Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA meminta namanya disamarkan karena sedang menyadarkan para simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Alasan lain: tetangga barunya di Sukabumi, Jawa Barat, tak ada yang tahu masa lalunya yang gelap sebagai narapidana terorisme. Maka sebut saja ia Zaenuddin Rasyid.
Tempo menemuinya di sebuah rumah makan di Sukabumi pada Sabtu pekan lalu. Sebelum memulai percakapan, ia menyapukan pandangan ke seluruh ruangan dan memilih duduk di pojok menghadap ke pintu. Ia menenggelamkan wajahnya di balik topi. Ia baru melepas penutup kepala itu setelah berbincang agak lama.
Zaenuddin menolak wawancara di rumahnya, di sebuah kompleks kecil di Sukabumi. Sore itu, di rumahnya sedang ada acara buka puasa murid-murid istrinya di sebuah sekolah. Zaenuddin tak nyaman membicarakan masa lalu di depan banyak orang. "Enggak enak, nanti ada yang mendengar," katanya.
Zaenuddin adalah narapidana terorisme pelatihan militer di Pegunungan Jalin, Aceh Besar, pada 2010. Dia divonis 7 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada pertengahan 2014, laki-laki asal Pandeglang, Banten, tersebut bebas bersyarat.
Keterlibatannya dalam jaringan teroris berawal saat ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Mathla'ul Anwar, Banten. Ia aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam. Kepiawaiannya berbicara dan meyakinkan orang membuat dia kerap ditugasi merekrut anggota baru.
Konflik rasial di Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon pada 1999 meluaskan pergaulan Zaenuddin. Seorang kawannya dari Ambon bercerita bagaimana konflik tersebut dalam sudut pandang kelompok Islam. Mereka pun meminta bantuan penduduk luar Ambon selama konflik, seperti obat-obatan. Zaenuddin dan kawan-kawannya juga sempat membawa sejumlah anak Ambon ke Pandeglang untuk dirawat dan dibesarkan. "Saya titipkan ke beberapa senior," katanya.
Permintaan dari Ambon bukan sekadar obat-obatan. Saat itu, ada pembukaan relawan perang. Zaenuddin menyambut ajakan itu. Ia ikut pelatihan perang di Pandeglang, yang dibakar semangatnya oleh Imam Samudra, pelaku peledakan bom Bali, yang sekampung dengannya. Belum sempat berangkat ke Ambon, anggota kelompoknya diciduk polisi.
Zaenuddin masuk daftar pencarian orang. Ia pun berangkat ke Poso pada 2002. Setelah Deklarasi Damai Malino ditandatangani kedua pihak yang bertikai, Zaenuddin pulang ke Jawa. Ia bekerja di sebuah perusahaan transportasi di Jawa Timur.
Suatu kali ia didatangi Iwan Darmawan Mutho alias Rois, pengebom Kedutaan Besar Australia pada 2004. Rois dijatuhi vonis mati dan kini mendekam di penjara Nusakambangan, Jawa Tengah. Ketika bertemu, Rois meminta uang Rp 300 ribu.
Rupanya, pertemuan Zaenuddin dan Rois tercium anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI yang dipimpin Tito Karnavian--kini Kepala Polri. Zaenuddin dilepas karena tak terbukti terlibat teror bom Kedutaan Australia. "Masak, mendanai peledakan dengan uang Rp 300 ribu?" katanya.
Setelah dilepas, Zaenuddin pulang ke Pandeglang, pada 2005. Ayahnya kecewa terhadap pilihan hidupnya sebagai pendakwah. Tapi kemarahan ayahnya tak menyurutkannya membangun jaringan aktivis. Ia mengaktifkan pengajian, mengumpulkan kembali jemaahnya, dan merekrut anggota baru dengan mendekati kelompok-kelompok anak muda, seperti penggemar Vespa. "Mereka lebih mudah didekati," ujarnya.
Untuk membiayai kegiatan jemaah dan organisasi Gerakan Peduli Masyarakat Banten, Zaenuddin membuka kios pulsa telepon seluler. Pada 2008, istrinya meninggal karena kecelakaan. Ia terpukul. Saat itulah ia bertemu dengan Dulmatin. Mereka mendiskusikan sejumlah teror, termasuk pelatihan militer di Pegunungan Jalin, Aceh Besar.
Zaenuddin merekomendasikan Nana Supriyatna alias Nana Ikhwan Maulana, anggota jaringannya di Pandeglang, kepada Dulmatin. Nana tak lain pelaku peledakan bom Hotel Ritz-Carlton pada 2009. Bersama Dulmatin, Zaenuddin merencanakan pelatihan militer di Aceh.
Ia bertugas mencari dana dan memasok senjata. Di pegunungan Aceh itulah petualangan Zaenuddin berakhir. Polisi menangkapnya bersama belasan orang lain, termasuk Sunakim alias Afif. Keduanya satu sel di penjara Kepolisian Daerah Metro Jaya. Setelah keluar, Afif menjadi pelaku teror di Jalan Thamrin tahun lalu.
Di tahanan Polda Jakarta, Zaenuddin menikah siri dengan perempuan Sukabumi yang menjadi anggota diskusi pengajiannya. Ia lalu dipindahkan ke Nusakambangan pada 2013 hingga dinyatakan bebas bersyarat setahun kemudian. Di Nusakambangan itulah ia menyaksikan perebutan pengaruh para narapidana terorisme dari kelompok Jamaah Islamiyah dan pendukung ISIS.
Zaenuddin tersadar bahwa apa yang ia lakukan keliru, terutama setelah berdiskusi dengan para pendukung ISIS. Kesadarannya kian kuat menjelang dan sesudah ia keluar dari Nusakambangan. Tetangganya di Pandeglang menolak kehadirannya, meski tak terucapkan. Teman kuliahnya juga menjauh hingga sebuah reuni batal ketika ia mengkonfirmasi akan hadir.
Banyak orang yang takut terhadap statusnya sebagai narapidana terorisme. Namun penolakan itu tak membuatnya kembali ke jalan teror. Ia memutuskan pindah ke kampung istrinya di Sukabumi dengan menutup rapat identitasnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme memberinya bantuan mesin jahit tanpa membekalinya pelatihan. Dia hanya menerima order dan menyerahkan pengerjaannya kepada orang lain. Zaenuddin juga membuka warung kecil di rumahnya. "Untuk sehari-hari, ya, mengandalkan gaji istri," katanya, tertawa.
Dete Aliah dari Yayasan Prasasti Perdamaian mengatakan stigma merupakan salah satu persoalan yang dihadapi narapidana terorisme ketika kembali ke masyarakat. Tak jarang eks narapidana pindah ke daerah baru untuk menghindari stigma itu. "Tapi juga tak mudah masuk ke lingkungan baru," ujar Dete.
BNPT kerap mengundang Zaenuddin menjadi peserta dan pembicara seminar deradikalisasi. Ia juga diminta mendekati jaringan ISIS di Banten. Karena itu, ia acap pulang ke kampung halamannya. Zaenuddin sempat menjadi anggota tim sukses Rano Karno-Embay Mulya dalam pemilihan Gubernur Banten pada April lalu. "Di Pandeglang, Rano-Embay menang, lho," katanya.
Pada 2016, ia diminta Detasemen Antiteror mendekati pelajar sebuah sekolah menengah kejuruan di Sukabumi yang mahir merakit bom. Polisi mensinyalir pelajar ini simpatisan ISIS yang direkrut Bahrun Naim, komandan ISIS Asia Tenggara, lewat Internet. Perlu empat kali pertemuan antara Zaenuddin dan pelajar tersebut agar ia bersedia keluar dari ISIS. "Saya membuka masa lalu saya sehingga dia percaya," ujarnya.
Zaenuddin tak ingin kembali ke jalan perang untuk mendirikan negara Islam. Ia mengaku sadar sepenuhnya keinginan itu keliru. "Saya lahir di sini. Indonesia tak mungkin menjadi khilafah," katanya.
Dete Aliah dari Yayasan Prasasti Perdamaian mengatakan stigma merupakan salah satu persoalan yang dihadapi narapidana terorisme ketika kembali ke masyarakat. Tak jarang eks narapidana pindah ke daerah baru untuk menghindari stigma itu. "Tapi juga tak mudah masuk ke lingkungan baru," ujar Dete.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo