Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tanah, dengan & tanpa ptb

Larangan mendagri bagi organisasi perusahaan di lingkungan pemerintah daerah bergerak dalam bidang jual beli tanah, sejak adanya larangan tersebut ptb serta otorita-otorita di dki mengurangi kegiatannya. (kt)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDAGRI Amirmachmud khawatir, masalah tanah akan menyebabkan timbulnya revolusi sosial. Karena itu ia mengulangi lagi larangan bagi organisasi perusahaan di lingkungan pemerintah daerah bergerak dalam bidang jual-beli tanah. Ucapan Mendagri di depan kursus orientasi pembangunan bagi para bupati/walikota 8 s/d 22 Januari itu, segera disambut Gubernur DKI Tjokropranolo pada hari berikutnya. "Sejak Mendagri pada 1977 mengeluarkan larangan itu, Perusahaan Tanah dan Bangunan (PTB) serta otorita-otorita di DKI telah mengurangi kegiatannya," kata Tjokro. Yaitu hanya dalam hal membebaskan tanah untuk sekolah, Puskesmas, pasar dan bangunan umum lainnya. Apakah PTB itu? Memang tak banyak warga Jakarta yang tahu. Lebih-lebih karena sampai pekan lalu, Syamsir Iskandar, Kepala PTB, selalu menghindar memberi keterangan. Tapi warga ibukota yang pernah berurusan dengan perusahaan ini tak lupa bahwa PTB ada sejak 1969 melalui SK Gubernur DKI. Tugasnya adalah membebaskan tanah di wilayah-wilayah yang ditentukan menurut rencana kota untuk wilayah pemukiman maupun untuk bangungan-bangunan umum seperti sekolah, Puskesmas dan pasar. "Pokoknya sebagai pembantu Pemda DKI dalam menyediakan lokasi pembangunan," kata Kepala Humas DKI, Harahap. Kalau ternyata setelah dibebaskan tanah itu belum siap pakai (matang) PTB mengurugnya, membuat jalan berikut selokan. Baru dijual kepada pihak yang membutuhkannya, yaitu instansi pemerintah, perusahaan real estate atau swasta lainnya juga perseorangan. Dan tentu dengan harga lebih tinggi. Menurut llarahap untuk real estate (rumah sederhana) misalnya PTB telah membebaskan tanah di Duren Sawit, Cibubur dan Cengkareng. Tapi sebagai sebuah perusahaan yang diketahui milik Pemda DKI, tentu saja PTB selalu berhadapan dengan tingkah pemilik tanah yang selalu tahan harga. Ini akan merepotkan. Karena itu jarang terjadi PTB berhadapan langsung dengan pemilik tanah. Seperti diungkapkan sumber TEMPO di DKI, "PTB lebih banyak memakai tangan perantara untuk membebaskan suatu areal tanah." Maksudnya, oknum-oknum PTB yang tahu secara persis daerah-daerah mana yang akan dibebaskan berdasarkan tatakota, menghubungi spekulan tanah (atau apapun namanya) untuk membebaskan wilayan itu -- orang seperti ini cukup banyak terdapat di Jakarta. Kemudian setelah keluar SK Gubernur untuk membebaskan tanah itu, barulah PTB langsung membeli kepada si spekulan dengan harga jauh lebih tinggi. Sumber TEMPO mengungkapkan kasus pembebasan tanah di Pedongkelan (Cengkareng). Berdasar SK Gubernur DKI wilayah itu ditentukan untuk perumahan. Tapi 3 tahun sebelum SK keluar (sekitar 1973-1974) kawasan itu sudah diborong spekulan, bahkan dengan pembayaran cicil dengan harga Rp 125 sampai Rp 150 per mÿFD. Setelah SK Gubernur DKI keluar, spekulan menjualnya kepada PTB dengan harga Rp 400 per mÿFD dan pihak ini kemudian melegonya lagi dengan harga Rp 700. Mereka yang telah membeli dari PTB akhirnya menjual pula dengan pemakai langsung Rp 2000 sampai Rp 3000 per mÿFD. Dengan kejadian ini jelas, bahwa pemilik tanah tak menikmati harga semestinya -- meskipun menurut Harahap tiap pembebasan selalu disertai tim penaksir harga. Dan dari pihak lain, kejadian serupa ini menyebabkan PTB memiliki andil dalam hal mempertinggi harga tanah di Jakarta. Ada lagi yang bernama otorita. Badan ini merupakan kerjasama Pemda DKI (tingkat walikota) dengan perusahaan swasta untuk membebaskan sekaligus mengolah dan membangun di sesuatu wilayah. Atau menjual tanah dan bangunan yang didirikannya. Terkenal misalnya Otorita Kuningan, Otorita Pluit dan Otorita Sunter. Tapi karena dalam kerjasama ini modal uang dibebankan kepada si swasta, tentu saja harga pembebasan tergantung banyak kepadanya. Begitu juga tanah maupun bangunan-bangunan yang dijualnya semata-mata tergantung pada kemauan si pengusaha. Tapi juga si swasta dalam otorita ini tak lepas dari tangan-tangan perantara alias spekulan tanah. Di Kuningan dulu misalnya, si perantara membebaskan tanah dengan harga sekitar Rp 4.000 per mÿFD dari pemilik. Si perantara menjualnya kepada otorita dengan harga sekitar Rp 13.000. Dan akhir-akhir ini di wilayah itu tanah hanya bisa dibeli dengan harga paling murah Rp 40.000 per mÿFD. Keuntungan langsung yang diterima Pemda DKI dari beberapa otorita antara lain terbangunnya berbagai sarana lingkungan -- seperti jalan, sekolah, dan bangunan-bangunan umum lainnya. Sebab ini merupakan syarat dari Pemda DKI. Tapi keuntungan si swasta tentu saja jauh lebih besar dari itu. Merugikan Rakyat Tapi sumber TEMPO yang lain di DKI memperkirakan, walaupun fungsi PTB telah dibatasi, peranan para perantara dalam jual-beli tanah tampaknya tidak berkurang. Penjual butuh uang cepat dan mudah, tanpa berbelit-belit. Cara ini hanya mungkin dilakukan oleh para spekulan yang dengan bantuan oknum-oknum di lingkungan DKI dengan mudah dapat menjual tanah itu kepada Pemda dengan harga lebih tinggi. Perusahaan seperti PTB dan otorita rupanya hanya terdapat di Jakarta. "Di Ambon tak ada perusahaan atau badan serupa itu," kata Walikota Ambon, Albert Porwayla, "kalau butuh tanah, kita beli langsung kepada rakyat." Di Balikpapan, Medan, Surabaya, Banjarmasin dan Ujung Pandang juga hampir sama dengan Ambon. Hanya di Medan, di samping oleh camat setempat, pembebasan tanah kadang-kadang diserahkan kepada pemborong yang akan mengerjakan bangunan di tempat itu. Sedang di Banjarmasin, jika tak ada kecocokan harga, si pemilik akan diberi imbalan lain sehingga ia setuju menjual tanahnya kepada pemda kodya. "Misalnya kita beri si pemilik itu kios, selain harga tanah menurut taksiran tim," tutur Walikota Banjarmasin, Kamaruddin. Walikota Ujung Pandang, Abustam, memang mengakui proyek kota satelit Panakukang belum seluruhnya beres. Hingga tahun lalu masih terjadi pemilik tanah belum menerima ganti rugi karena pemborongnya kehabisan uang. Akhirnya walikota mengambilalih persoalan dengan memperkenankan rakyat menjual tanahnya kepada siapa saja, "tapi harus melalui pejabat pembuat akte tanah." Tapi Abustam menambahkan juga, Pemda Kodya Ujung Pandang tak memiliki perusahaan yang bergerak dalam bidang jual-beli tanah. "Lebih baik saya tak usah membangun apa-apa daripada terlibat dalam urusan-urusan yang mungkin dapat merugikan rakyat," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus