Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK satu alasan pun bisa membenarkan kekejaman Muammar Qadhafi. Pemimpin Libya yang berkuasa 42 tahun itu pernah menggantung mahasiswa gara-gara berdemonstrasi. Partai politik dibekukan. Sang Kolonel memerintahkan eksekusi atas 1.200 tahanan penjara Abu Salim. Pembantaian tiga jam terhadap pengikut Raja Idris, yang digulingkannya pada 1969, merupakan sejarah kelam negara di Afrika Utara itu.
Qadhafi membuka masa pemerintahan dengan menghabisi ratusan perwira militer yang dianggap tidak loyal. Agen-agen Libya terungkap terlibat peledakan pesawat Pan Am pada 1988 di Lockerbie, Skotlandia, yang menewaskan 271 orang, kebanyakan warga negara Amerika Serikat. Qadhafi mengakui perbuatan ini, dan belakangan membayarkan ganti rugi kepada keluarga korban. Yang paling gila dari sang "Mad Dog"—julukan yang disandangnya dari Presiden Amerika Ronald Reagan—sebelum ia mati di tangan rakyatnya sendiri ialah mempersenjatai pengikutnya untuk menumpas rakyat penentangnya.
Maka tak sulit menjelaskan kebencian rakyat Libya terhadap pemimpin eksentrik yang suka berumah di tenda mewah dengan sejumlah pengawal perempuan cantik itu. Kesumat ternyata tak bisa dibarter dengan kesejahteraan yang diberikan Qadhafi lewat uang hasil penambangan minyak. Walaupun ia membuat sekitar enam juta penduduk menikmati penghasilan per kapita di atas US$ 11 ribu, dan Libya menjadi salah satu negara kaya di Afrika, ia dan keluarganya menikmati bagian sangat besar. Investasi keluarga Qadhafi bertebaran di mana-mana.
Lewat penguasaan ladang minyak, ia menjelma menjadi pemimpin negara-negara Dunia Ketiga. Ia menabalkan diri sebagai patron revolusi dunia, dengan menebar dana untuk organisasi radikal, seperti FARC dari Kolombia dan IRA dari Irlandia. Libya juga membuka diri bagi pelatihan militer organisasi garis keras dari segala penjuru dunia.
Pentas kekerasan yang terus-menerus diproduksi Qadhafi pada akhirnya berbuah kekejaman yang lebih dahsyat. Ia seperti menciptakan dan sekaligus menunggang harimau yang setiap saat siap menerkam tuannya. Bentuk duplikasi yang sempurna sebagian rakyat atas "ajaran" sang Kolonel terlihat dalam drama pembunuhan di Sirte pada 20 Oktober itu. Pemimpin 69 tahun itu terpojok di sebuah gorong-gorong penuh sampah dan pasir. "Jangan tembak, jangan bunuh aku, anakku," pekiknya, tapi ia tetap diseret sepuluh langkah, dilukai, kemudian tubuhnya yang bersimbah darah itu ditembak dari jarak dekat.
Akhir drama itu sungguh-sungguh sulit dicerna akal waras: jasadnya yang nyaris bugil dionggokkan pada sebuah kasur pegas di dalam ruang pendingin toko daging. Rakyat berdatangan dengan sukacita, seraya mengambil foto dan mengacungkan dua jari tanda kemenangan.
Kemenangan secara politis jelas diraih Dewan Transisi Nasional yang menumbangkan Qadhafi. Tapi cikal bakal pemerintahan baru itu membuka agenda dengan "kekalahan": mengulangi kekerasan yang dilakukan rezim Qadhafi, dengan membiarkan penghinaan atas mayat bekas pemimpin itu. Mempertontonkan mayat Qadhafi selama empat hari, sebelum menguburnya konon di padang pasir, tak pelak merupakan noktah hitam sejarah peradaban Libya.
Selain pelampiasan kemarahan, barangkali juga dendam bagi keluarga korban Qadhafi, penistaan atas mayat itu tak menghasilkan apa pun. Generasi muda Libya sepatutnya mendapat pelajaran yang lebih beradab tentang cara memperlakukan seorang tiran yang jatuh dan menyerah—baik secara keagamaan maupun kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo