Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bukan buku pelajaran

Soal pendidikan panca agama muncul lagi, menteri h. alamsyah memberikan komentar. menurut penulisnya yusuf a. puar buku itu hanya untuk bacaan bukan untuk pelajaran di sekolah. (pdk)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK ada kewajiban bagi orang yang telah memeluk satu agama untuk mempelajari agama lain. Itu komentar Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Perwiranegara tentang pendidikan Panca Agama yang dikutip harian Merdeka, Jakarta, awal Januari lalu. Gara-gara itu, Panca Agama dibicarakan lagi. Bahkan Dep P & K yang dituduh sebagai konseptor pendidikan PA tersebut, terpaksa mengeluarkan keterangan pers. "Menteri P & K, sama sekali tidak pernah mempunyai pemikiran, konsepsi maupun rencana untuk memberikan pelajaran 'Panca Agama' kepada para siswa di sekolah-sekolah." Soal itu sebenarnya sudah muncul pada rapat kerja Menteri P & K dengan Komisi IX DPR, Juni tahun lalu. Waktu itu seorang anggota Komisi menanyakan kebenaran kabar adanya pelajaran Panca Agama di beberapa sekolah. Sebagian orang malahan menganggap Dep. P&K akan mengubah pendidikan agama di sekolah (dari SD sampai perguruan tinggi) dengan PA, demikian kabar itu. Padahal yang sedang diolah P&K hanya pendidikan agama di perguruan tinggi. Itu dikerjakan oleh Konsorsium Antar Bidang -- satu konsorsium di bawah Ditjen Pendidikan Tinggi -- yang diketuai Dr. Harsya Bachtiar, sejak 1977. Dan sama sekali tak disebut-sebut istilah Panca Agama (TEMPO, 1 September 1979). Tapi dari manakah istilah PA muncul di DPR? Agaknya sebuah buku terbitan Pustaka Antara PT, Jakarta, 1977, berjudul Panca Agama di Indonesia, buah kalam Yusuf Abdullah Puar. Buku ini pernah dikabarkan diajarkan di sekolah-sekolah. Menurut H.M. Joesoef Ahmad, Direktur Pustaka Antara, memang ada pesanan dari Sub-Proyek Pengadaan luku bagi Remaja dan Pemuda, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah P & K sebanyak 8.350 eksemplar, tertanggal 23 Mei 1979. Tapi kemudian ditangguhkan -- entah apa pasalnya. Hanya saja sub-proyek tersebut memang tidak mengadakan buku untuk pelajaran, melainkan karya bacaan. Penulis buku itu sendiri merasa heran, mengapa timbul kericuhan. "Waktu saya menulis buku itu, saya anggap menulis sebuah disertasi," katanya kepada TEMPO pekan lalu di rumahnya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta. "Buku itu maksudnya hanya untuk bacaan nggak ada hubungannya dengan pelajaran agama di sekolah," sambungnya. Itulah mengapa ia tak merasa perlu minta izin Dep P & K. Diceritakannya pula, terbitnya buku tersebut 100% sepengetahuan Dep. Agama. Jelasnya lewat kelima Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Dia sendiri menyerahkan konsep dasarnya, dengan masing-masing agama mendapat porsi sama -- sekitar 40 halaman folio langsung kepada kelima Dirjen tersebut. Oleh masing-masing Dirjen didiskusikan. Ini terjadi sekitar akhir 1976." Corat-coret Dari Ditjen Bimas Islam waktu itu tak ada persoalan. "Apalagi yang harus kami rombak? Bapak sendiri mungkin lebih tahu dari pada kami," begitu Yusuf Puar, 63 tahun, menirukan Drs. Kafrawi, Dirjen Bimas Islam waktu itu. Juga dari pihak Protestan. "Mereka hanya corat-coret sedikit," tutur bekas Pemimpln Redaksi majalah Panji Masyarakat, Gema Islam dan yang terakhir Harian Abadi itu. Dari pihak Katolik ada keberatan. Kepustakaan yang dipakai Yusuf kebanyakan "buku Barat". Sedang edisi baru dari Perjanjian Baru tak dipakainya. "Karena waktu itu setahu saya masih dipakai Alkitab." Tapi setelah beberapa kali diskusi dan naskah diperbaiki, akhirnya Ditjen Katolik Ig. Djoko Moeljono menyetujuinya. Adapun dari Bimas Hindu dan Budha, ada petunjuk atau permintaan. Yakni agar penulisan agama Hindu ditekankan pada Hindu-Bali yakni Hindu yang riil syah di Indonesia, dan bukan di India. Sedang pemakaian kepustakaan Barat juga menjadi keberatan kedua agama itu. Untuk Hindu 8 Budha itulah Yusuf Puar terpaksa merombak hampir separuh tulisannya sebeluln akhirnya disetujui Gde Pudja SH. dan Drs. Oka Diputhera. Walhasil buku itu "lulus": sebagai orang Islam, sejauh itu Yusuf dianggap sudah benar dalam menulis agama-agama lain. Dan memang lulusan Madrasah Tawalib Islam Medan ini setelah masuk sekolah Belanda (MULO, Medan), memang tergerak mempelajari berbagai agama. Adapun hasrat menulis tentang Panca Agama, menurut pengakuannya, karena ia beranggapan "setiap warga Indonesia harus mempunyai dan mengamalkan satu agama." Di samping itu, "dianjurkan perlu pula mengetahui dasar-dasar agama lainnya." Mukti Ali Tujuannya sedikit-banyak memang ada. "Itu saya pikir dasar paling ringkas untuk toleransi kehidupan beragama," katanya dengan yakin. "Kerukunan agama lebih cepat dicapai kalau kita mengerti pula empat agama yang lain." Yusuf Puar sendiri sudah suka menulis sejak 1939. Sekitar sepuluh judul bukunya ( tentang berbagai hal, dari pengetahuan bernegara, soal bahasa Indonesia hingga tentang Ayatullah Khomeini) telah diterbitkan Pustak Antara. "Dengan direkturnya memang saya kenal baik. Sama-sama perantau," katanya. Ia mendapat kepercayaan dari Pustaka Antara, kecuali karena persahabatan, juga kemudian karena sebuah bukunya, Peristiwa Lubang Buaya, sangat laris dan Yusuf mendapat honorarium Rp 2 juta. Menurut pengakuan pensiunan Kepala Penerangan Dalam Negeri Dep. Penerangan ini, ia mendapat honorarium 20% dari harga jual penerbitnya. "Tapi oleh Pak Joesoef (Direktur Pustaka Antara) kalau saya butuh uang boleh sewaktu-waktu mengambilnya. Tak usah menunggu buku terjual dahulu," ceritanya. "Yah, mengandalkan pensiun yang Rp 60 ribu itu mana cukup untuk membiayai kuliah anak bungsu saya yang di ITB," tuturnya pula. "Baru-baru ini Dep P & K minta 15 eksemplar buku Panca Agama itu. Mungkin untuk dipelajari," kata bapak dari 8 anak ini. Menurut ceritanya, Menteri Agama waktu itu, Mukti Ali juga sempat membaca naskah bukunya. Menteri menyatakan setuju, sembari kagum, bahwa Yusuf berhasil menembus kelima Dirjen Bimas-nya. Maklum Yusuf sendiri katanya tak kurang dari 20 kali mondar-mandir ke gedung Departemen itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus