Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Banding tak banding Natalegawa

Kontraversi upaya naik banding jaksa penuntut natalegawa. pembelaaan kuhap dan saat tuntutan dibacakan. ketua ma akan mengusut, ada apa di balik putusan tersebut. (hk)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Banding tak banding Natalegawa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JAKSA Bagio Supardi tersentak dari tempat duduknya. Bekas Direktur Kredit Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa, yang diyakininya bersalah dan dituntutnya dengan hukuman 10 tahun serta denda Rp 15 juta, dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kontan, saat itu juga, Bagio menyatakan naik banding atas putusan majelis yang diketuai Hakim Soedijono itu. Tapi itu peristiwa bulan lalu, anda tahu. Dan banding yang diajukan Bagio dalam sidang kasus Pluit itu ternyata mengundang reaksi pro dan kontra: Anggota Komisi 111 DPR, Da Costa-yang ikut merumuskan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana--memprotes banding itu kepada Ketua Mahkamah Agung, Mudjono. Dalam suratnya 22 Februari lalu, ia meminta agar KU HAP yang sudah diberlakukan sejak 31 Januari itu tidak dilanggar. Apalagi oleh penegak hukum. Salah satu pasal yang disebutkan Da Costa adalah pasal 67 KUHAP. Pasal ini memang tidak memperkenankan jaksa naik banding--dalam hal putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum, alias vrijspraak. Selain itu, anggota Fraksi PDI ini meminta pula agar Mahkamah Agung memerintahkan hakim bawahannya menolak permohonan banding Kejaksaan. Tapi Kejaksaan Agung sudah berketetapan hati untuk meneruskan persoalan itu ke tingkat banding. "Saya sependapat dengan rakyat," ujar Jaksa Agung Ismail Saleh, ketika disebutkan wartawan bahwa rakyat kecewa atas putusan bebas itu. Sebab itu, ia menyatakan naik banding, dengan dasar ketentuan peralihan di KUHAP masih memungkinkan dipakainya undang-undang yang lama, yaitu HIR (TEMPO, 27 Februari). Alasan lain dikemukakan oleh Humas Kejagung, A.A.G. Ngurah. "Untuk kasus Natalegawa ini masih diberlakukan HIR. Sebab waktu tuntutan dibacakan tahun lalu, KUHAP belum diberlakukan," ujarnya. Berarti, keputusan vrijspraak masih bisa dibanding. Ada yurisprudensi -- keputusan Mahkamah Agung yang membenarkan jaksa naik banding bila keputusan hakim dianggap vrijsraak tidak murni atau terselubung. Selain itu Ngurah menunjuk pasal 284 KU HAP, yang membenarkan undang-undang lama dipergunakan dalam masa peralihan. Pendapat Ngurah ini dikuatkan oleh rekannya, Kepala Kejaksaan Negeri Maumere, Anton Suyata, dalam artikelnya berjudul 'Kasus Natalegawa dapat dibanding dan sah' di harian sinar Harapan. Anton, yang waktu masih bertugas di Jakarta ikut dalam tim perkara Pluit, menganggap keputusan Hakim 10 Februari lalu itu sebagai vrijspraak terselubung. Alasannya: Majelis Hakim membenarkan bahwa perbuatan yang dituduhkan telah dilakukan Natalegawa telah terbukti--tapi perbuatan itu tidak melanggar hukum. Misalnya, pemberian kredit dari BBD untuk Endang Wijaya yang melanggar prosedur. "Jadi putusan itu seharusnya 'dilepaskan dari tuntutan hukum (onslaag)'. Bukan dibebaskan," tulis Anton. Keputusan semacam itulah yang disebutkan oleh Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya sejak 1970 sebagai bisa dibanding. Bakal Sengit Tapi diskusi agaknya bakalan sengit. Sebab pengacara Natalegawa, Awar Karim, sudah mempersiapkan pula setumpuk yurisprudensi yang menyatakan keputusan semacam itu tidak bisa dibanding. "Yurisprudensi di negara kita hanya pedoman, dan selalu berkembang. Jadi bukan ketentuan yang harus diikuti," ujar Azwar Karim. Pembela ini malah menuduh Jaksa yang salah dalam perkara Natalegawa itu. Sebab Jaksa memaksakan perkara itu untuk diajukan ke pengadilan, "walau dalam pemeriksaan sudah bisa disimpulkan Natalegawa tidak bersalah," katanya. Azwar, yang bekas kepala Kejaksaan Tinggi DKI ini, menantang pihak Kejaksaan untuk berdebat di depan umum. Pendapat Azwar ini dibenarkan pula oleh rekannya, Kho Gin Tjan, yang juga membela Natalegawa. Kho, yang juga pernah membebaskan Paul Handoko menganggap, keyakinan Kejaksaan Agung untuk banding--juga pernyataan Jaksa Agung Ismail Saleh--merupakan kesalahan besar. "Salah satu asas dalam KUHAP ialah, kalau ada perubahan undang-undang, yang harus dipakai adalah undang-undang yang menguntungkan tersangka," ujar Kho Gin Tjan, mengutip pasal satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Asas itu, katanya, tidak bisa disingkirkan oleh KUHAP--hukum acara pidana. Soedijono SH sendiri, hakim yang membebaskan Natalegawa, sampai pekan lalu masih tetap tutup mulut. "Kami tidak bisa mengomentari masalah itu. Setelah putusan diberikan, tugas hakim selesai," ujar Hakim Setiawan, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung, belum mengeluarkan fatwanya. "Omongan saya sama dengan fatwa. Sebab itu agar hakim tidak takut sebaiknya saya tidak berkomentar dulu," ujar Mudjono kepada TEMPO. Mudjono, menurut seorang pejabat yang tidak mau disebut namanya, lagi mengusut kasus itu. "Bukan persoalan bisa tidaknya jaksa naik banding. Tapi ada apa di balik putusan itu," ujar si pejabat. Sebab kandasnya hasil pengusutan Opstib di pengadilan terhadap Endang Wijaya (dibebaskan dari subversi dan korupsi) serta pembebasan Natalegawa dari semua tuduhan, agak mencurigakan pejabat-pejabat tinggi hukum. "Walau hakim memang mempunyai kebebasan untuk mengambil putusan," ujar rejabat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus