Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBICARA di depan ratusan takmir masjid se-Samarinda, Kurnia Widodo bercerita tentang pengalamannya merakit bom. "Saya pernah merakit bom di masjid, dan orang-orang tidak tahu," katanya di Ballrom Hotel Bumi Senyiur pada pertengahan Mei lalu.
Kurnia menjadi salah satu pembicara seminar "Jaga Masjid Kita dari Pengaruh Terorisme dan Radikalisme" yang diampu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Pesertanya para pengurus masjid di ibu kota Kalimantan Timur itu. Ia mengatakan masjid acap dipakai sebagai pintu masuk sekaligus basis kekuatan gerakan teroris.
Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Hamli mengundang Kurnia menjadi pembicara utama seminar. Tujuannya agar para takmir masjid bisa langsung mendengar pengalaman dari pelaku terorisme bagaimana memanfaatkan masjid sebagai gerakan radikal. "Sehingga para takmir bisa mengenali tandanya dan mencegahnya," kata Hamli.
Kurnia adalah salah satu pentolan jaringan terorisme Cibiru, Bandung. Kelompok ini ditengarai memiliki hubungan dengan Abubakar Ba'asyir, pentolan Jamaah Anshar At-Tauhid dan Jamaah Islamiyah. Anggota kelompok ini pernah ikut pelatihan perang di Aceh Besar.
Ketika Detasemen Khusus 88 Antiteror mencokok Kurnia dan empat kawannya pada pertengahan Agustus 2010, para polisi menemukan dua buah bom berdaya ledak tinggi. Belakangan, Kurnia mengakui bom tersebut hasil racikannya. "Saya belajar membuat bom sejak mahasiswa," kata lulusan teknik kimia Institut Teknologi Bandung pada 2000 ini. Bom itu rencananya diledakkan di Sumedang, Jawa Barat.
Lelaki 43 tahun ini pertama kali bergabung dengan gerakan radikal saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Lampung. Kala itu, kakak kelasnya sering mengajak dia ikut pengajian dan meminjamkan buku tentang jihad serta konsep negara Islam. Baru belakangan dia tahu seniornya itu ikut dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII)--milisi bersenjata yang dipimpin S.M. Kartosoewirjo pada masa revolusi kemerdekaan.
Kurnia pun ikut organisasi itu karena membenci pemerintah yang ia anggap tidak adil. Ia merasa umat Islam di Indonesia sering disudutkan oleh opini masyarakat. "Saya sempat berkeyakinan bahwa pemerintah kita ini kafir," ucapnya.
Tamat SMA, Kurnia diterima di ITB pada 1992. Ia bergabung dengan NII di Bandung. Kurnia tak sejalan dengan para pendukung kelompok ini. Ia ingin NII Bandung bergerak merebut Indonesia. Karena keinginannya tidak dituruti, ia keluar dari organisasi itu. Konsep jihad yang ia yakini saat itu adalah menyerang orang kafir atau di luar kelompok mereka.
Kurnia lalu bertemu dengan anggota kelompok pengajian Masjid As-Sunnah di Cileunyi, Bandung. Ia mengatakan jemaah pengajian ini tak punya afiliasi kepada organisasi tertentu. Ustad besar jemaah ini adalah Halawi Makmun dan Aman Abdurrahman. Maman kini pemimpin Jamaah Anshar Ad-Daulah, yang menghuni penjara Nusakambangan karena terlibat pelatihan terorisme di Aceh. Pelaku bom Kampung Melayu bulan lalu adalah anggota jemaah pengajiannya.
Isi pengajian Masjid As-Sunnah tak jauh dari ajaran NII. Bedanya, para penceramah di masjid ini, menurut dia, punya konsep lebih nyata dan jelas tentang pendirian negara Islam. Rohan Gunaratna, peneliti Nanyang Technological University, Singapura, merilis temuannya pada 2015, yang menyebutkan 15 organisasi keagamaan berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok pengajian Halawi Makmun salah satunya.
Kurnia mengatakan, bersama kelompok barunya ini, ia semakin bersemangat melakukan jihad dengan jalan kekerasan. Ia sempat ikut pelatihan militer di Aceh, kemudian mulai serius belajar membuat bom. Sebagai tamatan jurusan teknik kimia, ia akrab dengan bahan baku bom.
Ketika Kurnia ditangkap, pekerjaannya adalah guru di salah satu sekolah negeri di Jawa Barat. Mengajar ilmu pengetahuan alam, ia acap menyisipkan paham radikalisme dalam pelajarannya. "Misalnya mengkafirkan orang yang bukan Islam," katanya.
Pada Juni 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Kurnia dan empat kawannya enam tahun penjara. Kurnia bebas setelah menjalani masa hukuman penjara 3 tahun 8 bulan. Ia mengajukan keringanan dengan menawarkan diri ikut dalam program deradikalisasi oleh BNPT.
Ada beberapa kejadian yang membuatnya bertobat dan berbalik tak setuju pada jalan kekerasan lewat teror bom. Salah satunya interaksi dengan sesama narapidana terorisme yang telah insaf lebih dulu. "Saya tak tersadarkan oleh keluarga," katanya. "Jangankan keluarga, kepada diri sendiri saja kami tidak peduli karena itu berani melakukan bom bunuh diri."
Kurnia bertemu dengan narapidana terorisme yang didatangkan BNPT dalam program deradikalisasi. Menolak menyebutkan mentornya, ia mengatakan mantan narapidana teroris yang bertemu dengannya acap berbicara tentang pemikiran terorisme.
Menurut Kurnia, deradikalisasi memakai mantan narapidana teroris sangat efektif dibanding pendekatan melalui keluarga dan ustad dari luar kelompok mereka. "Para mantan teroris ini tahu bagaimana pola pikir kami sehingga bisa masuk dengan mudah," ujarnya.
Di penjara Cipinang, Jakarta Timur, para narapidana teroris terbagi dua. Anak buah Noordin Muhammad Top, tokoh kunci sejumlah teror di Indonesia asal Malaysia, dan teroris Poso, Sulawesi Tengah, umumnya punya pandangan lebih moderat. Kelompok satunya lebih keras karena berbaiat kepada ISIS. "Sejak awal kami kontra-ISIS," kata Kurnia.
Keluar dari penjara Cipinang, bapak lima anak ini berjualan es untuk menyambung hidup. Dalam program deradikalisasi, ia bertemu dengan Ali Imron, Nasir Abbas, dan Ali Fauzi. Dari orang-orang ini Kurnia semakin yakin jalan terorisme itu salah.
Ia kian mantap bertobat ketika datang ke sebuah acara di Universitas Indonesia tak lama setelah keluar dari penjara. Acara itu membicarakan soal teror dengan menghadirkan para keluarga bom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta pada 2009.
Dalam acara itu, Kurnia mendengar kepedihan peserta diskusi yang menderita setelah kehilangan anggota keluarganya. "Ternyata yang telah saya lakukan salah besar," ujarnya. "Orang-orang ini tidak tahu apa-apa tapi malah jadi korban bom." Kurnia pun memutus kontak dengan jaringan lama organisasi dan jemaah pengajian yang masih aktif.
Sudah empat kali ia berceramah tentang antiterorisme yang digelar BNPT. Dalam ceramah-ceramahnya, Kurnia selalu menekankan agar masyarakat tidak mudah percaya pada satu sumber informasi. Menurut dia, bibit radikalisme mula-mula dari melabeli orang lain yang tak sejalan sebagai kafir karena informasi yang terbatas.
Pemahaman yang cupet dan kurangnya informasi itu akan membuat seseorang menjadi pendakwah dadakan. "Kalau mendapat informasi, cek ke sumber lain, terutama kepada ustad yang punya wawasan luas," katanya.
Menurut Kurnia, deradikalisasi memakai mantan narapidana teroris sangat efektif dibanding pendekatan melalui keluarga dan ustad dari luar kelompok mereka. "Para mantan teroris ini tahu bagaimana pola pikir kami sehingga bisa masuk dengan mudah," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo