JAKSA Bagio Supardi tersentak dari tempat duduknya. Bekas
Direktur Kredit Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa, yang
diyakininya bersalah dan dituntutnya dengan hukuman 10 tahun
serta denda Rp 15 juta, dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kontan, saat itu juga, Bagio menyatakan
naik banding atas putusan majelis yang diketuai Hakim Soedijono
itu.
Tapi itu peristiwa bulan lalu, anda tahu. Dan banding yang
diajukan Bagio dalam sidang kasus Pluit itu ternyata mengundang
reaksi pro dan kontra: Anggota Komisi 111 DPR, Da Costa-yang
ikut merumuskan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana--memprotes banding itu kepada Ketua Mahkamah Agung,
Mudjono. Dalam suratnya 22 Februari lalu, ia meminta agar KU HAP
yang sudah diberlakukan sejak 31 Januari itu tidak dilanggar.
Apalagi oleh penegak hukum.
Salah satu pasal yang disebutkan Da Costa adalah pasal 67 KUHAP.
Pasal ini memang tidak memperkenankan jaksa naik banding--dalam
hal putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum, alias
vrijspraak. Selain itu, anggota Fraksi PDI ini meminta pula agar
Mahkamah Agung memerintahkan hakim bawahannya menolak permohonan
banding Kejaksaan.
Tapi Kejaksaan Agung sudah berketetapan hati untuk meneruskan
persoalan itu ke tingkat banding. "Saya sependapat dengan
rakyat," ujar Jaksa Agung Ismail Saleh, ketika disebutkan
wartawan bahwa rakyat kecewa atas putusan bebas itu. Sebab itu,
ia menyatakan naik banding, dengan dasar ketentuan peralihan di
KUHAP masih memungkinkan dipakainya undang-undang yang lama,
yaitu HIR (TEMPO, 27 Februari).
Alasan lain dikemukakan oleh Humas Kejagung, A.A.G. Ngurah.
"Untuk kasus Natalegawa ini masih diberlakukan HIR. Sebab waktu
tuntutan dibacakan tahun lalu, KUHAP belum diberlakukan,"
ujarnya. Berarti, keputusan vrijspraak masih bisa dibanding. Ada
yurisprudensi -- keputusan Mahkamah Agung yang membenarkan jaksa
naik banding bila keputusan hakim dianggap vrijsraak tidak
murni atau terselubung. Selain itu Ngurah menunjuk pasal 284 KU
HAP, yang membenarkan undang-undang lama dipergunakan dalam masa
peralihan.
Pendapat Ngurah ini dikuatkan oleh rekannya, Kepala Kejaksaan
Negeri Maumere, Anton Suyata, dalam artikelnya berjudul 'Kasus
Natalegawa dapat dibanding dan sah' di harian sinar Harapan.
Anton, yang waktu masih bertugas di Jakarta ikut dalam tim
perkara Pluit, menganggap keputusan Hakim 10 Februari lalu itu
sebagai vrijspraak terselubung.
Alasannya: Majelis Hakim membenarkan bahwa perbuatan yang
dituduhkan telah dilakukan Natalegawa telah terbukti--tapi
perbuatan itu tidak melanggar hukum. Misalnya, pemberian kredit
dari BBD untuk Endang Wijaya yang melanggar prosedur. "Jadi
putusan itu seharusnya 'dilepaskan dari tuntutan hukum
(onslaag)'. Bukan dibebaskan," tulis Anton. Keputusan semacam
itulah yang disebutkan oleh Mahkamah Agung dalam
yurisprudensinya sejak 1970 sebagai bisa dibanding.
Bakal Sengit
Tapi diskusi agaknya bakalan sengit. Sebab pengacara Natalegawa,
Awar Karim, sudah mempersiapkan pula setumpuk yurisprudensi
yang menyatakan keputusan semacam itu tidak bisa dibanding.
"Yurisprudensi di negara kita hanya pedoman, dan selalu
berkembang. Jadi bukan ketentuan yang harus diikuti," ujar Azwar
Karim.
Pembela ini malah menuduh Jaksa yang salah dalam perkara
Natalegawa itu. Sebab Jaksa memaksakan perkara itu untuk
diajukan ke pengadilan, "walau dalam pemeriksaan sudah bisa
disimpulkan Natalegawa tidak bersalah," katanya. Azwar, yang
bekas kepala Kejaksaan Tinggi DKI ini, menantang pihak Kejaksaan
untuk berdebat di depan umum.
Pendapat Azwar ini dibenarkan pula oleh rekannya, Kho Gin Tjan,
yang juga membela Natalegawa. Kho, yang juga pernah membebaskan
Paul Handoko menganggap, keyakinan Kejaksaan Agung untuk
banding--juga pernyataan Jaksa Agung Ismail Saleh--merupakan
kesalahan besar. "Salah satu asas dalam KUHAP ialah, kalau ada
perubahan undang-undang, yang harus dipakai adalah undang-undang
yang menguntungkan tersangka," ujar Kho Gin Tjan, mengutip pasal
satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Asas itu, katanya, tidak
bisa disingkirkan oleh KUHAP--hukum acara pidana.
Soedijono SH sendiri, hakim yang membebaskan Natalegawa, sampai
pekan lalu masih tetap tutup mulut. "Kami tidak bisa
mengomentari masalah itu. Setelah putusan diberikan, tugas
hakim selesai," ujar Hakim Setiawan, Humas Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung, belum mengeluarkan
fatwanya. "Omongan saya sama dengan fatwa. Sebab itu agar hakim
tidak takut sebaiknya saya tidak berkomentar dulu," ujar Mudjono
kepada TEMPO.
Mudjono, menurut seorang pejabat yang tidak mau disebut namanya,
lagi mengusut kasus itu. "Bukan persoalan bisa tidaknya jaksa
naik banding. Tapi ada apa di balik putusan itu," ujar si
pejabat. Sebab kandasnya hasil pengusutan Opstib di pengadilan
terhadap Endang Wijaya (dibebaskan dari subversi dan korupsi)
serta pembebasan Natalegawa dari semua tuduhan, agak
mencurigakan pejabat-pejabat tinggi hukum. "Walau hakim memang
mempunyai kebebasan untuk mengambil putusan," ujar rejabat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini