Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perupa kita memang terbiasa bekerja dengan bahan sejumput. Bertolak dari yang secuil, mereka mengarangngarang atau mengembangkan gubahan visual atau sensasi artistik untuk menggugah yang indrawi. Imajinasi personal kiranya adalah alat ampuh untuk itu.
Ya, imajinasi dan peristiwa diracik secara longgar, menurut ”logika imajinasi” seniman. Simsalabim, maka lahirlah karyakarya seni rupa yang menampilkan gambaran tokoh dan teks (ber)sejarah. Inilah pameran ”Dari Penjara ke Pigura”, yang diikuti 30 perupa (Jakarta, Bandung, Yogya, dan Bali), untuk menandai pembukaan Galeri Salihara di Jakarta (17 Oktober6 Desember 2008).
Cuplikan teks dari para tokoh pejuang Republik pilihan kurator digunakan sebagai landasan untuk membuat karya. Menurut tim kurator, para perupa ”memiliki cara yang lebih tak terbayangkan lagi dalam menerjemahkan teks pilihan mereka”. Apa maksudnya? Imajinasi seni atau simulakrum yang diharapkan melampaui teks sejarah? Dengan cara bagaimana? Yang jelas, di tangan perupa, nukilan teks sejarah masih perlu dikembangluaskan atau digali lebih dalam, tak cukup hanya dialihrupakan, apalagi sekadar dikutip.
Namun, pada pameran ini, sebagian besar perupa ternyata hanya menggunakan medium yang jangkauannya justru ”sudah dapat dibayangkan” sebelumnya: lukisan. Terlebih beberapa perupa seakan hanya tertarik untuk membayangkan atau mencitrakan tokoh.
Tokoh dan teks. Gambaran sosok, bersanding atau tumpangtindih dengan semboyan verbal atau renungan sang tokoh, mencolok ditampilkan di dalam pameran. Ketimbang pencarian segisegi yang lebih kaya rupa dari (sejarah) sang tokoh, pendekatan artistik seperti ini lebih terasa sebagai penyederhanaan. Dengan kata lain, teks sejarah yang multidimensi belum sungguhsungguh merupa.
Agus Suwage melukis raut wajah Tan Malaka, kecokelatan, bertumpuk dengan jajaran teks dari sosok revolusioner ini. Yuswantoro Adi membuat parodi Soekarno dan Kartini cilik, diimbuhi katakata terkenal mereka, ”Via Dolorosa” dan ”Neen Stella!”. Moelyono melukis—dengan efek piksel—profil Soekarno yang tampak bergelora ketika berpidato. Ada juga RA Kartini, potret sang guru bangsa yang dirindukan oleh perempuan cilik nun di Papua.
Nasirun menggubah sosok asketis Hatta, mirip profil wayang, berlatar citra pertapaan seorang begawan di gunung dalam rona keemasan. Kutipan pada karya ini dipungut dari lirik lagu pop Iwan Fals tentang Hatta, yang ”bernisan bangga, bertabur doa”. Ada lagi Tan Malaka, yang di mata perupa ini adalah ”tan kinira”, tak terduga. Dialah tokoh sosialis yang fasih mengutip ayatayat suci AlQuran, kata Nasirun.
Potret adalah cara untuk mengekalkan tokoh. Sang tokoh sudah telanjur menjadi simpul utama dari rangkaian peristiwa yang dianggap bermakna. ”Cara tak terbayangkan” dalam menerjemahkan nukilan teks tentunya mungkin, sekiranya terpaut dengan penemuan ”pengetahuan visual” yang baru di sekitar tokoh, dan menggubah kembali khazanah multidimensi semacam itu ke dalam perspektif karya.
Hampir semua tokoh pernah dijebloskan ke penjara di masa sebelum kemerdekaan. Ihwal itu ditandakan secara gamblang oleh tajuk pameran. Penjara semacam itu, sebagai fakta sejarah ataupun logika imajinasi, nyaris tak ada dalam kamus perupa. Andaikan ada perupa yang bersedia membentangkan imajinasi mereka, menjenguk jejakjejak sejarah di Sukamiskin, Cipinang, ataupun Digoel…. Berbekal kebenaran faktual secuil teks, agaknya imajinasi perupa hanya berkembang di luar penjara, lalu melesat ke bentuk penjara yang lain, yakni pigura (lukisan). Seakanakan dimensi tempat, waktu, khazanah barang, tulisan tangan, dokumentasi foto atau suara, misalnya, bukan bagian dari imajinasi.
Yang menafsir bebas lepas tampak pada Acep Zamzam Noor, Dadang Christanto, Diyanto, Eko Nugroho, Loranita Damayanti, S. Teddy D., atau Ugo Untoro untuk menyebut beberapa. S. Teddy D., misalnya, menampilkan tumpukan buku sebagai horizon kemerdekaan. Sosok yang dilukisnya tenggelam sekaligus merdeka menulis di antara timbunan kertas. Sebuah tangan merah dengan jarijari bercecabang bertiwikrama sebagai tangantangan lagi menyembul di antara tumpukan buku tebal, seperti Marx dan Madilog.
Tisna Sanjaya, dengan tiga lukisan bergaya neoekspresionistis, lebih bebas lagi menafsir. Ia melukis dengan aspal di atas kanvas, dengan semangat pasifis, antikekerasan, antiperang, dan slogan kemerdekaan kreatif untuk semua orang. Jerry Thung melukis dua pasang kepalan tangan berwarna putih untuk menunjukkan cengkeraman kekuasaan kolonial. Edo Pillu menyejajarkan debus dan Tan Malaka, keduanya adalah ”antikolonial”, dalam konteks yang berbeda. Yang pertama lokal, spiritual; yang kedua giat bergulat dalam rasionalitas dan kemodernan.
Sejarah belum merupa? Seni rupa, oleh keluasan perspektif material dan keberbagaian khazanah mediumnya, tentunya memungkinkan perupa membuat rekonstruksi tilas atau barang. S. Malela Mahargasarie menampilkan sofa rotan yang jebol di depan lukisan besarnya, tiga serangkai Soekarno, Hatta, dan Sjahrir dari foto IPPHOS, 1946. Ia membubuhkan latar kembang setaman pada lukisan dan menebar tumpukan jerami antara lukisan dan sofa tua itu. Nus Salomo membuat obyekobyek yang digantung, serupa kantong lebah yang berpendar. Ia menggubah pesan, tepatnya pertanyaan, tentang amanat utama para pahlawan yang perlu ditetaskan.
Mella Jaarsma membuat obyekobyek bendera dari seragam pejuang kemerdekaan yang konon dicelup dengan larutan daun mangga untuk memperoleh nuansa hijau militer. Menyusuri kebenaran ihwal itu, Mella bertanya ke sanakemari. Jawabnya: warna hijau mustahil didapat melalui cara itu. Maka lahirlah benderabendera yang luntur, berupa celana dan bajubaju para pejuang. Karya ini dilengkapi dengan sebuah tayangan video tentang percobaan mencelup baju, diiringi musik dari sebuah grup yang populer di Belanda. Apakah sejarah adalah mitos? tanya Mella.
Pameran ini mungkin juga sebuah upaya memberi bobot pada karya seni rupa kontemporer kita. Bukankah para perupa kontemporer selama ini seakanakan hanya berkutat dengan teksteks ”sepele” dan melulu personal. Sementara sastra kadang boleh disebut sebagai ”sejarah alternatif”, tidakkah karya seni rupa pun berpeluang menjadi ”sejarah yang merupa”? Sayang, pameran ini belum menunjukkan tandatanda ke arah itu. Yang baru terasa adalah bobot ilustratif dari nukilan teks sejarah yang ada. Sementara para tokoh pilihan sanggup melampaui keterbatasan cakrawala dalam penjara, para perupa rupanya masih terjebak dalam tafsir dua dimensi sebuah pigura. Memang mustahil mendorong imajinasi yang ”tak terbayangkan” hanya dengan nukilan teks.
Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo