Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Gusti Putri di museum tekstil

Pameran kain batik koleksi alm. gusti putri mangkunegoro viii di museum tekstil diselenggarakan oleh wastraprema (himpunan pecinta kain tenun & batik tradisionil indonesia). (ils)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu Jakarta gerimis. Di Jalan Sasuit Tubun (dulu Jalan Petamburan) 16 Januari lalu, cukup sibuk dan ramai. Hansip, Polisi Lalu lintas, jauh lebih banyak dari biasa. Terutama di depan rumah besar dan kuno yang dulunya milik keluarga Alatas tetapi kini jadi Museum Tekstil. Di situlah Wastraprema (Himpunan Pencinta Kain Tenun dan Batik TradisionaI Indonesia) yang berdiri Januari 1979, dalam kegiatannya yang kedua mengadakan pameran Puspita Warni. Yaitu rekaman koleksi kain batik milik pribadi Almarhumah Gusti Kanjeng Putri Mangkunegoro VIII, Surakarta. Gusti Putri -- demikian almarhumah biasa dipanggil -- tutup usia November 1978. Ia mempunyai peran besar pada batik-batik tradisional. Misalnya Gusti Putri telah memperbesar dan mengubah sedikit motif dasar pola Pisang Bali, dan kemudian dinamai pola Wijayakusuma. Begitu pula pola-pola lain yang biasanya dianggap sesuai dengan tubuh almarhumah yang tinggi besar. Keluarga Mangkunegaran -- terutama Gusti Putri -- sangat menggemari hasil batikan Nyai Bei Madusari, pesinden terkenal dan kesayangan Puro Mangkunegaran. Nyaris Kosong Selembar kain batik dengan motif tertentu, mempunyai arti banyak bagi orang Jawa. Hal ini tetap dipegang teguh oleh Gusti Putri semasa hidupnya. Misalna motif Parang Barong Kesit dengan sogan latar putih, telah dipakai Gusti Putri ketika putranya yang sulung (Radityo almarhum) bertunangan dengan Putri Sultan Kanoman Cirebon. Motif Ukel Naga Kukila dipakai Gusti Putri ketika ada reuni van Deventer School, sekolah wanita zaman Belanda, tempat putri priayi biasa bersekolah. Gusti Putri memang tokoh yang belum ada gantinya di lingkungan Mangkunegaran. Ketika gadis ia pandai menari serimpi Putri Cina dan telah menciptakan tari serimpi Mandrarini dan serimpi Mandrakusuma. Almarhumah yang tetap cinta pada hal-hal yang tradisional tetapi dapat mengikuti arus zaman, adalah satu-satunya putri keraton yang berani berdansa dengan tetap mengenakan kain kebaya. Dia pula yang mempopulerkan kebaya panjang Sumatera, baju kurung pendek atau panjang, kain batik tanpa viru bagi wanita-wanita Jawa yang biasa berkain kebaya secara tradisional. Gusti Putri bukan saja sebagai anggota, tetapi "juga sebagai penyumbang terbesar kain batik dan juga pendiri Wastraprema ini," kata Nyonya Herawati Diah yang menjadi ketua himpunan. Koleksi pribadi almarhumah cukup banyak. Tetapi ia juga senang memberi hadiah batik baik berupa tanda persahabatan atau tamba mari (penyenang) kepada siapa saja. Museum Tekstil sendiri telah menerima tidak kurang dari 25 potong kain batik tradisional. Antara lain ikat kepala dan taplak meja batik dengan kaligrafi Arab. Singa Pedang, umbul-umbul batik tulis dari katun primisima juga berkaligrafi Arab. Koleksi berkaligrafi Arab ini kabarnya berasal dari Sultan Sepuh Cirebon yang menghadiahkannya kepada Mangkunegara VII. Batik Indonesia, sejak abad VII telah mengalami pasang-surut. Di zaman dulu, selembar batik adalah karya seni yang sering berisi falsafah hidup orang Jawa. Kini, setelah batik begitu fashionable, unsur seni lebih didesak oleh kebutuhan sebagal pakaian atau alat pelengkap rumahtangga. Dulu, motif parang hanyaboleh dikenakan kaum bangsawan saja. Pemakaiannya pun hanya pada upacaraupacara yang dianggap penting. Tetapi kini, motif parang bisa juga digantung sebagai kain tirai atau serbet. Nyonya Tien Suharto yang membuka resmi pameran ini, telah memegang canting dan membubuhkan tanda-tangannya di selembar kain yang bertuliskan "Suruding Gusti sedyo pitutur terusing ati. Ngesti ambuko roso adi. Pamoring busono, tinoto rasaningwarni." Artinya: Wafatnya Gusti Putri mewariskan amanat yang menembus hati, agar tergugahlah rasa keindahan yang menjelma dalam keselarasan tata warna busana". Gedung kuno yang berubin indah dan kini dijadikan museum tekstil ini diresmikan Juni 1976. Sumbangan batik-batik koleksi Gusti Putri tentu menambah isi museum yang nyaris kosong. "Kami tidak punya uang," kata salah seorang pengurus museum yang tak mau disebut namanya. Untuk pameran ini, "kami harus lari ke sana ke mari, untuk pinjam lampu, karpet, gawangan," kata Iwan Tirta anggota Wastraprema. Gawangan adalah gantungan kayu untuk menyampirkan kain yang akan dibatik. Anggota Wastraprema sendiri banyak yang membantu membersihkan museum ini -- terutama kalau ada pameran -- secara sukarela. Untuk menjadi anggota Wastraprema terbuka bagi siapa saja. Syaratnya: asal anda punya kain antik dari seluruh daerah Indonesia satu saja, disumbangkan ke Wastraprema. Dan jadilah anggota perkumpulan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus