SEJUMLAH konsep tentang lembaga kemahasiswaan sekarang
bermunculan -- dari pihak mahasiswa sendiri. Yang mutakhir,
Dengan Pikiran Bening Mengamati NKK (BPBM), hasil rumusan
sejumlah mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta
termasuk Universitas Gajah Mada, IKIP Negeri Yogyakarta dan IKIP
Sanata Dharma.
Konsep tersebut Senin pekan lalu dibagikan kepada rekan-rekan
mereka, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lain kota yang
hadir dalam sidang DPR-RI -- merupakan sidang lanjutan tentang
usul interpelasi sebagian anggota DPR tentang 'Normalisasi
Kehidupan Kampus'.
Sebenarnya mahasiswa bukan baru kali ini berusaha menyusun
konsep lembaga mereka sendiri. Ketika dewan mahasiswa dibekukan,
kemudian turun SK Menteri P&K tentang NKK, April 1978, sejak itu
mahasiswa sudah mencoba membikin.
Hanya agaknya usaha mereka tersebut terbenam dalam instruksi dan
keputusan pemerintah. Mula-mula instruksi Dirjen Pendidikan
Tinggi 17 Mei 1978, yang memberi petunjuk pokok-pokok
pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan. Dan yang
merupakan gongnya, yang agaknya sangat memukul anak-anak kampus
itu, tak lain keputusan Menteri P&K 24 Februari 1979 -- yang
isinya hanya membenarkan satu lembaga yang disebut Badan
Koordinasi Kemahasiswaan.
Mahasiswa sendiri sebelumnya telah herusaha mengirim konsep
mereka kepada pemerintah. ITB misalnya, yangakhir Juni 1978
sudah berhasil menyusunnya, mengirimkan konsep itu menurut
mahasiswa Lilik Sudirahardjo kepada TEMPO -- kepada Menmud Abdul
Gafur dan Dirjen Pendidikan Tinggi. Tapi dikatakan tak ada
tanggapan apapun.
Dan ketika mahasiswa mulai ramai lagi membicarakan NKK/BKK,
November 1979 yang lalu, mereka tak lagi mencoba adu konsep.
Langsung protes. Itulah yang kemudian memberi kesan bahwa para
pemuda itu hanya bisa teriak. Tapi lihatlah. Sekarang mereka
menyetensil konsep itu - dan menyerahkannya ke DPR.
Membaca beberapa dasar pemikiran yang tertuang, misalnya dari
konsep ITB, mahasiswa perguruan tinggi di Yogya, dan UGM,
keberatan utama mereka terhadap BKK pada dasarnya sama campur
tangan staf pengajar pada badan itu. Dengan judul Kesalahan
Struktural dalam BKK (ITB), pendapat itu antara lain dituangkan
dalam kalimat: " . . . setelah organisasi kemahasiswaan
didudukkan sebagai aparat rektor, fungsi mahasiswa dalam BKK
sendiri hanya sebagai pembantu Sekum (sekretaris umum red) BKK,
tanpa kewenangan apapun."
Kesan itu memang wajar. Bahkan senat mahasiswa di tingkat
fakultas misalnya, yang tak langsung dipimpin staf pengajar,
dalam BKK diharuskan berlanggungjawab kepada dekan padahal
formatur yang membentuknya dipilih oleh Badan Permusyawaratan
Mahasiswa dan bukan oleh fakultas. Dalam banyak hal seperti
disebut dalam konsep UGM, terasa "tak adanya kehidupan
demokratis dalam proses pengambilan keputusan." Di samping itu,
"NKK menjadi tidak mendewasakan mahasiswa dalam pendidikan
non-formal." Padahal seperti disebut dalam konsep mahasiswa
Yogya (bedakan dari yang UGM), untuk tujuan antara lain
kepercayaan diri sendiri dan kemampuan, yang diharapkan ialah
"agar mahasiswa sebagai manusia tidak hanya dibimbing"
semata-mata.
Singkat kata, mahasiswa menghendaki lembaga kemahasiswaan
dipercayakan kepada mereka sendiri. Aparat rektor atau staf
pengajar, menurut konsep UGM, diberi kesempatan pada yang
disebutnya Badan Musyawarah Universitas -- berfungsi sebagai
forum musyawarah "untuk koordinasi ideal yang berupa konsensus
universitas. "Yang menarik ialah bahwa tuntutan "kebebasan" itu,
seperti ditunjukkan oleh konsep para mahasiswa Yogya, tidak
semutlak keadaan sebelum masa NKK. Mereka mencantumkan bahwa
"rektor (kali ini red) berhak membatalkan/menganulir keputusan,
kebijakan dan tindakan-tindakan BKK." (Konsep ini mempertahankan
nama BKK bagi lembaga kemahasiswaan tingkat universitas).
Jadinya konsep ini bertentangan dengan dasar pemikirannya,
kepercayaan kepada diri sendiri, artinya adanya tanggungjawab
mahasiswa, lantas tak berarti. Ini seperti sebuah konsesi.
Yang juga menarik, dari konsep ITB, ialah saran dibentuknya
Lembaga Pemeriksa Keuangan. Dalam konsep UGM hal itu sepenuhnya
diserahkan kepada lembaga tertinggi mahasiswa yang disebut Badan
Musyawarah Mahasiswa itu. Sedang dalam konsep mahasiswa Yogya
tak jelas tercantum lembaga mana yang wajib mengawasi BKK.
Masalahnya sekarang: adakah pemerintah, dalam hal ini Departemen
P&K, bersedia menimbang gagasan mahasiswa itu semua? Melihat
kenyataan di Universitas Hasanuddin misalnya (yang dalam BKK-nya
hanya ketua dan sekretarisnya saja berasal dari staf pengajar),
agaknya BKK memang perlu modifikasi. Rektor Unhas, Prof. Dr.
Amiruddin, ketika menghadiri Dies Natalis ke-15 IKIP Ujung
Pandang, 9 Januari yang lalu, tentang hal itu mengatakan kepada
TEMPO: itu tidak dilarang dalam konsep BKK. Meskipun yang
dikehendaki para mahasiswa itu kelihatan lebih jauh dari model
BKK Unhas.
Mungkinkah dalam Rapat Kerja Rektor Perguruan Tinggi Negeri
seluruh Indonesia Februari nanti penyempurnaan akan
dibicarakan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini