Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dua Wajah Orde Baru

Kepentingan pemerintah Amerika Serikat di awal Orde Baru bukan hanya membuat Indonesia antikomunis. Buku ini memberikan perspektif lebih luas.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968
Penulis: Bradley R. Simpson
Penerbit: Stanford University Press
Tahun: 2008
Jumlah halaman: 376

BRADLEY Simpson, sejarawan muda di Universitas Princeton, menerbitkan studi menarik tentang kebijakan pemerintah Amerika Serikat terhadap Indonesia periode 1960-1968. Buku yang diterbitkan Stanford University Press dengan judul Economists with Guns (”para ekonom yang bersenjata”) itu mencakup masa pergantian Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru di Indonesia, sekaligus periode pemerintahan John Kennedy dan Lyndon Johnson di Amerika Serikat. Isinya menggugah saya untuk merumuskan kembali pengertian tentang tempat Orde Baru dalam sejarah Indonesia, yaitu dari segi moralitas politik sebagai pemerintah berwajah dua: amat buruk dan amat baik.

Argumen pokok Simpson adalah kebijakan luar negeri Kennedy dan Johnson terhadap Indonesia sangat dipengaruhi modernization theory, teori akademik dan ideologi yang diyakini luas intelektual Amerika Serikat. Versi teori modernisasi yang populer di masa Kennedy adalah military modernization, yang percaya militer Dunia Ketiga sebagai pemegang kekuasaan negara, bukan hanya sebagai lembaga yang dipersenjatai untuk membela negara dari musuh asing.

Bahan yang digunakan Simpson demi membuktikan hipotesisnya sebagian besar berasal dari dokumen resmi yang merekam pembicaraan, laporan, dan keputusan pejabat-pejabat di Washington serta Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Arsip kaya itu juga dimanfaatkan untuk membantah argumen peneliti sebelumnya yang menekankan antikomunisme belaka, tanpa meletakkannya dalam kerangka lebih luas.

Ia juga kurang puas dengan pengamat yang membesarkan konflik birokratis antara pejabat di Pentagon dan Departemen Luar Negeri atau antara accommodationists dan hardliners, pejabat-pejabat yang bersikap (dan mau bertindak) lunak atau keras terhadap pemerintahan Soekarno yang makin anti-Amerika Serikat dan dunia Barat.

Dalam bukunya, Simpson mengajukan dua klaim besar. Pertama, tentara Indonesia di awal Orde Baru bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan ribu orang. Berbeda dengan beberapa pengamat kiri lainnya, Simpson tidak hanya menyalahkan tentara, tapi juga organisasi masyarakat, termasuk yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.

Poin utamanya adalah pemerintah dan masyarakat intelektual Amerika Serikat memanfaatkan teori modernisasi militer sebagai tameng, termasuk pada dirinya sendiri, untuk menutupi perilaku jahat. Kini, kita perlu membuka tameng itu, menggali kembali apa yang terjadi pada awal Orde Baru, dan mulai merunut dampaknya pada masyarakat Indonesia. Poin ini menurut saya benar belaka.

Klaim kedua, modernisasi militer tidak berhasil. Masyarakat Indonesia tidak dimakmurkan, baik pada periode yang diteliti Simpson maupun sampai Orde Baru runtuh. Pemerintahan demokratis pasca-Soeharto ikut disepelekan. Berbeda dengan metode sejarawan profesional yang dipakai dengan jitu untuk mengungkapkan sikap dan tindakan pejabat Amerika Serikat, Simpson hampir tidak mengajukan bukti sama sekali tentang kegagalan pembangunan. Ia puas dengan komentar lepas tentang korupsi di tingkat elite, pembakaran hutan di Kalimantan, penjarahan sumber daya alam di Papua, dan sebagainya.

Klaim kedua ini tidak bisa dibenarkan. Keberhasilan kebijakan pembangunan Orde Baru mulai diakui dunia internasional pada 1980-an. Studi tersohor Bank Dunia, The East Asian Miracle (”Mukjizat Asia Timur”), terbit pada 1993, menjuluki Indonesia ”angsa terbang” bersama Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara Asia Timur lain. Beberapa ekonom internasional, seperti Hal Hill dan Anne Booth, menulis buku yang mengurai pembangunan Indonesia secara berimbang. Berdasarkan penelitian lengkap dan komparatif, profesor emeritus Harvard, Peter Timmer, menyimpulkan pada 2004 di Bulletin of Indonesian Economic Studies bahwa ”rekor Indonesia dalam pertumbuhan yang memakmurkan orang miskin termasuk yang terbaik di Asia.”

Bagi saya, tantangan analitis dan moral kita menjadi lebih besar (dan lebih jujur) kalau kita mengakui dari awal bahwa Orde Baru berwajah dua: merupakan salah satu pemerintahan terburuk sekaligus terbaik di dunia pada abad ke-20. Ke depan, meskipun saya belum mampu menggapai semua implikasinya, saya percaya betul bahwa setiap penulis sejarah Orde Baru yang serius akan merasa terpanggil untuk bergumul dengan kenyataan itu.

R. William Liddle, profesor ilmu politik Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus