Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Indonesia Harus Lebih Berperan dalam Isu Islam

Dikenal sebagai jurnalis dan pakar hubungan internasional, Fareed Zakaria memperlihatkan pengetahuan luas tentang budaya bangsa-bangsa dunia ketika berbicara di acara World Culture Forum di Bali, 25 November lalu. Budaya, menurut dia, bukanlah penentu kemajuan atau keterbelakangan sebuah negara. "Budaya merupakan kunci utama untuk memperkaya pembangunan," ujarnya. Dia yakin inilah saatnya globalisasi jilid kedua: sebuah negara bisa menjadi modern dengan kebudayaan sendiri, tanpa harus menjadi Barat.

23 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fareed tumbuh dan berkembang dari latar budaya beragam. Lahir di Mumbai, India, pada 1964, ia besar di tengah keluarga intelektual muslim. Ayahnya politikus dan pakar agama Islam. Ibunya editor koran. Setamat sekolah, ia pergi ke Amerika Serikat, mengambil gelar bachelor of arts sejarah di Yale College dan doktor hubungan internasional di Universitas Harvard. Dia kemudian menetap dan menjadi warga negara Amerika.

Pada usia 28 tahun, dia sudah dipercaya menjadi Redaktur Pelaksana Foreign Affairs, jurnal hubungan internasional Amerika Serikat. Fareed kemudian bergabung dengan Newsweek pada 2000. Di sana dia menjadi kolumnis tetap dan editor edisi internasional selama sepuluh tahun. Topik tulisannya membentang dari isu globalisasi, situasi di negara berkembang dan Timur Tengah, hingga peran Amerika Serikat di dunia.

Sekarang wajah Fareed kerap muncul di layar CNN sebagai pembawa acara Fareed Zakaria GPS. Dia juga menjadi editor-at-large majalah Time dan kolumnis tetap harian Washington Post. Sejumlah bukunya menjadi bestseller. Salah satunya The Post-American World 2.0, tentang pergeseran kekuatan dunia dan berkurangnya pengaruh Amerika Serikat.

Di Negeri Abang Sam, Fareed dikenal sebagai penengah antara Islam dan Barat. Tapi, di berbagai media, ayah tiga anak ini menyatakan ia bukan orang yang religius. Terkadang ia enggan didaulat menjadi komentator dunia Islam. "Saya tahu Islam secara naluriah. Pengetahuan seperti itu tak bisa Anda dapatkan dari buku," ujarnya seperti dikutip harian Village Voice.

Bulan lalu, Sadika Hamid dari Tempo menemuinya di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, di sela acara World Culture Forum. Fareed bersama Amartya Sen, pakar ekonomi dan peraih Nobel, menjadi pembicara utama. Sembari menyantap greek salad dan blueberry smoothies di sebuah resto pinggir pantai, Fareed menerima Tempo sebelum meluncur ke bandar udara untuk mengejar pesawat kembali ke Amerika.

Apa sebetulnya peran budaya dalam memicu pertumbuhan ekonomi sebuah negara?

Budaya tidak dengan sendirinya membuat pertumbuhan sebuah negara buruk atau baik. Orang mengatakan Cina tumbuh karena budayanya. Tapi, selama berabad-abad, pertumbuhan Cina sangat lamban. Padahal budayanya sama. Hal serupa terjadi pada India. Sekarang orang menyatakan budaya di India berpengaruh positif. Tapi, ketika saya besar di India, semua orang menyatakan "budaya kitalah yang menimbulkan kemiskinan". Ini menunjukkan budaya tidak berdiri sendiri. Kita bisa mengubah kebudayaan. Jika kebijakan ekonomi dan insentif yang ada diubah, orang-orang yang tampaknya pemalas bisa menjadi sukses.

Ada pendapat bahwa Islam itu dekat dengan jihad dan kekerasan. Apa komentar Anda?

Ini terlalu menggampangkan. Orang menyangka Islam agama penuh kekerasan. Tapi Indonesia contoh baik. Ketika berpikir tentang Islam, sebagian besar orang melihat negara Arab. Sulit bagi mereka memahami bahwa jumlah penduduk Islam di Arab hanya 290 juta. Padahal jumlah orang Islam di dunia ada 1,6 miliar. Indonesia memiliki sekitar 220 juta penduduk Islam. Di India ada sekitar 150 juta. Bangladesh dan Pakistan juga memiliki populasi Islam yang besar. Islam di negara-negara tersebut, terutama di Indonesia, damai dan harmonis. Mereka mendukung pluralisme dan menghormati agama lain. Jadi saya berpikir budaya itu bisa diubah, dibentuk, diadaptasi sehingga memperkaya pembangunan. Ini penting di negara non-Barat karena mereka sedang mencari cara untuk menerima elemen Barat, seperti ilmu pengetahuan dan modernisasi, tapi tak ingin kehilangan jiwa mereka.

Bagaimana menjadi modern tanpa kehilangan jiwa?

Menurut saya, yang penting jangan khawatir ingin menjadi modern dan belajar dari tempat lain, tapi pada saat yang sama jangan malu dengan asal-usul kita. Negara Barat pun beberapa ratus tahun lalu tidak modern. Anda lihat cara mereka menangani segala urusan, banyak sekali masalah. Mungkin ada banyak hal terbelakang di negara Anda. Anda mungkin berpikir ingin meninggalkan itu. Tapi harus ada semangat yang diambil dan elemen yang diambil. Jika tidak, ada sebagian diri Anda yang tertinggal. Ada yang mengatakan negara tanpa budaya seperti pohon tanpa akar. Saya rasa Indonesia melakukan ini dengan baik. Kalian mencoba merayakan tradisi lama dan juga menjadi modern.

Seberapa pentingnya tidak kehilangan identitas?

Ada dua alasan. Pertama, Anda tak ingin kehilangan sesuatu yang membuat Anda berbeda dan menjadi tiruan murah negara Barat. Harus ada hal otentik yang dipertahankan. Itu akan memberikan rasa percaya diri dan keamanan. Jika tidak, Anda akan terjebak pada situasi serba tanggung, menjadi bukan Barat dan bukan Timur. Anda ingin memiliki akar sembari merangkul elemen modernitas Barat untuk tumbuh, menjadi makmur, dan berjaya. Sekarang, misalnya, banyak orang khawatir perempuan tak lagi memakai pakaian tradisional. Saya besar di India. Saya tahu betul susahnya bergerak di dunia modern sembari dililit kain sepanjang 5,5 meter. Itu tidak praktis. Tapi, menurut saya, baju seperti itu bagus dipakai di acara seremonial, setahun sekali, untuk mengenang masa lalu. Ini sama seperti orang Barat yang mengenakan gaun putih ketika menikah. Kedua, Anda tak mungkin menjadi inovatif jika tak menggabungkan pengalaman budaya dan nasional dengan dunia modern. Di sinilah kreativitas yang paling menarik terjadi, di persimpangan antara disiplin, budaya, dan bahasa.

Di beberapa tempat di Indonesia, perempuan dikesampingkan dalam pembangunan….

Pembangunan fisik dan pembangunan manusia penting, tapi jika harus memilih, Anda harus membangun manusia. Negara yang benar-benar sukses, seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Hong Kong, berinvestasi pada pendidikan dan kesehatan. Dua hal itu yang paling penting.

Sejumlah negara muslim sukses beradaptasi dengan nilai modern seperti demokrasi dan kapitalisme. Tapi kaum radikal menyatakan nilai-nilai itu tak islami….

Orang yang khawatir terhadap asal-usul dari semua hal dan tak mau meniru tak akan maju. Kenyataannya, ada pengetahuan yang berasal dari tempat lain, lalu menyebar dengan sangat cepat. Dalam ceramahnya, Amartya Sen memberi contoh bahwa sebuah konsep matematika yang berasal dari India menyebar ke Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Interpretasi Islam berbeda di setiap negara. Jika mereka bilang kapitalisme tidak islami, mereka gila! Muhammad adalah seorang pebisnis dan pedagang. Lagi pula, siapa yang menunjuk mereka menyatakan Islam tak cocok dengan demokrasi? Demokrasi hanya menyatakan orang memilih sendiri pemimpin mereka. Jika mereka mau diktator, tinggal pilih saja orang itu setiap tahun, sepanjang hidupnya.

Sejumlah organisasi Islam di Pakistan dan Indonesia semakin tidak toleran terhadap minoritas. Bagaimana Anda memandang gerakan seperti ini?

Ini tren berbahaya, hasil penyebaran satu kepercayaan dan praktek Islam dari gurun Arab Saudi—bagian sangat kecil di dunia Islam. Ini tradisi Wahabi, berasal dari satu suku di gurun yang kecil dan terisolasi. Tradisi seperti ini tidak dipraktekkan di dunia Islam lain, yang berkembang dari Spanyol ke Asia Tengah, India, dan Indonesia. Tapi revolusi minyak lalu membuat Saudi kaya raya. Mereka jadi bisa mengekspor Islam versi mereka ke seluruh dunia. Anda lihat di Indonesia pusat studi Islam dibiayai Saudi dan ulama Wahabi. Mereka mengkhotbahkan intoleransi, diskriminasi, dan kebencian.

Itu sebabnya Anda pernah mengatakan Arab Saudi memiliki kebijakan luar negeri yang tak bertanggung jawab?

Arab Saudi mengekspor pandangan sempit mereka tentang Islam selama 30-40 tahun terakhir. Paham ini berasal dari institusi yang dilatih Saudi. Ini sangat merusak. Tidak saja kaum minoritas jadi menderita karena intoleransi dan kekerasan, tapi kaum muslim juga kehilangan kemampuan mereka untuk beradaptasi, berinovasi, dan menyerap tren modern. Mereka khawatir apakah mereka bisa menjadi muslim yang baik. Dalam agama Islam, seharusnya tak ada kelompok agamawan yang menyatakan seseorang itu baik atau buruk. Hubungan manusia dengan Tuhan adalah urusannya sendiri. Itulah esensi Islam. Mengapa kita harus mendengarkan ulama dari Arab Saudi?

Bagaimana sebaiknya kaum moderat menyikapi tren ini?

Masalahnya, mereka diam saja. Tak ada yang mau mengecam, walau mereka tak setuju. Kita membutuhkan pemimpin moderat yang lebih aktif. Setiap kali ada serangan teroris, seharusnya yang pertama mengecam adalah muslim. Ini lebih baik daripada merasa diserang. Tak ada pemimpin kuat. Sejujurnya, saya ingin Indonesia memainkan peran itu, tapi orang masih mengidentikkan Islam dengan Arab.

Apa cara Indonesia untuk lebih berperan dalam isu Islam?

Saya ingin ketika orang bertanya tentang praktek Islam yang benar, atau apa yang dipikirkan dunia Islam, daripada berbicara kepada seorang imam di Arab Saudi, lebih baik kepada seorang politikus di Indonesia. Lagi pula, orang seperti Gus Dur mewakili jutaan muslim. Imam-imam yang Anda temui di Qatar atau Arab Saudi tak mewakili siapa pun. Mereka sering dibayar pemerintah untuk memberi legitimasi murahan. Sedangkan politikus di Indonesia dipilih jutaan muslim yang mendukung mereka.

Bagaimana dunia memandang Indonesia saat ini?

Secara umum, Indonesia dipandang cukup berhasil mengatasi terorisme. Ada sikap tegas sekaligus pemberian ruang untuk dialog dan integrasi. Di sisi lain, saya juga melihat dunia memandang Indonesia bukan contoh yang buruk, tapi juga bukan contoh baik, dalam bidang apa pun. Ada perasaan bahwa Indonesia berada di tengah-tengah, sedang mengetes ombak. Saya sering mengatakan kepada orang lain bahwa ekonomi Indonesia berkembang baik. Ternyata itu bukan pandangan umum. Banyak yang melihat Indonesia menghadapi banyak masalah, seperti korupsi. Ada banyak tantangan. Tapi ada harapan. Keadaan Indonesia tampaknya membaik dibanding sepuluh tahun lalu. Saya rasa, jika melihat lima tahun ke depan, Anda berada di trek yang benar.

Anda meluncurkan buku The Post-American World 2.0 tentang pergeseran kekuatan dunia dan berkurangnya pengaruh Amerika Serikat. Bagaimana Anda melihat konstelasi kekuatan negara-negara di dunia baru ini?

Menurut saya, pergeseran paling besar adalah kebangkitan Cina. Ini akan menjadi perubahan strategis terbesar yang terjadi di masa hidup kita. India kerap menyatakan mereka akan mengejar. Mereka bilang mereka jago matematika. Tapi ekonomi Cina sudah tiga kali lebih besar daripada India. Pertumbuhannya juga lebih cepat. Jadi bagaimana India bisa mengejar Cina? Ini bukan masalah pintar matematika saja. Selain itu, banyak hal lain terjadi. Brasil dan Meksiko menjadi sangat penting. Turki menjadi pemain penting di Timur Tengah walaupun baru menghadapi masalah. Indonesia sedang bangkit.

Seperti apa konstelasi ini mempengaruhi dinamika antarnegara?

Setiap pergeseran memiliki dampak regional yang berbeda. Tapi secara umum dinamika yang lama berubah. Amerika Latin dulu bergantung pada Amerika Serikat, walau dengan perasaan tak senang. Sekarang yang menjadi berita besar adalah bagaimana Brasil dan Meksiko berebut pengaruh. Di Timur Tengah, dulu semua bergantung pada Amerika Serikat. Sekarang negara seperti Turki dan Arab Saudi lebih independen. Mereka melihat sekelilin g. Beberapa orang bernostalgia, ingin tatanan lama kembali. Tapi dunia berubah dan, menurut saya, menjadi lebih sejajar. Tak ada satu pun negara yang bisa mengatur segalanya. Orang mengkritik Barack Obama. Mereka tak sadar masalahnya bukan pada dia. Amerika Serikat lebih susah mengatur dunia sekarang, siapa pun presidennya.

Bagaimana posisi Indonesia dalam tatanan baru ini?

Yang menarik, Indonesia berusaha bangkit dalam konteks ASEAN. Ini langkah yang sangat matang dan bijaksana. Menurut saya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat ahli melakukannya. Biasanya, jika negara sebesar Indonesia bangkit, negara sekitar menjadi sangat gelisah. Indonesia menghindari ini. Walau demikian, saya rasa Indonesia perlu memainkan peran lebih besar di dunia internasional. Suaranya harus didengar, terutama dalam urusan Islam.

Seberapa besar kekuatan ASEAN di dunia?

Lihat bagaimana ASEAN menangani Myanmar. Pendekatannya sangat menarik. ASEAN tak menjatuhkan sanksi, tapi memberi apresiasi. Sepertinya cara itu berhasil. Satu hal lagi yang menarik dari ASEAN adalah mereka sebuah platform multilateral. Cina senang menyelesaikan masalah secara bilateral karena mereka negara raksasa. Tapi ASEAN terus memaksa mereka berurusan dengan 15 negara.

Fareed Zakaria
Tempat dan tanggal lahir: Mumbai, India, 20 Januari 1964 Pendidikan: l Bachelor of arts sejarah dari Yale College, Amerika Serikat, 1986 l Philosophiae doctor ilmu politik-hubungan internasional dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, 1993 Karier: l Redaktur Pelaksana Jurnal Foreign Affairs,1992-2000 l Editor internasional majalah Newsweek, 2000-2010 l Kolumnis tetap harian Washington Post, 2000-sekarang l Pembawa acara Fareed Zakaria GPS di saluran CNN, 2008-sekarang l Editor-at-large majalah Time, 2010-sekarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus