TIDAK ada kewajiban bagi orang yang telah memeluk satu agama
untuk mempelajari agama lain. Itu komentar Menteri Agama H.
Alamsyah Ratu Perwiranegara tentang pendidikan Panca Agama yang
dikutip harian Merdeka, Jakarta, awal Januari lalu. Gara-gara
itu, Panca Agama dibicarakan lagi. Bahkan Dep P & K yang dituduh
sebagai konseptor pendidikan PA tersebut, terpaksa mengeluarkan
keterangan pers. "Menteri P & K, sama sekali tidak pernah
mempunyai pemikiran, konsepsi maupun rencana untuk memberikan
pelajaran 'Panca Agama' kepada para siswa di sekolah-sekolah."
Soal itu sebenarnya sudah muncul pada rapat kerja Menteri P & K
dengan Komisi IX DPR, Juni tahun lalu. Waktu itu seorang
anggota Komisi menanyakan kebenaran kabar adanya pelajaran
Panca Agama di beberapa sekolah. Sebagian orang malahan
menganggap Dep. P&K akan mengubah pendidikan agama di sekolah
(dari SD sampai perguruan tinggi) dengan PA, demikian kabar itu.
Padahal yang sedang diolah P&K hanya pendidikan agama di
perguruan tinggi. Itu dikerjakan oleh Konsorsium Antar Bidang --
satu konsorsium di bawah Ditjen Pendidikan Tinggi -- yang
diketuai Dr. Harsya Bachtiar, sejak 1977. Dan sama sekali tak
disebut-sebut istilah Panca Agama (TEMPO, 1 September 1979).
Tapi dari manakah istilah PA muncul di DPR? Agaknya sebuah buku
terbitan Pustaka Antara PT, Jakarta, 1977, berjudul Panca Agama
di Indonesia, buah kalam Yusuf Abdullah Puar. Buku ini pernah
dikabarkan diajarkan di sekolah-sekolah. Menurut H.M. Joesoef
Ahmad, Direktur Pustaka Antara, memang ada pesanan dari
Sub-Proyek Pengadaan luku bagi Remaja dan Pemuda, Ditjen
Pendidikan Dasar dan Menengah P & K sebanyak 8.350 eksemplar,
tertanggal 23 Mei 1979. Tapi kemudian ditangguhkan -- entah apa
pasalnya. Hanya saja sub-proyek tersebut memang tidak mengadakan
buku untuk pelajaran, melainkan karya bacaan.
Penulis buku itu sendiri merasa heran, mengapa timbul kericuhan.
"Waktu saya menulis buku itu, saya anggap menulis sebuah
disertasi," katanya kepada TEMPO pekan lalu di rumahnya di
bilangan Kebayoran Baru, Jakarta. "Buku itu maksudnya hanya
untuk bacaan nggak ada hubungannya dengan pelajaran agama di
sekolah," sambungnya. Itulah mengapa ia tak merasa perlu minta
izin Dep P & K.
Diceritakannya pula, terbitnya buku tersebut 100% sepengetahuan
Dep. Agama. Jelasnya lewat kelima Dirjen Bimbingan Masyarakat
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Dia sendiri
menyerahkan konsep dasarnya, dengan masing-masing agama mendapat
porsi sama -- sekitar 40 halaman folio langsung kepada kelima
Dirjen tersebut. Oleh masing-masing Dirjen didiskusikan. Ini
terjadi sekitar akhir 1976."
Corat-coret
Dari Ditjen Bimas Islam waktu itu tak ada persoalan. "Apalagi
yang harus kami rombak? Bapak sendiri mungkin lebih tahu dari
pada kami," begitu Yusuf Puar, 63 tahun, menirukan Drs. Kafrawi,
Dirjen Bimas Islam waktu itu. Juga dari pihak Protestan. "Mereka
hanya corat-coret sedikit," tutur bekas Pemimpln Redaksi majalah
Panji Masyarakat, Gema Islam dan yang terakhir Harian Abadi
itu.
Dari pihak Katolik ada keberatan. Kepustakaan yang dipakai Yusuf
kebanyakan "buku Barat". Sedang edisi baru dari Perjanjian Baru
tak dipakainya. "Karena waktu itu setahu saya masih dipakai
Alkitab." Tapi setelah beberapa kali diskusi dan naskah
diperbaiki, akhirnya Ditjen Katolik Ig. Djoko Moeljono
menyetujuinya.
Adapun dari Bimas Hindu dan Budha, ada petunjuk atau permintaan.
Yakni agar penulisan agama Hindu ditekankan pada Hindu-Bali
yakni Hindu yang riil syah di Indonesia, dan bukan di India.
Sedang pemakaian kepustakaan Barat juga menjadi keberatan kedua
agama itu. Untuk Hindu 8 Budha itulah Yusuf Puar terpaksa
merombak hampir separuh tulisannya sebeluln akhirnya disetujui
Gde Pudja SH. dan Drs. Oka Diputhera.
Walhasil buku itu "lulus": sebagai orang Islam, sejauh itu Yusuf
dianggap sudah benar dalam menulis agama-agama lain. Dan memang
lulusan Madrasah Tawalib Islam Medan ini setelah masuk sekolah
Belanda (MULO, Medan), memang tergerak mempelajari berbagai
agama. Adapun hasrat menulis tentang Panca Agama, menurut
pengakuannya, karena ia beranggapan "setiap warga Indonesia
harus mempunyai dan mengamalkan satu agama." Di samping itu,
"dianjurkan perlu pula mengetahui dasar-dasar agama lainnya."
Mukti Ali
Tujuannya sedikit-banyak memang ada. "Itu saya pikir dasar
paling ringkas untuk toleransi kehidupan beragama," katanya
dengan yakin. "Kerukunan agama lebih cepat dicapai kalau kita
mengerti pula empat agama yang lain."
Yusuf Puar sendiri sudah suka menulis sejak 1939. Sekitar
sepuluh judul bukunya ( tentang berbagai hal, dari pengetahuan
bernegara, soal bahasa Indonesia hingga tentang Ayatullah
Khomeini) telah diterbitkan Pustak Antara. "Dengan direkturnya
memang saya kenal baik. Sama-sama perantau," katanya. Ia
mendapat kepercayaan dari Pustaka Antara, kecuali karena
persahabatan, juga kemudian karena sebuah bukunya, Peristiwa
Lubang Buaya, sangat laris dan Yusuf mendapat honorarium Rp 2
juta.
Menurut pengakuan pensiunan Kepala Penerangan Dalam Negeri Dep.
Penerangan ini, ia mendapat honorarium 20% dari harga jual
penerbitnya. "Tapi oleh Pak Joesoef (Direktur Pustaka Antara)
kalau saya butuh uang boleh sewaktu-waktu mengambilnya. Tak usah
menunggu buku terjual dahulu," ceritanya. "Yah, mengandalkan
pensiun yang Rp 60 ribu itu mana cukup untuk membiayai kuliah
anak bungsu saya yang di ITB," tuturnya pula.
"Baru-baru ini Dep P & K minta 15 eksemplar buku Panca Agama
itu. Mungkin untuk dipelajari," kata bapak dari 8 anak ini.
Menurut ceritanya, Menteri Agama waktu itu, Mukti Ali juga
sempat membaca naskah bukunya. Menteri menyatakan setuju,
sembari kagum, bahwa Yusuf berhasil menembus kelima Dirjen
Bimas-nya. Maklum Yusuf sendiri katanya tak kurang dari 20 kali
mondar-mandir ke gedung Departemen itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini