MENDAGRI Amirmachmud khawatir, masalah tanah akan menyebabkan
timbulnya revolusi sosial. Karena itu ia mengulangi lagi
larangan bagi organisasi perusahaan di lingkungan pemerintah
daerah bergerak dalam bidang jual-beli tanah.
Ucapan Mendagri di depan kursus orientasi pembangunan bagi para
bupati/walikota 8 s/d 22 Januari itu, segera disambut Gubernur
DKI Tjokropranolo pada hari berikutnya. "Sejak Mendagri pada
1977 mengeluarkan larangan itu, Perusahaan Tanah dan Bangunan
(PTB) serta otorita-otorita di DKI telah mengurangi
kegiatannya," kata Tjokro. Yaitu hanya dalam hal membebaskan
tanah untuk sekolah, Puskesmas, pasar dan bangunan umum lainnya.
Apakah PTB itu? Memang tak banyak warga Jakarta yang tahu.
Lebih-lebih karena sampai pekan lalu, Syamsir Iskandar, Kepala
PTB, selalu menghindar memberi keterangan. Tapi warga ibukota
yang pernah berurusan dengan perusahaan ini tak lupa bahwa PTB
ada sejak 1969 melalui SK Gubernur DKI. Tugasnya adalah
membebaskan tanah di wilayah-wilayah yang ditentukan menurut
rencana kota untuk wilayah pemukiman maupun untuk
bangungan-bangunan umum seperti sekolah, Puskesmas dan pasar.
"Pokoknya sebagai pembantu Pemda DKI dalam menyediakan lokasi
pembangunan," kata Kepala Humas DKI, Harahap.
Kalau ternyata setelah dibebaskan tanah itu belum siap pakai
(matang) PTB mengurugnya, membuat jalan berikut selokan. Baru
dijual kepada pihak yang membutuhkannya, yaitu instansi
pemerintah, perusahaan real estate atau swasta lainnya juga
perseorangan. Dan tentu dengan harga lebih tinggi. Menurut
llarahap untuk real estate (rumah sederhana) misalnya PTB telah
membebaskan tanah di Duren Sawit, Cibubur dan Cengkareng.
Tapi sebagai sebuah perusahaan yang diketahui milik Pemda DKI,
tentu saja PTB selalu berhadapan dengan tingkah pemilik tanah
yang selalu tahan harga. Ini akan merepotkan. Karena itu jarang
terjadi PTB berhadapan langsung dengan pemilik tanah. Seperti
diungkapkan sumber TEMPO di DKI, "PTB lebih banyak memakai
tangan perantara untuk membebaskan suatu areal tanah."
Maksudnya, oknum-oknum PTB yang tahu secara persis daerah-daerah
mana yang akan dibebaskan berdasarkan tatakota, menghubungi
spekulan tanah (atau apapun namanya) untuk membebaskan wilayan
itu -- orang seperti ini cukup banyak terdapat di Jakarta.
Kemudian setelah keluar SK Gubernur untuk membebaskan tanah itu,
barulah PTB langsung membeli kepada si spekulan dengan harga
jauh lebih tinggi.
Sumber TEMPO mengungkapkan kasus pembebasan tanah di Pedongkelan
(Cengkareng). Berdasar SK Gubernur DKI wilayah itu ditentukan
untuk perumahan. Tapi 3 tahun sebelum SK keluar (sekitar
1973-1974) kawasan itu sudah diborong spekulan, bahkan dengan
pembayaran cicil dengan harga Rp 125 sampai Rp 150 per mÿFD.
Setelah SK Gubernur DKI keluar, spekulan menjualnya kepada PTB
dengan harga Rp 400 per mÿFD dan pihak ini kemudian melegonya
lagi dengan harga Rp 700. Mereka yang telah membeli dari PTB
akhirnya menjual pula dengan pemakai langsung Rp 2000 sampai Rp
3000 per mÿFD. Dengan kejadian ini jelas, bahwa pemilik tanah tak
menikmati harga semestinya -- meskipun menurut Harahap tiap
pembebasan selalu disertai tim penaksir harga. Dan dari pihak
lain, kejadian serupa ini menyebabkan PTB memiliki andil dalam
hal mempertinggi harga tanah di Jakarta.
Ada lagi yang bernama otorita. Badan ini merupakan kerjasama
Pemda DKI (tingkat walikota) dengan perusahaan swasta untuk
membebaskan sekaligus mengolah dan membangun di sesuatu wilayah.
Atau menjual tanah dan bangunan yang didirikannya. Terkenal
misalnya Otorita Kuningan, Otorita Pluit dan Otorita Sunter.
Tapi karena dalam kerjasama ini modal uang dibebankan kepada si
swasta, tentu saja harga pembebasan tergantung banyak kepadanya.
Begitu juga tanah maupun bangunan-bangunan yang dijualnya
semata-mata tergantung pada kemauan si pengusaha.
Tapi juga si swasta dalam otorita ini tak lepas dari tangan-tangan
perantara alias spekulan tanah. Di Kuningan dulu misalnya, si
perantara membebaskan tanah dengan harga sekitar Rp 4.000 per mÿFD
dari pemilik. Si perantara menjualnya kepada otorita dengan
harga sekitar Rp 13.000. Dan akhir-akhir ini di wilayah itu tanah
hanya bisa dibeli dengan harga paling murah Rp 40.000 per mÿFD.
Keuntungan langsung yang diterima Pemda DKI dari beberapa
otorita antara lain terbangunnya berbagai sarana lingkungan --
seperti jalan, sekolah, dan bangunan-bangunan umum lainnya.
Sebab ini merupakan syarat dari Pemda DKI. Tapi keuntungan si
swasta tentu saja jauh lebih besar dari itu.
Merugikan Rakyat
Tapi sumber TEMPO yang lain di DKI memperkirakan, walaupun
fungsi PTB telah dibatasi, peranan para perantara dalam
jual-beli tanah tampaknya tidak berkurang. Penjual butuh uang
cepat dan mudah, tanpa berbelit-belit. Cara ini hanya mungkin
dilakukan oleh para spekulan yang dengan bantuan oknum-oknum di
lingkungan DKI dengan mudah dapat menjual tanah itu kepada Pemda
dengan harga lebih tinggi.
Perusahaan seperti PTB dan otorita rupanya hanya terdapat di
Jakarta. "Di Ambon tak ada perusahaan atau badan serupa itu,"
kata Walikota Ambon, Albert Porwayla, "kalau butuh tanah, kita
beli langsung kepada rakyat." Di Balikpapan, Medan, Surabaya,
Banjarmasin dan Ujung Pandang juga hampir sama dengan Ambon.
Hanya di Medan, di samping oleh camat setempat, pembebasan tanah
kadang-kadang diserahkan kepada pemborong yang akan mengerjakan
bangunan di tempat itu. Sedang di Banjarmasin, jika tak ada
kecocokan harga, si pemilik akan diberi imbalan lain sehingga ia
setuju menjual tanahnya kepada pemda kodya. "Misalnya kita beri
si pemilik itu kios, selain harga tanah menurut taksiran tim,"
tutur Walikota Banjarmasin, Kamaruddin.
Walikota Ujung Pandang, Abustam, memang mengakui proyek kota
satelit Panakukang belum seluruhnya beres. Hingga tahun lalu
masih terjadi pemilik tanah belum menerima ganti rugi karena
pemborongnya kehabisan uang. Akhirnya walikota mengambilalih
persoalan dengan memperkenankan rakyat menjual tanahnya kepada
siapa saja, "tapi harus melalui pejabat pembuat akte tanah."
Tapi Abustam menambahkan juga, Pemda Kodya Ujung Pandang tak
memiliki perusahaan yang bergerak dalam bidang jual-beli tanah.
"Lebih baik saya tak usah membangun apa-apa daripada terlibat
dalam urusan-urusan yang mungkin dapat merugikan rakyat,"
ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini