Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelahiran Santi sembilan tahun silam tak meninggalkan banyak pertanyaan bagi keluarganya. Fisik sempurna dan organ vitalnya berfungsi normal. Hingga menjelang usia setahun, timbul masalah alergi, yang oleh dokter gizi dianjurkan untuk uji logam berat. "Dites rambut, hasilnya kandungan merkurinya di atas normal," kata Jessica Angela, 29 tahun, kakak Santi, ketika dihubungi pekan lalu. Usia kakak-adik ini memang terpaut sangat jauh.
Menjelang usia dua tahun, perkembangan motorik Santi terlambat. Kontak mata dengannya agak sulit dilakukan. Kalau berjalan, anak bungsu dari tiga bersaudara ini memilih berjinjit. Jika bermain, polanya adalah menyusun. Misalnya diberi mobil-mobilan, bukannya dijalankan, malah disejajarkan atau ditumpuk. "Dari sepuluh ciri anak yang menyandang autisme, dia memenuhi empat syarat," ujar Jessica. Butuh dua tahun bagi keluarga Jessica untuk yakin bahwa adiknya menyandang autisme. "Di awal kelahiran agak susah mendeteksinya karena enggak kelihatan ciri-cirinya," kata manajer properti ini.
Anak yang menyandang autisme memang rata-rata baru diketahui saat berusia dua tahun, karena saat itulah dia mulai berbicara dan berjalan. Diagnosisnya pun tak mudah, butuh enam bulan untuk memastikan secara holistik seorang anak menyandang autisme. Dan itu melibatkan dokter anak, psikiater, psikolog, hingga dokter saraf.
Padahal, jika diketahui lebih awal, terapi bisa dilakukan lebih dini. Banyak pendekatan yang bisa dilakukan, dari diet bebas gluten bebas kasein (GFCF), terapi wicara, hingga terapi perilaku. "Mengetahui autisme lebih dini memudahkan pilihan terapi yang tepat," ucap dokter Dedi Wahyudi dari Klinik Anti Aging dan Terapi Hormon Rumah Sakit Grand Family, Jakarta Utara.
Kini muncul uji genetis untuk mendeteksi autisme lebih dini. Namanya Biomarker Screening for Autism, yang untuk sementara di Indonesia hanya bisa dilakukan di RS Grand Family. Kenapa uji gen? Karena memang soal genetis inilah yang menjadi penyebab autisme. "Gangguan ini berdasarkan masalah genetis, meski kemudian muncul karena dipicu faktor eksternal," ujar Profesor Michael Klentze dari Fakultas Kesehatan Klentze untuk Anti-penuaan Dini di Jerman dalam acara "BiomaÂrker Screening for Autism: A First Giant Step for Scientific Based Detection" di RS Grand Family pekan lalu.
Karena autisme adalah masalah genetis yang bisa diturunkan, deteksi juga bisa dilakukan pada calon orang tua sebagai pembawa (carrier) gen autisme. Jika salah satu calon orang tua diketahui membawa gen autisme, dokter bisa menyarankan perlakuan khusus kepada calon ibu yang ingin hamil. Misalnya dengan mengubah pola hidup jadi lebih sehat dan menghindari paparan logam berat atau zat kimia lain, seperti asap rokok dan obat keras.
Sebenarnya, secara teknis, uji genetis ini ada sejak 10 tahun lalu. Tapi saat itu, secara etis, uji ini hanya boleh dilakukan pada kasus tertentu. Sejak awal tahun ini, uji genetis untuk autisme sudah diizinkan banyak asosiasi dokter di luar negeri. Bahkan uji genetis sudah diperbolehkan Asosiasi Dokter Anak Amerika Serikat (AAP), Asosiasi Autisme Amerika, dan Asosiasi Genetika Amerika Serikat (ACMG). Dalam jurnal Asosiasi Dokter Anak Amerika yang terbit 21 Februari 2013, ada pembahasan tentang etika uji genetis dan pemindaian anak. Hal ini dibenarkan tentunya setelah ada izin dari orang tua.
Prosedur uji genetis ini sangat mudah, meski biayanya sangat mahal, Rp 12 juta. Dokter tinggal mengambil sampel ludah dari orang yang hendak diuji. Ludah dipilih sebagai sumber sampel genetis karena kemudahan pengambilan ketimbang darah, sperma, atau potongan tubuh lain. Mengambil darah dari anak yang menyandang autisme tentu bukan perkara mudah. "Kami tidak ingin membuat anak menderita sejak diagnosis," kata Klentze, yang juga dosen tamu di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali.
Sebelum diambil ludahnya, baik orang tua maupun anak harus puasa 30 menit. Ini dilakukan agar sampel bersih dari sisa makanan sehingga tidak memicu hasil yang bias. Kemudian 2,5 mililiter air liur mereka disimpan dalam tabung plastik sepanjang 10 sentimeter yang sudah diisi pengawet khusus. Sampel itu lalu dikirim ke Profesor Klentze untuk diuji di salah satu dari tiga laboratorium di luar negeri: Austria, Luksemburg, dan Amerika Serikat (California).
Di laboratorium genetis, sampel itu diurai hingga terlihat urutan DNA-nya. Urutan itu kemudian dicocokkan dengan sebuah cip seukuran prangko yang berisi informasi 3.000 gen dan 9.000 macam mutasi, termasuk autisme. Jika urutan DNA dari sampel ludah itu klop dengan pola DNA autisme dalam cip tersebut, bisa dipastikan si pemilik ludah membawa gen autisme.
Hingga saat ini diketahui ada 50 macam gen yang terkait dengan autisme. Tapi hanya 16-20 gen yang memiliki bukti kuat sebagai penyebab utama. Dalam uji genetis ini, ke-50 macam gen itu dicocokkan. "Inilah kenapa akurasi uji ini sangat kuat, sampai 100 persen," ucap Klentze. Ini berbeda dengan uji genetis untuk penyakit lain, seperti parkinson, alzheimer, dan kanker. Untuk ketiga penyakit tersebut, uji genetis hanya bisa mengetahui risiko, bukan vonis. Tapi uji genetis untuk autisme adalah diagnosis yang menentukan (vonis). "Sudah penentuan dan sudah ketok palu," kata Dedi Wahyudi.
Meski demikian, tidak semua orang yang diketahui memiliki gen autisme positif menyandang autisme. "Setiap orang yang memiliki risiko genetis belum tentu autis," ucap Dedi. Gangguan hanya muncul jika "dicolek" oleh faktor luar. Dengan uji genetis ini, orang yang diketahui memiliki gen autisme bisa diintervensi agar "colekan" faktor luar itu tidak terjadi. Tapi berhasil atau tidak intervensi itu tidak ada yang bisa menjamin. Bisa saja sudah diketahui positif berisiko, sudah mengubah pola hidup menjadi lebih sehat, tapi gennya tetap berubah menjadi autisme. Mutasi gen tidak hanya bisa terpicu oleh apa yang masuk ke tubuh, tapi juga perilaku personal, termasuk emosi. "Tidak ada yang mutlak di dunia ini," ujarnya.
Kresno Mulyadi, psikiater anak yang juga ahli autisme, mengatakan uji genetis seperti ini boleh saja dilakukan. "Itu bisa dilakukan asalkan ada dasar ilmiahnya," kata penulis buku Autism is Treatable ini. Meskipun Asosiasi Dokter Anak Amerika Serikat mengizinkan uji genetis ini, Kresno mengatakan mereka lebih merekomendasikan diagnosis klinis dengan lima kriteria: gangguan sosial, perubahan emosi, perilaku berulang, gangguan komunikasi, dan gangguan persepsi. "Karena spektrum autisme itu luas, dari ringan, sedang, sampai berat. Diagnosis klinis bisa menentukan apakah yang didiagnosis berada pada tingkat yang mana."
Ihwal diagnosis mana yang dipilih—uji genetis atau diagnosis klinis—Kresno menyarankan orang tua tidak memperdebatkan mana yang paling benar. "Yang penting subyeknya adalah anak dengan menentukan terapi terbaik," ucapnya.
Dianing Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo