Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munculnya gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengejutkan dunia. Jatuhnya Mosul, kota terbesar kedua di Irak, pada 10 Juni 2014, disusul penaklukan permukiman bagian utara Sungai Tigris pada minggu berikutnya, yang diikuti deklarasi khalifah pada 29 Juni 2014, benar-benar menakutkan. Dengan karakter kejam dan brutal, daya tarik ISIS bukannya menurun, malah meningkat. Malah ada ribuan "pejuang" asing yang bergabung dengan khalifah baru itu.
Kita terkejut dengan munculnya ISIS bukan karena kehadiran gerakan itu tidak terduga, melainkan karena kita tidak ingin melihatnya. Misalnya dengan melihat ribuan pemuda diculik dan dilarikan untuk mendukung perjuangan ISIS. Secara global, angka pendukung ISIS saat ini diperkirakan melebihi 22 ribu orang. Jumlah ini terlalu besar untuk diabaikan. Tapi sayangnya masih banyak negara, terutama di Asia Tenggara, yang enggan mengakui skala masalah yang dihadapi.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, Indonesia sudah mengakui ISIS bisa menjadi masalah serius. Tapi, di sisi lain, Indonesia masih berharap dampak dari ISIS muncul pada skala yang terbatas.
Di Indonesia, sempat ada harapan bahwa daya tarik ISIS tidak begitu kuat karena negara ini relatif stabil dan terletak jauh dari pusat dunia muslim yang sedang mengalami kekacauan. Dalam minggu-minggu setelah deklarasi kekhalifahan, organisasi-organisasi Islam dan para pemimpin Islam dari seluruh spektrum, termasuk Indonesia, menolak legitimasi ISIS. Muslim Indonesia tidak ingin terlibat dalam proyek kekerasan ISIS. Ketika Mosul jatuh, relatif sedikit warga Indonesia tertarik ikut "berjuang" di tengah konflik yang berkecamuk.
Situasi tadi jauh berbeda pada akhir tahun lalu ketika ratusan orang telah tergoda oleh iterasi terbaru Al-Qaidah itu. Mendekati April 2015, angka penduduk Indonesia yang mendukung ISIS belum jelas. Namun ada perkiraan angka terendah di sekitar 200 orang. Tapi banyak pengamat, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, berpendapat bahwa lebih dari 600 orang Indonesia telah bergabung baik dengan ISIS maupun Jabhat al-Nusra.
Meski begitu, ada beberapa alasan agar tidak membesar-besarkan ancaman ISIS. Pertama, terorisme bekerja dengan memanfaatkan situasi, melalui provokasi yang memicu kemarahan. Hal ini terlihat jelas dalam serangan 11 September Al-Qaidah, yang diperkirakan menelan biaya US$ 500 ribu. Insiden itu mengakibatkan triliunan dolar dan ratusan ribu nyawa dihabiskan buat memerangi Al-Qaidah. Ironisnya, situasi itu malah menyediakan kondisi ideal bagi Al-Qaidah untuk tumbuh di negara tempat mereka sebelumnya tidak ada. Situasi ini mirip dengan kesalahan yang dibuat Indonesia ketika merespons gerakan Darul Islam pada 1980-an, yang kemudian meletakkan dasar bagi kemunculan Jamaah Islamiyah.
Kedua, kita tahu bahwa masalah terorisme meningkat secara global. Dampaknya paling terasa di negara yang menghadapi kegalauan politik. Tahun lalu, misalnya, 80 persen serangan terorisme yang menyebabkan hilangnya nyawa terjadi di lima negara saja, yakni Afganistan, Pakistan, Irak, Suriah, dan Nigeria. Sebagai negara demokratis, Indonesia tidak hanya membawa ancaman terorisme, tapi juga telah menjadi kisah sukses dunia muslim.
Kita yakin bahwa ISIS memiliki sedikit dukungan di Indonesia, tapi ada risiko besar bila kita meremehkan ancaman perekrutannya. Apalagi pengalaman terakhir dari radikalisasi ISIS yang muncul di seluruh dunia menunjukkan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih besar dari sebelumnya.
Di Australia saja, misalnya, 160 pemuda sudah terlibat pertempuran di Irak dan Suriah. Lebih dari 30 telah tewas dan sekitar 100 orang saat ini ikut berperang dengan ISIS. Beberapa di antara mereka datang dari keluarga baik-baik. Memang masyarakat Australia tidak sempurna dan ada alasan kaum muda muslimnya merasa terasing. Namun hal itu sama sekali tidak bisa menjelaskan tingkat radikalisasi di Australia sama dengan di Prancis, yang memiliki tingkat pengangguran kaum muda lebih tinggi dan persoalan diskriminasi lebih serius. Artinya, faktor penarik (pull factors) lebih besar daripada faktor pendorong (push factors), dan itu sangat berperan membetot kaum muda rela mendukung proyek kekhalifahan ISIS.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Dengan melihat jumlah kasus radikalisme yang meningkat tajam di Asia, keadaan di Indonesia bisa jadi akan lebih buruk. Masalahnya bukan terletak pada masyarakat Indonesia atau pada Islam "mainstream" di Indonesia. Soalnya, ISIS terampil memanfaatkan jaringan sosial untuk menargetkan mangsanya. ISIS memiliki propaganda yang lebih canggih daripada semua jaringan teroris sebelumnya. Video, Facebook, dan majalah elektronik ikut berperan membujuk orang terlibat dengan gerakan tersebut. Tapi yang paling berperan ialah tindak lanjut perkenalan dan persahabatan pribadi. ISIS menjalankan jaringan global yang sangat efektif untuk mengidentifikasi mangsanya.
Indonesia memberikan peluang yang besar buat rekrutmen ISIS. Luasnya jaringan mapan para ekstremis menyediakan ISIS begitu banyak kesempatan. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa polisi telah melakukan pekerjaan luar biasa menanggulangi terorisme. Lebih dari seribu orang ditangkap selama 12 tahun sejak bom Bali pertama. Sebagian besar telah dituntut melalui proses hukum. Kredit harus diberikan untuk pencegahan serangan. Tapi semua keberhasilan pemerintah Indonesia ini tidak cukup buat menghadapi ancaman ISIS. Gerakan ini telah menyuntikkan energi baru ke dalam jaringan jihadis di seluruh dunia. Hal ini akan mengubah skala dan masalah terorisme yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan jihadis atau pejuang yang pergi ke Afganistan dan Pakistan pada 1980-an dan awal 1990-an. Perang Afganistan mengubah masalah yang telah mendidih sejak Darul Islam muncul pada 1950-an. Gerakan itu dikaitkan dengan ide-ide perjuangan global yang disosialisasi oleh Al-Qaidah. Beberapa ratus orang Indonesia melakukan perjalanan ke Afganistan serta kembali dari Afganistan dan Pakistan. Meski banyak alumnus Afganistan tidak mau melanjutkan serangan teroris di Indonesia pasca-Soeharto, faksi jaringan Jamaah Islamiyah memiliki link yang kuat dengan alumnus Afganistan. Apa yang terjadi di Afganistan lebih dari dua dekade lalu tetap menimbulkan bayangan kelam di Asia Tenggara.
Al-Qaidah Irak (AQI), juga dikenal sebagai Negara Islam Irak (ISI), yang kemudian menjadi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dibentuk dalam kondisi pemberontakan akibat invasi ke Irak pada 2003. Gerakan yang terjadi di Afganistan pada dekade terakhir Perang Dingin kini mendominasi masalah keamanan dunia pasca-Perang Dingin. Indonesia, misalnya, masih harus berhadapan dengan pengaruh generasi pertama Al-Qaidah.
AQI atau Al-Qaidah 2.0 memang berhasil menarik ribuan jihadis asing. Indonesia saat itu tidak tersentuh gerakan AQI. Tapi situasinya kini berbeda. Dalam waktu beberapa tahun, ISIS atau Al-Qaidah 3.0 telah menarik jumlah pemuda Indonesia lebih banyak daripada perang Afganistan dalam satu dekade.
Iterasi ketiga "Al-Qaidah" ini merupakan gerakan yang jauh lebih canggih dan berpengaruh daripada sebelumnya. Karena itu, tantangan yang dihadapi akan bertahan lama. Indonesia, yang sudah terbukti mampu menghadapi tantangan terorisme, kini harus menyiapkan diri menghadapi tantangan melawan ekstremisme kekerasan.
*) Profesor di Monash University, Australia, dan Direktur Centre for Islam and Modern World. Ia Juga aktif di Global Terrorism Research Centre
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo