Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tangisan Penebus Dosa

Ia berada di balik sejumlah pengeboman besar di Tanah Air. Merangkul mantan kombatan dalam satu yayasan untuk melawan terorisme.

26 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kalangan anggota Jamaah Islamiyah, Ali Fauzi Mazin dikenal sebagai perakit sekaligus mentor meracik bom yang ulung. Ia pernah menjadi Kepala Instruktur Perakitan Bom Jamaah Islamiyah Wilayah Jawa Timur.

Sejumlah anak didiknya menjadi pelaku pengeboman Hotel JW Marriott di Mega Kuningan, Jakarta, yang menewaskan 14 orang dan melukai 156 orang, pada Juni 2003. Setahun kemudian, satu anak didiknya, Heri Kurniawan, meledakkan diri dengan bom mobil Daihatsu Minivan di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta. Sembilan orang tewas dan 161 korban terluka. "Saya bisa membuat bom hanya dengan bumbu dapur," katanya.

Bagi adik lain ibu dari Amrozi dan Ali Gufron alias Mukhlas--tokoh utama pengebom Bali yang dihukum mati pada 2008--ini, merakit bom lebih mudah ketimbang membuat layang-layang. Kemahirannya itu ia peroleh saat belajar di akademi militer Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Mindanao, Filipina, selama tiga tahun sejak 1996.

Karena keahliannya itu, setahun setelah masuk akademi, ia direkrut menjadi anggota pasukan elite MILF sebagai ahli bom. Tahun berikutnya, Ali kembali ke Indonesia dan dipercaya sebagai kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah Jawa Timur. Sejak itu kiprahnya dimulai dalam sejumlah pengeboman di Tanah Air. "Saya mau jihad supaya kalau mati dijemput 70 bidadari," ujar Ali.

Belakangan, ia menyesali perbuatannya. Terutama setelah tahu korban bom hasil rakitannya atau yang diledakkan para muridnya lebih banyak membunuh orang Indonesia ketimbang orang asing yang menjadi target utamanya. Untuk menebus rasa bersalahnya, ayah lima anak kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 15 November 1971, ini rutin mengunjungi mereka untuk meminta maaf. "Saya sudah bertemu dengan ratusan korban bom," kata Ali ketika ditemui Tempo di rumahnya di Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan, dua pekan lalu.

Korban bom yang ia temui antara lain Ni Luh Erniati di Bali dan Iwan Setiawan di Depok, Jawa Barat. Ni Luh kehilangan suaminya, Gede Badrawan, karena menjadi korban bom Bali 2002. Sedangkan Iwan Setiawan harus kehilangan mata kiri dan sang istri, Halilah Seroja Daulay, karena ledakan di depan Kedutaan Besar Australia. "Di depan mereka, saya menangis," ujar Ali.

Setelah bertemu dengan para korban bom tersebut, Ali semakin yakin untuk meninggalkan dunia kelamnya. Belakangan, ia aktif menjadi anggota Aliansi Damai Indonesia, yang menyuarakan perbaikan hak-hak korban aksi bom di Tanah Air. Salah satu korban bom, Iwan Setiawan, mengatakan sudah memaafkan kesalahan Ali dan menganggapnya kini sebagai sahabat. "Dia meminta maaf dan menangis di depan saya," katanya. "Saya anggap dia tulus."

Titik balik kehidupan Ali sesungguhnya dimulai pada 2006. Saat itu ia dipulangkan ke Indonesia setelah dua tahun ditahan di penjara Cotabato oleh Polisi Nasional Filipina. Ketika itu ia menderita patah tulang dan kerap muntah darah akibat sering mendapat siksaan selama menghuni penjara Cotabato. Dalam keadaan sakit itu, ia mendapat perawatan yang baik dari tim kesehatan Markas Besar Kepolisian RI. "Saya awalnya berpikir, kalau balik ke Indonesia, akan disiksa habis-habisan. Ternyata saya diperlakukan dengan baik," katanya. "Saat itu hati saya mulai tersentuh."

Ali mulai berpikir tobat setelah kerap ditunjukkan foto dan video korban bom di Tanah Air oleh tim Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri selama dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Setahun setelah keluar dari rumah sakit, ia kembali ke kampung halamannya. Di sana ia menerima dan mengurus jenazah Amrozi dan Mukhlas--pelaku utama bom Bali--yang dieksekusi mati pada 2008. Ia yang menjemput jenazah keduanya menggunakan helikopter polisi, memandikan, sampai menguburkannya. "Itu kejadian terberat dalam hidup saya," katanya.

Setelah kematian dua kakaknya itu, Ali memilih menyibukkan diri dengan melanjutkan kuliah di Malaysia. Ia kembali ke Tanah Air pada 2011 dan langsung kuliah di Magister Studi Islam Universitas Muhamadiyah Surabaya. Setelah lulus, ia benar-benar meninggalkan dunia lamanya dan banyak membantu program deradikalisasi BNPT. Selain menceritakan pengalaman pahitnya menjadi kombatan, Ali banyak menyuarakan bahaya terorisme dalam pelbagai forum.

Bukan hanya itu, ia aktif membantu polisi mengungkap sel-sel teroris yang masih aktif. Ali menyadari pilihannya seperti jalan pedang, yang penuh rintangan dan tantangan. "Saya tahu ini berisiko tinggi. Kematian akan datang kapan saja. Tapi saya sudah siap,' katanya.

Perlawanan Ali terhadap terorisme tidak hanya dilakukan bersama BNPT dan polisi. Ia juga merangkul keluarga terpidana teroris dan puluhan mantan kombatan. Dengan penghasilannya sebagai dosen di Lamongan, hasil usaha peternakan burung perkutut, dan honor undangan seminar, Ali juga ikut membantu membiayai istri dan anak keluarga terpidana teroris yang dipenjara dan yang sudah dieksekusi mati, termasuk istri dan anak Amrozi, Mukhlas, serta Ali Imron, kakaknya yang masih di dalam penjara.

"Khusus narapidana yang baru keluar, saya bantu semampu saya. Kalau tidak ada kerja, saya titipkan ke teman pengusaha ayam atau besi," katanya. "Yang penting tidak menganggur, supaya tidak kembali menjadi teroris."

Karena semakin banyak yang meminta bantuan kepadanya, Ali mengajukan proposal kepada BNPT untuk mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian sebagai wadah mantan teroris memperbaiki diri. Yayasan ini juga menjadi tempat belajar anak dan istri mereka agar ikut mencegah berkembangnya kembali paham radikal di keluarga mereka. Pada akhir 2016, Kepala BNPT Suhardi Alius menyambut baik usul itu. Dengan donasi dari pengusaha, BNPT menyalurkan dana kepada Ali untuk mendirikan yayasan tersebut.

Agus Martin alias Hasan, 37 tahun, terpidana kepemilikan senjata api di Bekasi, mengaku banyak ditolong oleh Ali Fauzi. Setelah menjalani hukuman tiga tahun di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta, pada 2016, ia kembali ke Lamongan. "Saya banyak dibantu pekerjaan dan motivasi hidup oleh Ali Fauzi," kata Agus, yang kini ikut aktif di Yayasan Lingkar Perdamaian.

Pada akhir Maret lalu, Suhardi Alius mendatangi kampung Ali untuk melakukan peletakan batu pertama pembangunan masjid dan taman pendidikan Al-Quran. Acara ini merupakan bagian dari peluncuran Yayasan Lingkar Perdamaian. Sedikitnya 30 mantan kombatan hadir dalam acara itu. Sampai pekan lalu, sudah 70 mantan teroris bergabung dengan yayasan ini. "Intinya, ini komunitas baru agar mereka tak kembali ke komunitas lamanya," ujar Ali.


Perlawanan Ali terhadap terorisme tidak hanya dilakukan bersama BNPT dan polisi. Ia juga merangkul keluarga terpidana teroris dan puluhan mantan kombatan. Dengan penghasilannya sebagai dosen di Lamongan, hasil usaha peternakan burung perkutut, dan honor undangan seminar, Ali juga ikut membantu membiayai istri dan anak keluarga terpidana teroris yang dipenjara dan yang sudah dieksekusi mati, termasuk istri dan anak Amrozi, Mukhlas, serta Ali Imron, kakaknya yang masih di dalam penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus