PARIS bagi saya terlalu kecil," kata Andre Pradel, 53 tahun.
Maka ia scjak 20 tahun yang lalu berkeliling: India, Kanada,
Meksiko, Afrika, Asia.
Dan Senin pekan lalu pemain pantomim Prancis itu mendarat di
gedung Wayang Orang Bharata, di daerah Senen, Jakarta hanya
saja, tak seperti seminggu sebelumnya, ketika Pradel berpantomim
di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, di gedung Bharata ia tak
sendirian.
Pihak Kedubes Prancis sebelumnya menanyakan, bisakah Pradel ikut
main di sini. "Karena mempunyai iktikad baik, ya kami
perbolehkan," tutur Aris Mukadi, 30-an tahun, pimpinan
pertunjukan di Bharata.
Mula-mula dikira si Pradel ini mau main sendirian. Ternyata, oh,
toko seniman Prancis itu juga ingin main ketoprak bersama grup
di situ. "Lha, ya, lalu . kami masukkan dalam adegan
lawakannya," tutur Aris pula, yang juga hadir ketika Pradel
membuka lokakarya di Institut Kesenian Jakarta. Dan itu semua
dipersiapkan tanpa latihan bersama.
Di gedung Bharata itu, setelah adegan pertama lakon Kembang
Ceplok Ungu, satu kisah Kerajaan Banten melawan Kompeni, Pradel
pun muncul. Memang pertama kali permainan tunggal: tiga nomor
pantomim, agaknya untuk memperkenalkan apa-siapa tamu itu kepada
penonton.
Nomor pertamanya, Rambut, menggambarkan bagaimana rambut bisa
ditegakkan seperti sebuah tongkat. Lantas bagaimana itu rambut
ditegakkan di telapak tangan, di punggung telapak tangan, di
ujung jari, di ujung hidung. Tentu saja semua itu berhasil
dengan sangat bagus, karena rambutnya itu sebenarnya tiada.
Memangnya ada rambut sebesar tongkat, meski rambut Pradel
sekalipun? Tapi mengapa penonton "percaya" bahwa tongkat itu
rambut? Pada awalnya si Pradel memang mencabut sesuatu dari
kepalanya.
Nomor kedua Koboi. Ia menunggang kuda, ia melemparkan laso
menangkap entah apa. Mungkin bison yang besar, karena si Pradel
tertarik-tarik setelah lasonya mengenai sasaran. Tapi, ternyata
laso itu menangkap sesuatu yang untuk melihatnya pun Pradel
harus mendekatkan matanyz ke lantai--dan untuk memungutnya cukup
dengan dua jari. Sesuatu yang begitu kecil. Mungkin semut:
Patung adalah nomor yang paling mengundang "ger". Si Pradel
memerankan seorang pematung yang sedang memahat wujud wanita
telanjang. Nah, bagaimana dia harus membentuk bagianbagian tubuh
yang sensitif, itulah yang mau tak mau memaksa penonton
terbahak. Dan ketika mematungkan lelaki telanjang, tawa pun
meledak riuh sewaktu Pradel dengan tangannya menggulung-gulung
tanah liat membentuk sesuatu yang panjang. Tapi sekali lagi tawa
meledak, setelah ternyata yang dibayangkan penonton keliru.
Pradel memasang benda panjang bulat itu sebagai kumis si patung.
Maka jalan ke arah permainan bersama terbuka. Patut dipuji si
perencana urutan ini --yang tak lain Mas Aris, wong Suroboyo
asli itu. Tiga pelawak Bharata pun, memerankan pembantu tokoh
cerita malam itu yang bernama Bagus Buang, lalu pada muncul.
Diperankan Aris sendiri, Tubi dan Karno. Mereka berkain,
berbelangkon, beriringan Terdepan Aris--berpantomim pula.
Seperti membuka pintu satu ruang, lantas masuk. Membuka pintu
lagi, masuk ke ruang yang lebih sempit. lBegitu seter hngga ia
masuk ke lubang yang hanya bisa didiami dengan duduk merunduk.
Kedua temannya di belakang sebentar-sebentar memberi
komentar--dalam bahasa Jawa. "Ngapain anak ini. Sedang kumat
apa. Padahal baru malam Selasa, Iho, ini," begitu kira-kira
terjemahannya. Yang bikin "ger": Aris nekat berpantomim meski
sudah dikomentari yang bukan-bukan -- sedang kedua temannya
merusak ruang imajiner itu dengan kedua tangannya.
"Pantomim itu mudah. Sebelum kita bisa bicara kan berpantomim
juga namanya," kata Aris. "Dan di Bharata ini hal itu tidak
asing. Misalnya kalau Bima harus melakukan adegan membabat
hutan, padahal tak ada hutan di panggung, apa yang
dilakukannya."
Maka, ketika si Pradel tiba-tiba menyuruk masuk dan bergabung,
dengan gaya koboi, langsung salah seorang dari tiga pelawak itu
pasang aksi seperti koboi juga. Mereka, Pradel dan salah
seorang, duel. Pradel pun melarikan diri naik kudanya. Ketiga
pelawak ngejar, menyambar kuda masing-masing. Bedanya, yang
mereka tunggangi itu kuda lumping imajiner.
Membisu
Ketika si Pradel pura-pura menyetir mobil, langsung ketiga
pelawak numpang di belakang. Mereka tetap berdiri lurus. Pradel
memberi isyarat duduk. "O, iya, lupa kalau ada mobilnya, ya?"
kata salah seorang. Kontras antara yang imajiner dan yang nyata
itu banyak mengundang tawa.
"Yang berat, mas, justru untuk 'mengasuh' dia itu," kata Aris
pula. Dalam permainan bersama itu memang terlihat, ketiga
pelawak Bharata sengaja mengembangkan saja apa ulah Pradel.
Sebab Pradel tak kenal ketoprak, bukan?
Tapi justru itulah yang menyenangkan. Bekas dekorator panggung
itu, yang suka memetotkan mulutnya, berhasil mengajak ketiga
pelawak bersama-sama mengocok perut penonton. Meski dari awal
sampai akhir orang Prancis itu cuma membisu.
Bagi orang Bharata sendiri bukan pertama kalinya mereka
menampung orang luar untuk main bersama. Meski kali ini memang
benar-benar orang luar negeri, yang memberi mereka tambahan
pengalaman. Sudah sering Ateng, Iskak dan
Suroto--pelawak-pelawak kita--nimbrung bermain ketoprak.
Sedang bagi Pradel sendiri, tokoh kesenian Barat yang hampir
selalu dianggap berjenis "internasional", pengalaman ini sangat
berharga, seperti diakuinya. Ia akan bisa bercerita, nanti: "Di
sana saya sudah bermain bersama para seniman teater rakyat
Indonesia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini