PAGI itu Jakarta gerimis. Di Jalan Sasuit Tubun (dulu Jalan
Petamburan) 16 Januari lalu, cukup sibuk dan ramai. Hansip,
Polisi Lalu lintas, jauh lebih banyak dari biasa. Terutama di
depan rumah besar dan kuno yang dulunya milik keluarga Alatas
tetapi kini jadi Museum Tekstil.
Di situlah Wastraprema (Himpunan Pencinta Kain Tenun dan Batik
TradisionaI Indonesia) yang berdiri Januari 1979, dalam
kegiatannya yang kedua mengadakan pameran Puspita Warni. Yaitu
rekaman koleksi kain batik milik pribadi Almarhumah Gusti
Kanjeng Putri Mangkunegoro VIII, Surakarta. Gusti Putri --
demikian almarhumah biasa dipanggil -- tutup usia November
1978. Ia mempunyai peran besar pada batik-batik tradisional.
Misalnya Gusti Putri telah memperbesar dan mengubah sedikit
motif dasar pola Pisang Bali, dan kemudian dinamai pola
Wijayakusuma. Begitu pula pola-pola lain yang biasanya dianggap
sesuai dengan tubuh almarhumah yang tinggi besar.
Keluarga Mangkunegaran -- terutama Gusti Putri -- sangat
menggemari hasil batikan Nyai Bei Madusari, pesinden terkenal
dan kesayangan Puro Mangkunegaran.
Nyaris Kosong
Selembar kain batik dengan motif tertentu, mempunyai arti banyak
bagi orang Jawa. Hal ini tetap dipegang teguh oleh Gusti Putri
semasa hidupnya. Misalna motif Parang Barong Kesit dengan
sogan latar putih, telah dipakai Gusti Putri ketika putranya
yang sulung (Radityo almarhum) bertunangan dengan Putri Sultan
Kanoman Cirebon. Motif Ukel Naga Kukila dipakai Gusti Putri
ketika ada reuni van Deventer School, sekolah wanita zaman
Belanda, tempat putri priayi biasa bersekolah.
Gusti Putri memang tokoh yang belum ada gantinya di lingkungan
Mangkunegaran. Ketika gadis ia pandai menari serimpi Putri Cina
dan telah menciptakan tari serimpi Mandrarini dan serimpi
Mandrakusuma. Almarhumah yang tetap cinta pada hal-hal yang
tradisional tetapi dapat mengikuti arus zaman, adalah
satu-satunya putri keraton yang berani berdansa dengan tetap
mengenakan kain kebaya. Dia pula yang mempopulerkan kebaya
panjang Sumatera, baju kurung pendek atau panjang, kain batik
tanpa viru bagi wanita-wanita Jawa yang biasa berkain kebaya
secara tradisional.
Gusti Putri bukan saja sebagai anggota, tetapi "juga sebagai
penyumbang terbesar kain batik dan juga pendiri Wastraprema
ini," kata Nyonya Herawati Diah yang menjadi ketua himpunan.
Koleksi pribadi almarhumah cukup banyak. Tetapi ia juga senang
memberi hadiah batik baik berupa tanda persahabatan atau tamba
mari (penyenang) kepada siapa saja.
Museum Tekstil sendiri telah menerima tidak kurang dari 25
potong kain batik tradisional. Antara lain ikat kepala dan
taplak meja batik dengan kaligrafi Arab. Singa Pedang,
umbul-umbul batik tulis dari katun primisima juga berkaligrafi
Arab. Koleksi berkaligrafi Arab ini kabarnya berasal dari Sultan
Sepuh Cirebon yang menghadiahkannya kepada Mangkunegara VII.
Batik Indonesia, sejak abad VII telah mengalami pasang-surut. Di
zaman dulu, selembar batik adalah karya seni yang sering berisi
falsafah hidup orang Jawa. Kini, setelah batik begitu
fashionable, unsur seni lebih didesak oleh kebutuhan sebagal
pakaian atau alat pelengkap rumahtangga. Dulu, motif parang
hanyaboleh dikenakan kaum bangsawan saja. Pemakaiannya pun hanya
pada upacaraupacara yang dianggap penting. Tetapi kini, motif
parang bisa juga digantung sebagai kain tirai atau serbet.
Nyonya Tien Suharto yang membuka resmi pameran ini, telah
memegang canting dan membubuhkan tanda-tangannya di selembar
kain yang bertuliskan "Suruding Gusti sedyo pitutur terusing
ati. Ngesti ambuko roso adi. Pamoring busono, tinoto
rasaningwarni." Artinya: Wafatnya Gusti Putri mewariskan amanat
yang menembus hati, agar tergugahlah rasa keindahan yang
menjelma dalam keselarasan tata warna busana".
Gedung kuno yang berubin indah dan kini dijadikan museum tekstil
ini diresmikan Juni 1976. Sumbangan batik-batik koleksi Gusti
Putri tentu menambah isi museum yang nyaris kosong. "Kami tidak
punya uang," kata salah seorang pengurus museum yang tak mau
disebut namanya. Untuk pameran ini, "kami harus lari ke sana ke
mari, untuk pinjam lampu, karpet, gawangan," kata Iwan Tirta
anggota Wastraprema. Gawangan adalah gantungan kayu untuk
menyampirkan kain yang akan dibatik. Anggota Wastraprema sendiri
banyak yang membantu membersihkan museum ini -- terutama kalau
ada pameran -- secara sukarela. Untuk menjadi anggota
Wastraprema terbuka bagi siapa saja. Syaratnya: asal anda punya
kain antik dari seluruh daerah Indonesia satu saja, disumbangkan
ke Wastraprema. Dan jadilah anggota perkumpulan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini