Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hafiz Muhammad Sayid sudah lama masuk daftar orang paling dicari di dunia. Pemimpin organisasi amal Jamaat-ud-Dawa dan salah satu pendiri Lashkar-e-Taiba itu dituduh terlibat dalam sejumlah serangan teror dan pengeboman di Mumbai, India, pada 2008, yang menewaskan 160 orang. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkan namanya ke daftar hitam. Amerika Serikat menawarkan imbalan US$ 10 juta atas informasi yang membantu penangkapannya.
Tapi Sayid sangatlah licin. Pemerintah Pakistan sudah menangkap dia setidaknya tujuh kali pada 2001-2018 karena sejumlah kasus, tapi pengadilan selalu membebaskannya karena kekurangan bukti.
Upaya hukum terbaru dilakukan di ba-wah Perdana Menteri Pakistan Imran Khan pada 3 Juli lalu. Polisi Punjab mengajukan 23 tuntutan ke pengadilan terhadap Sayid dan 13 pemimpin Jamaat-ud-Dawa atas tuduhan ikut membiayai terorisme. Sayid akhirnya ditangkap pada 17 Juli lalu, tiga hari sebelum Khan melawat ke Amerika Serikat dan bertemu dengan Presiden Donald Trump. Personel Departemen Penanggulangan Terorisme Kepolisian Punjab menangkapnya saat ia dalam perjalanan dari Lahore menuju Gujranwala.
Trump memuji penangkapan tersebut. “Setelah sepuluh tahun pencarian, yang disebut ‘dalang’ serangan Mumbai telah ditangkap di Pakistan,” tulisnya di Twitter. India menyebut penangkapan ini sebagai “drama” dan “kosmetik politik” semata. Washington Post menilai pernyataan Trump itu memalukan, kalau bukan tragis. Sayid tidak bisa disebut “ditemukan” karena dia berada di dekat Lahore dan jauh dari kesan bersembunyi.
HAFIZ Muhammad Sayid lahir dari keluarga konservatif di Sargodha, Punjab, 5 Juni 1950. Keluarganya berasal dari Shimla, Pakistan, yang kini masuk wilayah India. Sebanyak 36 anggota keluarganya diduga dibunuh dalam perjalanan mereka dari Shimla menuju Lahore ketika wilayah bekas koloni Inggris itu dipisahkan menjadi dua negara, India dan Pakistan, pada 1947.
Menurut Hindustan Times, keluarga Sayid punya reputasi sebagai ahli agama. Sayid dikenal sebagai ahli fikih. Lompatan besar dalam hidupnya terjadi saat Presiden Pakistan Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq menunjuknya sebagai anggota Dewan Ideologi Islam dan kemudian pengajar studi Islam di University of Engineering and Technology, Lahore.
Pada 1980-an, Sayid dikirim kampusnya studi ke Arab Saudi. Setelah itu, dia memegang dua gelar master dari University of Punjab dan King Saud University. Di Saudi, dia bertemu dengan sejumlah ulama yang ambil bagian dalam perang di Afganistan. Itulah yang mengilhami langkahnya mendukung para mujahidin mengusir Uni Soviet dari negeri tersebut. Menurut Dewan Keamanan PBB, perjalanan Sayid ke Afganistan itu bertujuan mendapat pelatihan sebagai milisi.
Pada 1987, Sayid bersama Abdullah Azzam, salah satu pendiri Al-Qaidah, mendirikan Markaz Dawa-Wal-Irshad. Organisasi inilah yang kemudian melahirkan Lashkar-e-Taiba pada 1990 dengan bantuan Badan Intelijen Pakistan. Target utama operasi Lashkar adalah negara bagian India, Jammu dan Kashmir.
Sayid berurusan dengan aparat keamanan setelah lima teroris bersenjata menyerbu gedung parlemen India pada 13 Desember 2001. Serangan ini menewaskan 14 orang. India menuding Lashkar sebagai pelakunya. Buntutnya, Pakistan menahan Sayid pada 21 Desember 2001-31 Maret 2002, tapi kemudian ia dibebaskan pengadilan karena minimnya bukti. Ia sempat ditahan lagi setelahnya, tapi lalu hanya dikenai sanksi tahanan rumah.
Sayid kembali ditangkap setelah terjadi pengeboman di kereta api Mumbai pada 11 Juli 2006. India menuding Lashkar sebagai pelaku serangan yang menewaskan 209 orang itu. Pakistan meresponsnya dengan menangkap Sayid pada 9 Agustus 2006 dan menjadikannya tahanan rumah. Tapi, pada 28 Agustus 2006, lagi-lagi pengadilan membebaskannya. Pada hari saat ia dibebaskan, polisi kembali menangkapnya. Namun pengadilan sekali lagi membebaskannya dua bulan kemudian.
Nama Sayid menjadi sorotan internasional setelah terjadi serangan terkoordinasi di beberapa lokasi di Mumbai pada 26 November 2008 yang menewaskan setidaknya 160 warga sipil, termasuk enam warga Amerika Serikat. India menuding Lashkar sebagai pelakunya dan meminta Pakistan mengekstradisi Sayid. Namun ekstradisi tak pernah terjadi karena kedua negara tak punya perjanjian itu.
India lantas mengirim permintaan ke-pada Dewan Keamanan PBB untuk memasukkan Sayid dan organisasi amalnya, Jamaat-ud-Dawa, ke daftar hitam. India menyebut organisasi itu sebagai samaran Lashkar-e-Taiba. Permintaan ini disetujui PBB pada 2008. Dengan penetapan tersebut, Sayid dikenai larangan bepergian dan asetnya di seluruh dunia bisa dibekukan.
Sayid membantah tudingan yang ditujukan kepadanya. “Tidak ada orang Lashkar-e-Taiba di Jamaat-ud-Dawa dan saya belum pernah menjadi kepala Lashkar-e-Taiba,” katanya. Polisi lalu menetapkan status tahanan rumah terhadapnya karena kasus Mumbai itu. Tapi Pengadilan Tinggi Lahore menganggap penahanannya tidak sah dan memerintahkan pembebasannya pada 2009.
Pada 25 Agustus 2009, Interpol mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Sayid atas permintaan India. Sebulan berikutnya, Sayid dijadikan tahanan rumah lagi. Namun kasusnya kandas setelah Pengadilan Tinggi Lahore membatalkan tuntutan pidana terhadap dia karena tidak cukup bukti dan menyatakan Jamaat-ud-Dawa bukanlah organisasi terlarang.
Putusan pengadilan itu tak lantas membuat Sayid bebas. Pada Mei 2011, India menerbitkan daftar 50 buron paling dicari yang bersembunyi di Pakistan. Nama Sayid ada di daftar itu. Tekanan terhadap Pakistan kian besar setelah Amerika memasukkan Laskhar dan Sayid ke daftar hitam serta menjanjikan hadiah uang atas informasi yang membantu penangkapannya.
Tekanan terhadap Pakistan juga datang dari Financial Action Task Force (FATF), kelompok 39 negara yang mengawasi pendanaan aktivitas terorisme. Mereka memasukkan Pakistan ke kategori abu-abu karena menilai hukum atau implementasi hukum negara itu dalam mengendalikan pendanaan teror kurang baik.
Sayid tak menunjukkan sikap waswas. Wartawan New York Times, Declan Walsh, pada Februari 2013 menulis bahwa Sayid “menjalani kehidupannya secara terbuka, dan tampaknya tanpa rasa takut, di lingkungan kelas menengah” di Pakistan.
Tekanan terhadap Sayid lebih besar ketika Pakistan membuat rencana aksi nasional melawan terorisme pada Januari 2015 dan menyatakan Jamaat-ud-Dawa sebagai organisasi terlarang. Sayid bergeming dan melanjutkan kegiatannya di bawah bendera Tehreek-e-Azadi-Jammu & Kashmir. Pemerintah pun melarang organisasi baru ini pada September 2017.
FATF prihatin melihat situasi Pakistan dan memberikan tenggat pada Oktober tahun ini untuk memperbaiki kinerjanya atau akan memasukkan negeri itu ke daftar hitam. Maka terjadilah penangkapan Sayid pada 17 Juli lalu.
Prabhash K. Dutta, dalam India Today, mengatakan Pakistan berharap penangkapan ini membantu mencegah negara itu masuk daftar hitam, yang akan memperburuk ekonomi negeri berpenduduk 204 juta jiwa tersebut. Imran Khan dinilai berusaha memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat, yang sudah menangguhkan bantuan militernya senilai US$ 300 juta ke Pakistan.
Tapi Sayid bergeming. “Ini godaan sementara para pemimpin Pakistan untuk menipu Amerika. Setelah mereka mengamankan satu pon daging mereka, urusan akan kembali seperti biasa,” ucapnya dalam ceramah salat Jumat sebelum penangkapannya.
ABDUL MANAN (NDTV, PAKISTAN TODAY, INDIA TODAY)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo