Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan menuju Salem dari Boston hanya dua jam naik kereta. Kota mungil di Teluk Massachusetts itu dahulu bagian dari New England. Hujan tipis menyeka pelabuhan, siang itu. Dermaga kayu yang menjorok panjang tampak masygul.
Tak jauh dari situ, ada sebuah rumah bercerobong asap besar berumur 330 tahun. Itulah rumah yang pada 1851 menginspirasi novelis Amerika Nathaniel Hawthorne membuat novel The House of Seven Gables. Sebuah rumah dengan tujuh sisi. "Ini ruangan toko kue Hepzibah Pyncheon," kata pemandu, menunjuk sebuah kamar di lantai dasar, penuh stoples penganan. Ia ingin menerangkan bahwa novel Hawthorne, yang menceritakan tragedi keluarga Pyncheon, semuanya diilhami hal-hal yang ada di rumah tersebut.
Tapi turis datang ke Salem bukan hanya mengunjungi rumah merah tua dengan taman belakang indah menghadap ke laut itu. Inilah kota yang mengandalkan pemasukan ekonomi lewat "pariwisata mistik". Bila Anda menyusuri kota ini, akan segera terlihat begitu banyak museum dan taverna berkaitan dengan "tukang sihir": Witch House, Salem Witch Village, Witch Dungeon Museum, Haunted House.
Biro-biro menawarkan wisata: Hocus Pocus Tour, Vampire and Ghost Hunt Tour. Kafe-kafe menjual cendera mata peralatan santet dan membuka ramalan tarot. Banyak toko buku khusus buku new age. "Anda salah waktu, datanglah pada saat Halloween, semua hantu akan keluar," kata seorang pegawai kios suvenir. Maksudnya, 31 Oktober lalu, di Salem karnaval akan sangat meriah dengan arak-arakan segala kostum setan.
Salem menjadi "kota klenik" bukan tanpa sebab. Ratusan tahun lalu terjadi kepanikan massal di kota ini, yang menginspirasi Arthur Miller membuat drama terkenal: The Crucible. Sebuah drama yang mengalegorikan kebijakan Senator Joseph McCarthy melakukan pembersihan komunis di Amerika.
Pada 1692, Salem dilanda histeria. Kaum puritan Calvinis memburu warga yang dituduh belajar tenung. Pengadilan memenjarakan ratusan orang dan menghukum gantung 19 orang laki-laki dan perempuan.
Mengunjungi Salem akan mengerti konteks drama Miller. Rumah para pemburu, kuburan korban sudah menjadi puing-puing. Tapi di Museum Salem Witch, misalnya, ada seri patung lilin yang menceritakan peristiwa itu. Penangkapan bermula dari sakitnya Betty, anak Samuel Parris, pendeta setempat. Dokter tak bisa mengatasi. Jemaah menuduh Tituba, pengasuh anak Parris yang berasal dari Karibia dan mempercayai voodoo. Perburuan pun dimulai.
Itulah maka ketika The Crucible, September lalu, dimainkan di New York dalam bentuk opera di Teater Opera Dicapo, yang lokasinya di Gereja St. Baptise di 76 East Street, New York, saya merasa beruntung mampir ke Salem. The Crucible itu gubahan Robert Ward, yang mendapat penghargaan Pulitzer di bidang musik saat mementaskannya pada 1962. Panggung disusun ganda. Bagian atas menjadi tempat pengadilan dan tiang gantungan. Bagian bawah menjadi kerangkeng-kerangkeng. Kor mengekspresikan histeria saat adegan penangkapan orang-orang tak bersalah.
The Crucible tergolong masih konvensional. Banyak opera lain yang tak naratif. Dua di antaranya adalah yang melibatkan Peter Sellar dalam perhelatan Mostly Mozart. Sellar menyutradarai oratorio La Passion de Simone karya Kaija Saraho, komposer Finlandia, dan memproduksi Requiem karya koreografer Samoa, Lemi Ponifasio.
La Passion bertema pergulatan batin Simone Weil, filsuf perempuan Prancis. Weil adalah seorang Marxis, tapi juga seorang mistikus. Ia mati muda dalam umur 34 tahun. Libretto dibuat oleh sastrawan Libanon, Amin Maalouf. Konduktor Susanna Malkki memimpin City of Birmingham Symphony Orchestra dan paduan suara London Voices.
Sosok Weil diperankan oleh soprano Dawn Upshaw. Ia menyanyi dalam bahasa Prancis. Penonton dapat melihat subtitel Inggrisnya. Sutradara Peter Sellar menyampaikan pertunjukan ini dengan simpel. Di depan orkestra ia menaruh hanya sebuah pintu dan meja dengan setumpuk buku. Di situ Dawn Upshaw, mengenakan kostum kalangan buruh, melakukan adegan menulis.
Klimaks pertunjukan adalah detik-detik menjelang ajal Weil. Upshaw rebah di pangkuan penari Michael Schumacher, pada saat yang sama kor bergema: "Umur yang sama dengan Kristus." Dalam diskusi, Sellar menyatakan kepribadian Simon sangat kompleks. Simon mencari jalan teologi sendiri yang berbahaya. "Dia menolak partai politik dan gereja," katanya. Perasaan ditinggalkan oleh gereja pada saat ia sekarat menjadi inti pertunjukan.
Akan halnya pementasan Requiem karya Leni Ponifasio, panggung didominasi cahaya remang-remang. Ponifasio mengangkat genesis-asal-usul tujuan dalam tradisi pasifik Samoa. Sepanjang pentas penuh himne kematian Samoa. Meski mengambil gagasan tradisional, cara pemanggungannya penuh konsep arsitektural minimalis kontemporer. Bagian paling elok adalah ketika sederet anak kecil dengan berpakaian putih berdiri kaku membawa lipatan kain. Asap-asap kecil mengambang dari panggung. Anak-anak itu seolah lambang pemurnian. Simbol roh yang siap lepas ke alam.
Banyak gedung pertunjukan di New York menyuguhkan seri opera pada musim gugur. Mengawali seri opera ini, Metropolitan Opera, di ujung musim panas, menampilkan karya Richard Strauss, Salome. Salome adalah sosok perempuan yang menarik minat seniman dari Boticelli pada abad ke-15 sampai Picasso abad ke-20. Cerita Salome dikembangkan dari sebuah kisah dalam Perjanjian Baru Markus dan Mateus.
Salome versi Strauss, yang digarap berdasarkan adaptasi karya sastrawan Oscar Wilde, menonjolkan hasrat seksnya. Salome suatu hari mendengar suara rasul Jochanan (Yohanes pembabtis), yang ditahan Herodes, ayah tirinya. Salome begitu terpesona. Ia ingin menyentuh kulit Jochanan. Ia meminta Herodes mengeluarkan Jochanan dari sumur tahanan. Tapi Jochanan malah mengutuknya. Salome marah.
Suatu kali Herodes menyuruh Salome menari sensual. Salome mau asal Herodes menyerahkan kepala Jochanan di atas baki emas. Jochanan dipancung. Salome dengan bernafsu menciumi penggalan kepala itu. Strauss pertama kali menampilkan Salome di Dresden Court Opera 1905. Soprano Marie Wittich yang mulanya diminta menjadi Salome menolak karena menganggap perilaku seks Salome menyimpang. Pertunjukan Salome disensor berbagai negara. Di Wina sampai 1918 Salome dilarang. Dan malam itu, di Metropolitan Opera, yang memerankan Salome adalah Karita Mattila, soprano cantik asal Finlandia. Di panggung, tatkala menari untuk Herodes, ia tiba-tiba melepas seluruh busananya, telanjang bulat. Ketika "kepala Jochanan" dihidangkan, ia seperti seorang nekrofil, ia mencumbu bibirnya.
Sementara Salome membuka rangkaian opera di Metropolitan Opera, di Teater Miller milik Universitas Columbia, Oresteia menjadi pembuka rangkaian orkestra yang agendanya bahkan sampai musim dingin 2009. Oresteia adalah tragedi karya Aeschilus. Yang ditampilkan adalah Oresteia versi komponis avant garde Yunani almarhum, Iannis Xenakis, dengan sutradara Luca Veggeti.
Oresteia, kita tahu, tokoh yang membunuh Clytemnestra, ibunya sendiri. Tragedi ini bermula tatkala Agamemnon, ayahnya, membunuh adik kecil Oresteia, Iphigenia, untuk tumbal Perang Troja. Menang perang, Agamemnon pulang membawa Kasandara, putri Troja. Clytemnestra membunuh keduanya. Oresteia membalas kematian ayahnya itu.
Sosok Agamemnon dimainkan bariton Wilbur Pauley. Mulanya ia menyanyi, mengenang bagaimana sang raja mempersembahkan darah Iphiginea. Ia mencabik-cabik alat musik seperti lira alit. Para penyanyi kor duduk, turut menjadi bagian dari pentas. Para pemain musik ditempatkan di atas. Konduktor Steven Osgood tidak kelihatan. Para musisi memperhatikan aba-aba sang konduktor dari layar yang diletakkan di belakang penonton.
"Suami saya tidak suka dengan bentuk-bentuk opera konvensional," kata Francoise Xenakis, istri Xenakis, dalam diskusi di Museum Gugenheim. "Opera klasik dianggapnya terlalu dekat dengan realitas sehari-hari." Xenakis dikenal berusaha menemukan cara baru untuk menghadirkan orkestra.
Sang Madame menceritakan proses kreatif Oresteia. "Suami saya sampai mencari naskah Yunani aslinya. "Opera ini banyak didominasi suara perkusi dan instrumen yang nyaring. "Alat musik yang dibawa Agamemnon itu inspirasinya didapat saat suami saya berkunjung ke Bali dan Jawa," kata Madame. Xenakis melihat siter, lalu membuat sendiri modifikasinya.
Oresteia dibuat Xenakis pada 1967, kemudian beberapa kali mengalami penambahan, termasuk peran Kassandra yang diimbuhkan pada 1987. "Ide Xenakis bertolak dari paduan suara," kata Luca Veggeti. Dramatika dibangun lewat dialog antar-kor atau sahut-menyahut solo dan kor. Ada tiga paduan suara: wanita, pria, dan anak-anak. "Xenakis menambah paduan suara anak-anak, di naskah Yunani paduan suara hanya orang dewasa," ujar Veggeti.
"Xenakis menyebut pertunjukannya sebagai teater total," kata Sharon Kanach dari Centre Iannis Xenakis, Paris. Xenakis, menurut Kanach, menganggap unsur musik, tari, dan visual bisa berdiri sendiri-sendiri. Memang kita melihat enam penari, tapi geraknya bukan mengilustrasikan isi kor. Juga demikian dengan video yang menampilkan tayangan abstrak. Demikianlah Salome, Simone Weil, Agamemnon, tiga tokoh itu, bersama opera-opera lain menutup musim panas New York tahun ini.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo