Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tembang Frank Sinatra, My Way, dilantunkan dengan penuh perasaan oleh Rose Pandanwangi, istri kedua mendiang S. Sudjojono, yang telah berumur 83 tahun. Malam itu, 11 Desember lalu, hati Rose berbunga-bunga. Malam tersebut puncak acara dari rangkaian Seabad Sudjojono (1913-2013). Ia dan keluarganya mempersembahkan pameran lukisan dan peluncuran buku mengenai Sudjojono.
Sekitar pukul 19.00, para tamu berdatangan di Gedung Pakarti Centre-The Centre for Strategic and International Studies, Jakarta Pusat. Setelah menyantap hidangan istimewa daging saus jamur, daging lada hitam, spageti, sup jamur, dan sebagainya, mereka kemudian memasuki ruang pameran di lantai 6. Sekitar 40 lukisan, 50 sketsa, foto-foto, surat-surat cinta, sepatu bot, sarung, pipa, koper, kuas, dan cat peninggalan Sudjojono dipajang.
Semua lukisan dipinjam dari kolektor. Kita bisa melihat lukisan-lukisan Sudjojono berjudul Ibuku, The Ruins and the Piano, Pertemoean di Tjikampek, Maka Lahirlah Angkatan 66, Seko (Prambanan), Ada Orkes, High Level, Kepala Gombal, dan sebagainya.
Yang menarik, Tempat Mandi di Pinggir Laut ikut dipajang. Lukisan ini menampilkan perempuan telanjang tengah bercengkerama di balik batu-batu besar di tepi sebuah kolam. Ukurannya 122 x 187 sentimeter. Lukisan ini dipinjam keluarga Rose dari Haryanto Adikoesoemo, Presiden Direktur PT AKR Corporindo. Tempat Mandi di Pinggir Laut sekarang memang milik pengusaha yang bergerak di bidang perminyakan itu.
Lukisan ini diam-diam kerap diperbincangkan di kalangan terbatas kolektor. Meski belum menjadi isu yang kontroversial, Tempat Mandi di Pinggir Laut mengundang "polemik" kecil-kecilan. Mengapa? Sebab, lukisan ini mirip lukisan SuÂdjojono lainnya berjudul Dunia tanpa Pria.
Tempat Mandi di Pinggir Laut secara persis menampilkan beberapa perempuan telanjang yang ada dalam lukisan Dunia tanpa Pria. Baik wajah, jumlah perempuan, gaya, cara duduk, maupun cara menatapnya semua serupa. Hanya, pada lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut, ada seorang perempuan mengenakan sehelai kain transparan berbahan brokat merah. Sedangkan wanita-wanita yang sama dalam Dunia tanpa Pria tak mengenakan apa-apa.
Dunia tanpa Pria kini dikoleksi Putra Masagung, anak almarhum Haji Masagung, pengusaha jaringan Toko Buku Gunung Agung yang dekat dengan Sukarno. Sayang, Dunia tanpa Pria tidak diikutsertakan dalam pameran ini. "Yang kami pamerkan hanya Tempat Mandi di Pinggir Laut. Kami tidak meminjam Dunia tanpa Pria," ucap Maya Sudjojono. Putri mendiang Sudjojono itu beralasan dia tak enak kepada kolektor lukisan tersebut.
Sesungguhnya menarik bila dua lukisan tersebut dipajang bersama-sama. Itu bisa menjadi pembelajaran bagi dunia seni rupa. Apakah kedua lukisan itu sama-sama asli atau salah satunya palsu. Bila sama-sama asli, tentu ini hal langka. Sebab, Sudjojono memang jarang mengulang persis lukisannya. Adakah saksi-saksi yang menyaksikan Sudjojono melukis kedua lukisan itu? Bila salah satunya bodong, tentulah pemalsunya sangat jago sekali. Sebab, berbeda dengan kebanyakan pemalsu lukisan Sudjojono lainnya, tekniknya begitu tinggi, sangat menyerupai teknik Sudjojono.
Putra Masagung, 61 tahun, ternyata memang enggan mengikutsertakan lukisan koleksinya karena belum jelasnya persoalan itu. Kepada Tempo, dia mengatakan masih ragu akan keaslian lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut. "Dari segi judul saja salah. Dikatakan di pinggir laut, padahal jelas-jelas para wanita telanjang tersebut duduk-duduk di tepi kolam atau danau. Saya kira tak mungkin Sudjojono segegabah itu," ujarnya.
Putra menuturkan dia mendapatkan Dunia tanpa Pria dari seorang kolektor yang sangat terkenal pada 1950-1960-an. Kolektor itu bernama Jusuf Sulaiman atau lebih akrab dipanggil Om Jo. Dia sahabat dekat ayah Putra. Haji Masagung dan Om Jo adalah kolega bisnis. Om Jo pengusaha besar di bidang pengangkutan kapal. Dia juga dikenal sebagai pencinta lukisan.
Om Jo adalah kolektor karya old master Indonesia, seperti Sudjojono, Lee Man Fong, Hendra Gunawan, Affandi, dan Basoeki Abdullah. Ia dikenal akrab dengan para maestro tersebut. Putra pertama kali mengenal Om Jo di Amerika. Saat itu, Putra kuliah di University of California. Om Jo hijrah ke Negeri Abang Sam lantaran terjadi geger politik 1965. Tatkala pindah ke Amerika, ia juga memboyong ratusan koleksi lukisan old master miliknya.
Setelah lulus kuliah pada 1975, Putra sempat berkolaborasi dengan Om Jo dalam bisnis supplier pulpen merek Parker. Sejak itu, mereka menjadi akrab. Putra mulai mengoleksi lukisan dengan membeli lukisan kepada Om Jo. Pada 1978, ia membeli 20 lukisan karya Affandi dari sahabat ayahnya itu.
Pada 1980-an, atas prakarsa Putra, Om Jo balik ke Indonesia membawa kembali ratusan koleksi lukisannya. Lukisan-lukisan itu kemudian dipamerkan di Gedung BCA, Jakarta, dengan dukungan dari Mochtar Riady, bos BCA yang waktu itu sama-sama pernah bisnis di bidang shipping dengan Om Jo. "Om Jo yang membuat harga lukisan old master Indonesia naik," kata Putra. Di kemudian hari, Om Jo mendirikan Shanty Gallery.
Putra ingat dia membeli lukisan Dunia tanpa Pria dari Om Jo pada awal 1980-an seharga US$ 3.000 (kira-kira Rp 120 juta). Ini harga yang sangat mahal untuk ukuran saat itu. Sebagai perbandingan, waktu itu harga tanah di kawasan elite Permata Hijau, Jakarta Selatan, tempat tinggal Putra, hanya sekitar Rp 35 ribu per meter persegi. "Om Jo mendapatkan lukisan Dunia tanpa Pria dari Sudjojono langsung," ucap Putra.
Putra pertama kali menyadari ada kembaran lukisan Dunia tanpa Pria berjudul Tempat Mandi di Pinggir Laut dari besannya, Icha, yang juga suka mengoleksi lukisan. Suatu hari Icha bertandang ke rumahnya. Dia kaget melihat lukisan Dunia tanpa Pria di tembok rumah Putra. "Kepada saya, Icha menyatakan bahwa dia punya lukisan serupa berjudul Tempat Mandi di Pinggir Laut. Menurut Icha, ia membeli lukisan itu dari Balai Lelang Borobudur seharga Rp 1,5 miliar," kata Putra.
Putra langsung reaktif. Dia mengatakan lukisan milik Icha palsu. Icha pun mengembalikan Tempat Mandi di Pinggir Laut ke Balai Lelang Borobudur. Oleh Balai Lelang Borobudur, lukisan itu dilelang dan ternyata laku jauh lebih mahal—hampir tiga kali lipat harga yang dibeli Icha.
Orang yang membeli lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut untuk kedua kalinya di Borobudur adalah pengusaha Haryanto Adikoesoemo. Harganya, menurut sumber Tempo, sekitar Rp 4,7 miliar. Ketua Balai Lelang Borobudur John Andreas membenarkan kabar pelelangan lukisan Sudjojono, Tempat Mandi di Pinggir Laut. Menurut dia, lukisan dari tempat lelangnya memang mirip dengan Dunia tanpa Pria koleksi Putra Masagung. John melihatnya sebagai dua versi. "Tapi lukisan dari Borobudur lebih bagus karena lebih detail. Ada perempuan memakai syal dan perempuan berbaju transparan merah," ujarnya kepada Tempo di kantornya.
John juga membenarkan kabar bahwa balai lelangnya telah dua kali memperjualbelikan lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut, yakni antara 2007 dan 2009. Dari mana ia memperoleh Tempat Mandi di Pinggir Laut? John enggan mengungkapkan asal lukisan itu. "Saya tidak bisa ngomong. Kalau saya ngomong, ya, buat apa ada balai lelang? Lebih baik langsung penjual ke pembeli," katanya.
Sartono, mantan Direktur Balai Lelang Borobudur, juga tak mau membuka asal-muasal lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut karena kode etik balai lelang tersebut. "Meskipun sudah tidak di sana, saya terikat kode etik," ujarnya.
Sartono menuturkan, sebelum melelang, dia menelusuri sertifikat dan keaslian lukisan itu. Dia juga mendatangi SudjoÂjono Center. Rose Pandanwangi pun datang ke Borobudur beberapa hari sebelum lukisan itu dilelang. "Saat itu, Bu Rose bercerita tentang lukisan tersebut. Dia bilang baju brokat merah yang dipakai dalam lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut adalah miliknya," kata Sartono.
Tatkala Tempo secara khusus mengunÂjungi Rose Pandanwangi untuk membicarakan lukisan kembar ini, janda mendiang Sudjojono itu meyakinkan Tempo bahwa kedua lukisan tersebut asli. Menurut dia, keduanya memang dibuat oleh suaminya atas dasar pesanan. Lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut sama dengan Dunia tanpa Pria yang dibuat Sudjojono pada 1964. Tapi Rose tak ingat siapa kolektor pemesan Tempat Mandi di Pinggir Laut. Dia hanya mengingat saat itu hari Ahad. Ia juga melihat si tamu, tapi tidak sempat berkenalan.
Rose menuturkan saat itu suaminya tengah menyelesaikan Dunia tanpa Pria. Lukisan itu sudah 80 persen jadi dan diletakkan di sanggar di belakang rumah di Pasar Minggu. Kemudian, seingat Rose, ada tamu datang. Begitu melihat Dunia tanpa Pria, si tamu sangat menginginkan lukisan tersebut. Tapi Sudjojono tidak langsung mengiyakan. Keesokannya, si pemesan datang lagi dan berbicara dengan SuÂdjojono memohon agar melepas lukisan itu untuknya. Lukisan Dunia tanpa Pria konon untuk istrinya yang sakit keras.
Akhirnya Sudjojono luluh dan bersedia membuat lukisan Dunia tanpa Pria lain, tapi dengan syarat dia akan membedakannya dengan Dunia tanpa Pria.
"Ini di luar kebiasaan Mas Djon. Dia setuju membuatkan lukisan itu karena sedemikian kuatnya alasan sang kolektor," ujar Rose. Untuk lukisan kedua ini, menurut Rose, Sudjojono malah harus membujuk salah satu anak Rose, Sara Sri (hasil perkawinan Rose dengan suami sebelum Sudjojono), untuk menjadi model salah satu wajah perempuan.
Untuk membuat lukisan kedua (yang kemudian berjudul Tempat Mandi di Pinggir Laut), tutur Rose, Sudjojono melihat pada lukisan pertama dan membuat sketsanya. Waktu pembuatan untuk lukisan kedua ini lebih singkat, tiga-empat bulan. Saat penyelesaian akhir lukisan kedua, Rose juga sempat diminta menjadi model lagi, berdiri di posisi yang sama untuk mencocokkan beberapa hal dari lukisan pertama. "Saya disuruh berdiri lagi," katanya.
Tapi Rose mengaku lupa tamu yang membeli lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut. Dia mengatakan seri lukisan telanjang Sudjojono memang ada beberapa. Semuanya memakai dirinya sebagai model. Yang sering memesan lukisan telanjang adalah dokter Niswanti. Sang dokter pernah memesan empat lukisan nude kepada Sudjojono.
Lukisan itu di antaranya berjudul Nude and the Doctor (1964). Lukisan ini menggambarkan seorang pasien wanita tergolek tanpa busana. Dia tengah berjuang menahan kesakitan. Di sebelah kiri-kanan wanita itu ada gambar dokter dan malaikat maut. Lalu lukisan dengan judul Nude and Profile (1964) dan berjudul Nude (1959). Tapi, menurut Rose, bukan dokter Niswanti yang membeli Tempat Mandi di Pinggir Laut.
Putra dokter Niswanti, dokter F.X. Hanny Suwandhani, membenarkan hal itu. Hanya butuh waktu sekitar dua detik bagi Hanny untuk memastikan bahwa lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut bukan koleksi ayahnya. "Kalau ada yang bilang lukisan itu pernah di ayah saya, itu salah," kata dokter spesialis kulit ini ketika ditemui di tempat prakteknya di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Hanny berani mengatakan hal ini karena ia hafal semua koleksi Sudjojono milik ayahnya. Sebab, semasa sang ayah masih hidup, lukisan-lukisan itu selalu tergantung di dinding rumah mereka. Ia mengatakan ayahnya memang mengoleksi delapan-sembilan lukisan perempuan telanjang karya Sudjojono. "Tapi perempuannya selalu sendiri, enggak pernah rame-rame seperti ini," ujarnya.
Pengamat seni rupa Institut Teknologi Bandung, Aminuddin T.H. Siregar, menyatakan, berdasarkan kajiannya, kedua lukisan itu merupakan karya asli Sudjojono. Lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut dan Dunia tanpa Pria memang hampir serupa, tapi tak sama. Menurut dia, dilihat dari gaya dan warna, sapuan khas Sudjojono terlihat.
Sudjojono juga bukan seniman yang anti-pesanan. "Mau gimana lagi kalau butuh uang saat itu," katanya. Sudjojono juga punya kecenderungan mengulang beberapa bagian pada lukisannya. Aminuddin menduga, saat belum puas terhadap karya lukisnya, SuÂdjojono sering tertarik meneruskan cerita seperti membuat sebuah film.
Dia mencontohkan lukisan Sudjojono berjudul Seko, yang dikoleksi Presiden Sukarno. Sudjojono kemudian menggambar lagi lukisan berjudul Seko (Prambanan). Kedua lukisan ini memiliki kesamaan pada gambar bongkahan batu di jalanan, puing gedung, dan jajaran pohon kering. Perbedaannya pada bentuk sosok orang dan langit. Karya lain Sudjojono yang juga mirip adalah Persiapan Gerilya (1964) dan Pertemoean di Tjikampek (1964). Kesamaannya jelas pada gambar bangunan. "Pembeda utamanya pada sosok orang," ucap Aminuddin.
Itulah persoalannya. Adanya perbedaan yang jelas pada sosok orang di lukisan Seko dan Seko (Prambanan) tidak terjadi antara Dunia tanpa Pria dan Tempat Mandi di Pinggir Laut. Untuk kasus ini, Sudjojono seakan-akan menyalin serta hanya membedakan pada brokat dan selendang.
Mari kita sekali lagi mencermati kedua lukisan tersebut. Dalam Dunia tanpa Pria, ada perempuan telanjang yang duduk membelakangi kita. Rambutnya pendek bergelombang. Bandingkan dengan Tempat Mandi di Pinggir Laut. Perempuan yang sama itu menutupi punggungnya dengan kain transparan berbahan brokat merah. Rambutnya dinaikkan ke atas.
Pada lukisan Dunia tanpa Pria, seorang perempuan berpose berdiri memegang selendang merah di tangan kirinya. Namun, pada Tempat Mandi di Pinggir Laut, perempuan itu masih dengan pose yang sama tapi mengenakan selendang hitam, yang diselempangkan di pundak kirinya. Selendang itu juga, menurut Rose Pandanwangi, adalah selendangnya.
Dedy Kusuma, kolektor yang dimintai komentarnya mengenai lukisan kembar ini, mengelak memberi jawaban. "Perlu ahli forensik untuk melihat kanvas dan catnya," ujarnya. "Susahnya, kita kan enggak punya ahli tersebut."
Putra Masagung sampai kini ngotot ingin melakukan komparasi ilmiah. Dia heran mengapa Rose Pandanwangi selalu lupa siapa pembeli Tempat Mandi di Pinggir Laut. "Semestinya Ibu Rose tahu," katanya.
Dalam dua kesempatan berbeda, Tempo kembali menyambangi Rose Pandanwangi dan menanyakan siapa pemesan lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut, tapi jawabannya tetap sama. "Saya tidak ingat siapa. Saya tak selalu tahu siapa yang pesan karena sudah sibuk mikir kebutuhan keluarga," ucapnya.
Putra berani mengeluarkan biaya berapa pun untuk menguji keaslian kedua lukisan kembar itu. Dia menegaskan ingin mencari kebenaran, meskipun nanti hasilnya pahit. Artinya, kalau dari hasil pengujian itu ternyata lukisan yang dikoleksinya palsu, dia dengan terbuka akan menurunkannya dari museum tempat ia menyimpan lukisan tersebut di Singapura.
"Kalau dua-duanya asli, saya tak begitu yakin. Pasti salah satunya palsu. Bisa jadi punya saya yang palsu. Kalau memang karya saya yang palsu, saya mau menurunkan. Saya terbuka apabila dua lukisan ini diuji atau didiskusikan."
Akan halnya Haryanto Adikoesoemo tak mau berkomentar ihwal keinginan Putra membandingkan Dunia tanpa Pria dengan Tempat Mandi di Pinggir Laut yang dimilikinya. Ketika dihubungi Tempo via telepon selulernya pada awal Desember lalu, ia hanya menjawab, "Maaf, ya, saya tidak bersedia menjawab pertanyaan Anda. Saya ini pemalu."
Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti, RATNANING ASIH, Ananda Badudu (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)
Kesaksian Titje
Sri Sara atau Titje, 63 tahun, mengenang saat ia dijadikan "model" lukisan telanjang oleh ayah tirinya, S. Sudjojono. Titje adalah anak sulung Rose Pandanwangi dengan suami pertamanya, Sumabrata Yahya, dokter ahli paru-paru. Dia dan adik-adiknya ikut bersama Rose saat sang ibu menikah dengan Sudjojono.
"Saya menjadi model Pak Sudjojono, baik di Dunia tanpa Pria maupun Tempat Mandi di Pinggir Laut. Mana mungkin Tempat Mandi di Pinggir Laut palsu?" ujarnya di rumahnya yang asri di Jalan Dempo 18, Bengkulu. Kesaksian Titje ini—bila dapat dipercaya—mungkin bisa menyelesaikan "polemik diam-diam" apakah Tempat Mandi di Pinggir Laut bodong atau tidak.
Perempuan bercucu delapan ini mengaku tak hanya sekali menjadi model Sudjojono. Dia anak tertua, maka sering diminta Sudjojono untuk dilukis. Sering kali Titje dilukis sepulang sekolah atau sepulang dari gereja pada hari Ahad. Biasanya sang ibu juga membujuknya agar mau dilukis.
"Kalau sama Pak Djon, masih bisa nawar. Kalau sama Mama, ya, enggak bisa melawan, harus patuh," kata Titje kepada Tempo.
Saat menjadi model, Titje kerap merasa sebal karena harus diam untuk beberapa lama. Kadang ia hanya sanggup bertahan satu jam. Maka tak aneh jika di lukisan ayah tirinya itu wajah cemberut Titje selalu hadir. Pernah suatu ketika ia harus dilukis mengenakan kostum tarian Bali. Titje merasa begitu tersiksa dengan balutan kostum yang ketat dan keras itu. Juga saat dia dilukis dalam baju pengantin Minang.
Titje ingat, menginjak usia remaja, ia menjadi model lukisan telanjang Sudjojono. "Mama yang meminta." Titje mengungkapkan tentu saja ia tidak melepas pakaian atau telanjang sungguhan. Dia dipinjam Sudjojono hanya untuk dilukis mukanya. "Pak Sudjojono hanya melukis wajah saya, sedangkan badan perempuan telanjang di lukisan tetap badan mama saya." Betapapun demikian, Titje saat itu benar-benar merasa tersiksa.
Titje menuturkan, pada 1964, saat dilukis untuk Dunia tanpa Pria dan Tempat Mandi di Pinggir Laut, usianya masih 15 tahun. "Saya masih gadis saat itu." Menurut dia, saat itu wajahnya dilukis untuk beberapa pose. Titje ingat saat itu dia hanya disuruh duduk atau berdiri. Selain itu, sewaktu ia disuruh duduk, Pak Djon memintanya agak menengok ke belakang seperti melirik. Tapi dia lupa itu di lukisan Dunia tanpa Pria atau Tempat Mandi di Pinggir Laut. Titje juga tak mengingat jeda waktu pembuatan kedua lukisan itu. Tapi, menurut dia, waktunya tidak berselang lama.
"Dua lukisan itu kan hampir sama, bingung yang mana. Karena umur segitu, enggak ngeh judulnya apa. Begitu selesai, langsung kabur," ujarnya. Selama dilukis pun, kata Titje, dia tak pernah tersenyum. Tapi dia masih ingat mana wajahnya yang ada di kedua lukisan. "Wajah saya adalah wajah gadis kecil berpakaian kuning muda yang terlihat bertopang dagu," ucapnya. Selain digambar sebagai gadis kecil bertopang dagu, Titje mengenang, wajahnya digambar Sudjojono untuk sosok perempuan lain. Hanya, oleh ayah tirinya, mukanya dilukis lebih dewasa. "Wanita yang duduk di tepi pantai itu wajahnya sebetulnya wajah saya, hanya dibuat lebih tua," ujar Titje.
Kesaksian Titje mungkin menjelaskan bagaimana cara SuÂdjojono melukis Dunia tanpa Pria. Selama ini Rose Pandanwangi mengatakan model lukisan telanjang Sudjojono—setelah Sudjojono menikah dengannya—hanya dia seorang, tiada perempuan lain. Tapi kenyataannya, di Dunia tanpa Pria, ada banyak perempuan telanjang berbeda-beda rupa. Ini bisa membingungkan orang. Ternyata, dari kesaksian Titje, kita jadi tahu, untuk menampilkan banyak wajah perempuan, Sudjojono memakai wajah anaknya. Sedangkan untuk tubuh bugil, ya, tetap tubuh istrinya, Rose. "Lihat saja, tubuh-tubuh perempuan itu memiliki bentuk yang sama, karena itu tubuh ibu saya semua," tutur Titje.
Lukisan Tempat Mandi di Pinggir Laut pernah dipamerkan di Singapura beberapa tahun lalu. Titje mengatakan merasa malu jika ada yang mengenali wajahnya dalam lukisan itu. "Orang tahunya itu pantat saya, padahal kan punya Ibu," ucapnya sambil tertawa.
Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo