Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Aku tak bisa melakukannya, aku teringat kuda itu.”
Para penggemar Harry Potter tentu tak percaya adegan itu. Daniel Radcliffe melepas seluruh pakaiannya. Telanjang bulat, frontal menghadap ke arah penonton. Di depannya, aktris Anna Camp, juga tanpa busana apa pun. Mereka terlibat persanggamaan yang terputus.
Penampilan Radcliffe di Teater Broadhurst ditunggu-tunggu pada September lalu. Ia memerankan sosok pemuda bernama Alan Strang, dari karya Peter Shaffer pada 1973, Equus. Strang adalah seorang pasien yang terhalusinasi akan sebuah ritual agama pagan yang mendewakan kuda. Ia memiliki hasrat seks dengan seekor kuda dewa.
Sutradara Thea Sharrock memvisualisasi obsesi itu dengan cara khas. Radcliffe, dikelililingi aktor tegap, dengan dada bidang, bertopeng kuda. Asap memberikan suasana mistis. Ia lalu mengelus tengkuk, dan mencumbu. Terdengar ringkikan.…
Strang ditangani oleh psikiater bernama Martin Dysart. Pemeran Dysart juga ditunggu-tunggu karena aktornya adalah Richard Griffiths, yang dalam seri Harry Potter menjadi paman Harry: Paman Vernon. Dysart gagal menyembuhkan Strang. Dan Strang merasa dikejar-kejar sang kuda perkasa yang cemburu. Ia ketakutan perbuatan seksualnya dikutuk oleh ”tuhannya”. Ia berteriak, dan menyesal: Aku tak bisa, aku ingin menunggang Equus, kala purnama.”
Equus, karya ini pernah difilmkan. Menyusuri sekitar 40 gedung teater, yang tersebar di kawasan theater district antara 42nd dan 53nd Street, New York, memang kita merasa adanya kelindan antara film dan teater. Teater-teater itu menyajikan Mamma Mia!, Shrek, Young Frankenstein, Alfred Hitchcock, dan sebagainya. Aktor terkenal banyak yang terlibat. Morgan Freeman dan Frances McDormand, misalnya, memainkan Country Girl.
Persinggungan Broadway dengan film mungkin salah satu daya tarik Broadway. Untuk season Mei 2007 hingga Mei 2008—menurut Broadway League—pendapatan kotor Broadway US$ 937,5 juta. Dari polling juga terungkap bahwa tujuan utama turis untuk mendatangi New York adalah menonton Broadway. Broadway, dengan tiket paling rendah sekitar US$ 60, begitu menyumbang perekonomian New York. Pada November tahun lalu, misalnya, akibat adanya aturan kontrak baru, para pekerja panggung mogok selama 19 hari. Itu membuat 27 pertunjukan tidak bisa beroperasi, termasuk Wicked, Phantom Opera, Jersey Boys, dan Lion King. Karena itu New York diperkirakan kehilangan pendapatan US$ 2 juta sehari.
Namun, pada musim panas silam, promosi kembali gencar. Di Bryan Park, selama lima hari diadakan konser gratis petilan lagu-lagu dari Broadway. Para penonton menggelar tikar seraya menikmati kudapan. Di situlah Walt Disney paling agresif, membagi-bagikan cendera mata pertunjukannya, Little Mermaid, Mary Poppin, dan Lion King.
Memang, adakalanya pertunjukan drama Broadway lebih bernas daripada ketika diangkat ke film. Meski telah menonton film Chicago, misalnya, Anda dijamin tetap terpesona melihat drama klasik karya Bob Fosse itu. Bahkan filmnya terasa kemudian menjadi medioker. All That Jazz, di panggung Teater Ambassador, sebuah big band jazz dengan 15 musisi, dengan barisan woodwind, trombon, piano, bas, tuba, violin, drum, perkusi, menyisakan sedikit ruang untuk penari.
Chicago berkisah tentang dua narapidana perempuan cantik di penjara 1920 Cook County. Velma Kelly masuk tahanan karena menembak mati suaminya yang selingkuh. Ia menjadi bintang media. Fokus pers berubah ketika masuk narapidana cantik lain bernama Roxie Hart. Mereka bersaing popularitas. Micheele Dejean yang memainkan Roxie Heart dan Nancy Lemenager yang memerankan Velma Kelly sangat membuat tontonan segar. Keduanya seolah adu kemampuan tari dan menyanyi. Tatapan, senyum, gerak mereka yang erotik bukan hanya menghanyutkan para ”sipir” melainkan juga penonton.
Tapi Broadway bukan hanya panggung untuk pertunjukan musikal. Ia juga panggung untuk drama serius. Tony Award tahun ini, misalnya, jatuh ke August Osage County. Ini drama realis karya Tracy Letss, menceritakan keretakan rumah tangga keluarga Weston. Inti persoalan adalah sosok ibu, Violet Weston, 65 tahun, yang pemabuk dan sering blak-blakan mengungkap aib keluarga. Saya masih teringat bagaimana Estelle Parsons yang memerankan Violet Weston terhuyung-huyung di tangga dan saling cakar dengan anak sulungnya, Barbara Fordham (Amy Morton), setelah sang anak marah lantaran keretakan rumah tangganya disindir.
Saya menonton Sea Gull Anton Chekov yang main sampai 21 Desember nanti di Teater Walter Kerr. Ceritanya tentang seorang wanita benama Arkadia dari sebuah keluarga menengah Rusia pada abad ke-19. Dimainkan aktris Kristin Scott Thomas, bintang utama film English Patient, drama ini menampilkan kepedihan secara alegoris. Arkadia memiliki seorang anak laki-laki, penyair gagal, yang suka berburu camar. Suatu hari, mereka kedatangan tamu seorang novelis Trigorin (Peter Sarsgaard). Sang ibu begitu memuja kebesaran seraya tak memperhatikan bakat putranya. Pada suatu malam, terdengar ledakan pistol, bukan untuk camar, melainkan sang anak bunuh diri.
Tidak semua pertunjukan Broadway bagus. Opera boneka Avenue Q, yang diinspirasi Sesame Street, misalnya, kalah bagus dibanding sebuah pertunjukan off-off Broadway di Teater Ars Nova yang sempit. Di situ Jolly Ship The Whiz Bang memainkan Pirate Puppet Rock Odyssey, sebuah rock opera, perjalanan bajak laut. Di panggung para musisi, sembari memainkan gitar dan akordeon, juga memainkan boneka. Tapi aneh, terasa boneka-boneka itu memiliki dunianya sendiri. Berbeda dengan boneka-boneka Aveneue Q yang terasa tidak lepas dari yang memainkan.
Juga agak mengecewakan tatkala menonton Spring Awakening, kisah musikal percintaan anak-anak asrama yang diungkapkan melalui musik rock. Bayangan menonton pertunjukan setaraf Jesus Christ Superstar agaknya terlalu tinggi. Yang cukup memuaskan adalah karya musikal seperti Chorus Line. Ini kisah tentang proses audisi para penari balet. Para calon penari berjejer, dipanggil dan dites satu per satu. Kebahagiaan dan kekecewaan tecermin di situ. Panggung sederhana, wajar, seolah seleksi balet sungguhan.
Chorus Line adalah warisan dari koreografer Michael Bennet. Bennet dianggap bagian dari golden age Broadway. Pertunjukan dari masa keemasan Broadway lain adalah Gypsy, dengan koreografi Jeromy Robins dan lirik Stephen Sondheim. Ini tentang biografi Gypsy Rose Lee (1911-1970), seorang penari burlesque (striptis) ternama Amerika. Dimainkan Patty Luppone, yang menarik adalah adegan panggung dalam panggung. Seorang diri Luppone melakukan show, melepas pakaiannya dari yang berbentuk kupu-kupu sampai baju meriah, menyala-nyala. Dan cekatan ia menutupi tubuhnya yang telanjang dengan topi besar, bunga, atau gorden.
Para pengamat teater mengkritik, kini Broadway terlalu dipenuhi serbuan drama Inggris, seperti Phantom of the Opera, Les Miserable, Les Liason Dangereux, Billy Eliot. Para pengkritik melihat tak ada lagi drama baru dari dalam Amerika sendiri yang betul-betul menggigit. Yang ada adalah pertunjukan yang mengulang-ulang unggulan Broadway, seperti South Pacific, West Side Story, termasuk Chicago dan Chorus Line di atas. ”Broadway sesungguhnya adalah museum,” tulis seorang kritikus.
Kritik juga ditujukan kepada off Broadway, yang hanya menjadi satelit Broadway, lantaran tidak menawarkan ideologi lain, musim panas lalu. Meski begitu, pertunjukan gratis di Delacorte theater, teater terbuka di Central Park memperingati 40 tahun Hair: The American Tribal Rock sebuah perkecualian. Hair adalah sebuah drama counter-culture yang meledak di Broadway pada 1967.
Claude, tokoh utama (Jonathan Groff) yang berambut pirang, memimpin kalangan hippie membakar kartu wajib militer, dan kemudian bersama-sama menari atas nama cinta. Mereka percaya era itu adalah era di bawah zodiak Aquarius, yang menggemakan vibrasi cinta di kosmos. Pada 1967, drama ini penuh adegan bugil, sekarang para pemain mengenakan kostum warna-warni. Lagu-lagu terkenal mereka, seperti Let the Sunshine in mudah dicerna. Pertunjukan ini meski ber-setting anti-Perang Vietnam, terasa kontekstual, terasa protes anak-anak muda itu adalah seputar Irak.
Pentas off Broadway yang kuat lainnya adalah pertunjukan musikal Bill T. Jones berjudul Fella. Bill salah satu koreografer kuat Amerika saat ini. Dan Fella merupakan sebuah pertunjukan bertolak dari kisah hidup musisi Nigeria Fela Anikulapo Kuti (1938-1997). Fela dikenal sebagai seorang musisi yang menentang diktator dan membentuk komunitas di daerah Lagos, Nigeria. Permainan Sahr Ngaujah sebagai Fela luar biasa. Seorang diri, ia menyanyi, menari, memimpim ensembel yang memainkan musik Fela. Adegan mengharukan muncul ketika satu per satu pengakuan anggota band menceritakan penganiayaan militer terhadap mereka dan memberikan kesaksian bagaimana tentara melemparkan ibu Fella dari jendela lantai atas sampai tewas.
Broadway, off Broadway adalah salah satu tambang emas New York. Demikianlah, di suatu sore itu, saya melihat berbondong-bondong anak-anak keluar membawa kipas bergambar singa dari Teater Minskoff, tempat Lion King dipentaskan.
Saya tercenung, membayangkan bahwa sutradara pertunjukan teater yang sangat laris ini, Julie Tymor (yang juga sineas), di masa lalunya pada 1970-an pernah belajar di Bengkel Teater Yogya. Di Broadway itu, tiba-tiba saya ingat kata-katanya, dalam sebuah buku: ”Rendralah orang yang pertama kali membuat saya berani menjadi sutradara teater.”
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo