Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Titik Balik Peracik Bom Bali

Dalam pelarian, ia menyadari telah keliru menempuh jalan kekerasan untuk menegakkan syariat Islam. Menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

26 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada yang tak tahu Ali Imron. Pernah berlatih cara meramu bom dan strategi perang di Afganistan pada 1991-1996, ia salah satu pengebom Paddy's Pub, Sari Club, dan Konsulat Amerika Serikat di Denpasar pada 12 Oktober 2002. Sebanyak 202 orang tewas dan 209 terluka akibat bom di dua klub terkenal di Bali itu--jumlah korban bom terbanyak dalam kekejian terorisme di Indonesia.

Ali kini menghuni rumah tahanan khusus terpidana narkotik di lantai dua penjara Kepolisian Daerah Metro Jaya. Di sel berukuran 3 x 4 meter itu, ia tinggal bersama Utomo Pamungkas alias Mubarok, juga terpidana seumur hidup bom Bali I. Setiap Rabu sore, ia mengisi pengajian untuk sesama narapidana terorisme dan melarang mereka mengikuti caranya menempuh jalan kekerasan. "Itu jihad yang salah," katanya pada Jumat pekan lalu.

Ali dihukum seumur hidup. Sedangkan dua kakaknya, Ali Gufron alias Mukhlas dan Amrozi, serta Imam Samudra--tokoh utama pengebom Bali--dihukum mati pada 2008. Kepada para penjenguknya yang masih mengagungkan terorisme, Ali Imron menasihati agar mereka menyetop pandangan itu.

Jika setelah mengobrol mereka masih ngeyel, Ali menantang meledakkan diri dengan bom. "Kalau berani, aku buatkan bom. Kepingin sebesar apa?" ujarnya. Ditantang seperti itu, kata dia, biasanya lawan bicaranya langsung membisu.

Ali Imron mengaku menyesal telah mengebom Bali. Sebelum masuk penjara, ia menyadari perbuatannya itu keliru. Ia mengatakan sebenarnya ragu bahwa pengeboman di Bali adalah jihad. "Saya ragu-ragu, tapi karena ingin mendapat pahala, akhirnya ikut terus," ucap lelaki kelahiran 1970 ini.

Sebelum pengeboman, ia mempertanyakan rencana tersebut kepada Mukhlas, abangnya, yang lebih tua 10 tahun. "Kata Mukhlas, ini perintah dari Syekh Usamah bin Ladin," ujarnya. Jamaah Islamiyah tempat Mukhlas dan Ali Imron bernaung berafiliasi dengan Al-Qaidah yang dipimpin Usamah. Mukhlas adalah alumnus Afganistan sebelum Ali Imron dan pernah bertemu dengan Usamah di sana.

Mukhlas pula yang memberangkatkan Ali Imron ke Afganistan pada 1991. Waktu itu, Mukhlas bermukim di Johor, Malaysia, dan mengurus Madrasah Luqmanul Hakim yang didirikan Abdullah Sungkar, aktivis Darul Islam yang pada 1985 lari ke Malaysia dan pada 1993 mendirikan Jamaah Islamiyah. Jauh sebelumnya, menurut Ali Imron, Mukhlas pula yang memperkenalkannya dengan jalan radikal.

Saat itu, Ali Imron masih duduk di kelas V sekolah dasar dan Mukhlas nyantri di Pesantren Ngruki, Solo. Saat pulang kampung ke Lamongan, Jawa Timur, Mukhlas mencuci pikiran Ali Imron dengan ide-ide "NKRI kafir, Pancasila salah, yang benar hanya Islam". Gara-gara itu, Ali menurunkan burung Garuda di ruang kelas karena menganggapnya berhala. "Bayangkan, kelas V SD saya sudah radikal," katanya.

Ketika bom meledak di Paddy's Pub dan Sari Club, Ali Imron sekitar satu kilometer jauhnya dari lokasi. Anehnya, menurut pria yang kerap disapa Ale ini, ketika mendengar dentuman itu, tak tebersit kegembiraan di hatinya. "Jangan bayangkan saat itu saya langsung sujud syukur," ujarnya. Penyesalan menjalar saat ia mengetahui dari berita bahwa banyak orang Indonesia yang menjadi korban dan sebagiannya beragama Islam.

Yang terjadi setelah pengeboman jauh meleset dari yang dibayangkannya di awal. Mukhlas dan Imam Samudra berencana mengebom Bali dengan tujuan membalas serangan Amerika ke Afganistan. Bali dipilih karena banyak orang asing berpelesir ke sana. "Tadinya kami berharap, setelah kejadian itu, jihadis-jihadis bangun dan melawan seperti di Afganistan," kata Ali.

Dalam pelarian setelah pengeboman tersebut, Ali teringat ungkapan bahwa bila "jihad" mereka kalah, itu berarti mereka salah. Ia merenung, lalu menyadari bahwa pengeboman itu keliru. "Kalau ingin membalas serangan Amerika, seharusnya yang diserang kapal Amerika yang bersandar di Tanjung Priok. Kenapa malah menyerang orang asing yang tidak memerangi kita?" ujarnya.

Ali lari ke Kalimantan. Lima senjata api yang selalu dibawanya di ransel ia tanggalkan sebelum menyeberang ke Sampit, Kalimantan Tengah. "Padahal, kalau saya mau, senjata itu bisa saya pakai untuk melawan polisi," katanya. Dari Sampit, ia pindah ke Banjarmasin, lalu bergeser lagi ke Samarinda. Di Pulau Brukang, di lepas pantai Samarinda, pelariannya berakhir pada 13 Januari 2003. Polisi menangkapnya.

Setelah itu, ia insaf. Dari dalam penjara, Ali kerap membantu polisi membongkar jaringan teroris setelah bom Bali I. Sebagai alumnus Afganistan dan anggota Jamaah Islamiyah, Ali memahami jeroan gerakan ini. Menurut dia, teror terakhir oleh kelompok yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah adalah pengeboman Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, pada 2009. "Teror yang terjadi belakangan ini dilakukan oleh orang-orang pro-ISIS," ujarnya.

Ali mengatakan sebenarnya Jamaah Islamiyah adalah organisasi keagamaan biasa. Sejumlah teror bom yang pernah terjadi dilakukan oleh "oknum". "Bahwa Jamaah Islamiyah mencita-citakan negara Islam, itu iya. Tapi sebagian besar anggotanya tak setuju menempuh cara kekerasan," tuturnya.

Menurut Ali, hingga kini, Jamaah Islamiyah tetap eksis, tapi dijalankan secara diam-diam. Ia tak bisa memastikan jumlah anggotanya, tapi, "Yang pulang dari Afganistan dan Filipina itu ratusan orang dan mereka semua anggota Jamaah Islamiyah." Di Afganistan, menurut Ali, mereka bergabung dengan Mujahidin, sedangkan di Filipina mereka ikut bertempur bersama orang Moro di Mindanao.

Para narapidana, kata Ali, rentan direkrut menjadi teroris. Dari pengamatannya, para tahanan itu punya pemahaman agama dan jiwa yang lemah. Mereka bisa dengan gampang direkrut jika bertemu dengan para narapidana terorisme. Maka, kepada para tahanan, ia membeberkan bahwa paham jihad yang dianut teroris itu keliru. "Tak sesuai dengan ajaran Islam," ujarnya. "Dalam Islam, bahkan perang pun ada adabnya."

Meski tak lagi setuju dengan jalan kekerasan, Ali masih mendambakan Indonesia menjadi negara Islam. "Cita-cita itu tak bisa ditawar," katanya. Tapi ia menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi. Alasannya, nilai-nilai Islam sudah terserap di sana. "Namanya juga cita-cita," ujarnya. "Kalau tak tercapai, ya, enggak apa-apa."

Ali sedang menyiapkan otobiografi kedua. Buku ini merupakan kelanjutan dari buku pertamanya, sebuah memoar berjudul Ali Imron Sang Pengebom, yang terbit pada 2007.


Para narapidana, kata Ali, rentan direkrut menjadi teroris. Dari pengamatannya, para tahanan itu punya pemahaman agama dan jiwa yang lemah. Mereka bisa dengan gampang direkrut jika bertemu dengan para narapidana terorisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus