau hampir Rp 164 triliun.
Sandy Indra Pratama (The Moscow Times, Ria Novosti)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo