Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tamu-tamu Lincoln Center

Pada musim panas lalu Lincoln Center, pusat pertunjukan yang didirikan pemerintah di New York, menggelar festival yang mengusung bermacam karya. Dari Euripides sampai Samuel Beckett.

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata Liam Neelson seperti menerawang. Aktor yang pernah masuk nominasi Oscar atas permainannya di film Schlinder’s List itu tampil di panggung tanpa bicara sepatah kata pun. Ia hanya menampilkan ekspresi wajahnya. Rambutnya kusut, cambangnya tak tercukur licin. Dahinya mengkerut. Ia seperti seorang yang terseret kenangan-kenangan pahit.

Di panggung Gerald W. Lynch, milik John Jay College—sebuah universitas di dekat Lincoln Center—ia memainkan Eh Joe, karya Samuel Beckett. Sutradara pertunjukan itu adalah sineas Atom Egoyan. Di panggung, mula-mula Neelson seperti orang bingung. Lalu ia duduk termenung di pinggir ranjang. Tiba-tiba mukanya tersorot memenuhi seluruh permukaan panggung. Kita bisa sampai detail melihat reaksi mukanya.

Lalu terdengar suara wanita mencecarnya. Mimik Neelson, yang memeran­kan Joe, seakan makin tenggelam dalam ingatan menyakitkan.

”Anyone living love you now, Joe?

Selama bulan Juli, Festival Lincoln Center digelar. Akting Neelson bagian dari tiga monolog Beckett yang dimainkan teater Dublin, Irlandia. Teater ini dikenal spesialis Beckett. Selain Liam, ada Ralph Fiennes. Fiennes, yang kita kenal lewat permainannya Lord Vodemort dalam seri Harry Potter, memainkan First Love. Mengenakan jas dan topi hitam, ia bercerita: ia telah jatuh cinta pada seorang perempuan tak dikenal yang melintas di taman.

Bacchae. Karya Euripides yang mengisahkan kepulangan Dionysus ke Thebes setelah sekian lama mengembara ke Asia dimainkan Teater Nasional Skotlandia. Karya ini oleh ­filsuf Rene Girad pernah dianggap naskah Yunani kuno yang paling mengandung gagas­an ketuhanan. Dalam sejarah teater Amerika, Richard Schechner pada 1969 mengadaptasinya menjadi ­Dionysus 69, naskah pemberontakan anak muda.

Inilah tafsir anak-anak ­Skotlandia ”sinting”. Mulanya Allan Cumming se­bagai Dionysus mengenakan rok turun dengan tali panjat tebing dari atap. Ia menyamar menjadi wanita. Ia disambut­ paduan suara yang dalam versi teater Skot­landia menjadi penari latar berga­un merah. Dionysus menyambar mikrofon dan bersama mereka menyanyi rock.

Agama baru yang dibawa Dionysus ditentang Raja Thebes Pentheseus. Teater Skotlandia menonjolkan tema androgini. Adegan utama adalah bagaimana Dionysus membujuk Pentheseus untuk bergaun wanita saat mengintip ekstasi rahasia wanita. Di situlah Pentheseus ditikam bersama-sama. Tata panggung mengagetkan, tiba-tiba dari dinding menyembur api.

Tapi skenografi yang spektakuler adalah opera karya komponis Jerman Bern Alois Zimmerman, Die Soldaten. Karya yang bercerita tentang percintaan perempuan bernama Marie dengan tentara ini disebut-sebut salah monumen sistem musik 12 nada. Mengambil tempat di Armory Park, sebuah tempat seperti hanggar seluas lapangan sepak bola. Panggung dibuat seperti huruf T panjang. Lebih dari 100 musisi Bochumer Symphoniker Orchestra mengambil tempat di kanan-kiri panggung.

Penonton duduk dalam deretan ­kursi yang ditata seperti trap. Yang ­memukau, tatakan kursi dibangun di atas rel, yang bisa membuat tempat penonton bergerak maju-mundur. Letak penonton mulanya jauh dengan panggung. Ketika barisan tentara melangkah, diiringi musik mars penuh dentuman, tiba-tiba area kursi bergerak membawa penonton maju ­menyongsong derap tentara itu. Klimaks opera ini adalah adegan satu kompi tentara secara brutal bergantian memerkosa Marie. Ketika Marie lari, kembali kursi menyongsongnya.

Festival juga menampilkan Impressing The Czar karya Willem Forsythe, yang dimainkan Royal Ballet of Flanders. Forsythe dikenal pembaharu balet. Karyanya bertolak pada ­idiom balet klasik, tapi visinya kontempo­rer. Di panggung seseorang terbaring dengan panah tertancap di dadanya. Kemudian puluhan anak berseragam sekolah menyerbu, menari mengelilingi ”mayat” itu. Mereka mengangkat kaki ke atas tinggi-tinggi, mengangkangi, berputar, makin lama makin liar, seperti melakukan sebuah ritual.

Yang paling rileks adalah pementas­an musik Goran Bregovic dari Serbia. Bregovic dikenal sebagai musisi yang lagu-lagunya menjadi ilustrasi film-film karya Emir Kusturica. Bila Anda pernah menonton film Underground-nya Kusturica, lagu-lagu seperti itulah yang dimainkan. Ia duduk, memainkan gitar beraura Timur Tengah, aura gypsy. Penonton tak tertahankan untuk melantai.

Festival diakhiri oleh komponis tuan rumah, Laurie Anderson. Ia dikenal mengembangkan ”sastra-musik”. Dan malam itu, dalam suasana meditatif yang dibangun orkestranya, ia bercerita tatkala bumi belum ada, hanya udara.…

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus