Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Dalam tata bahasa Indonesia, sebuah kata dasar akan berubah makna apabila mendapat imbuhan. Kata "pukul" akan berubah arti menjadi keadaan yang berlaku dalam kata dasar ini apabila berimbuhan me-i dan me-kan. Namun perubahan ini sama sekali tidak mengandaikan perubahan makna asli dari kata tersebut. Hanya, imbuhan yang pertama dan kedua mengandaikan efek yang berbeda.
Apakah keadaan di atas akan berlaku secara ajek? Tidak. Coba simak kata "guru"! Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), ia bermakna "orang yang mengajar". Tapi, apabila kata tersebut diimbuhi me-i, "menggurui", turunan kata ini terkesan tidak baik. Misalnya, "Lelaki itu seperti menggurui dalam menyampaikan gagasan." Secara tersirat, kalimat ini menegaskan bahwa penyampaian pesannya tak menarik. Mengapa guru dicitrakan dengan komunikator yang buruk? Padahal gaya guru Muslimah dalam film Laskar Pelangi memperlihatkan kepada kita bahwa seorang guru itu begitu mulia, sehingga kata-katanya dengan mudah hinggap di kepala. Belum lagi, cara mengajar Pak Arfan begitu mempesona karena lelaki ini juga pandai bercerita. Keduanya adalah guru yang layak ditiru.
Demikian pula dengan "khotbah". Kata yang berasal dari bahasa Arab ini bermakna "pidato". Hanya, dalam perkembangannya, ia lebih sering dikaitkan dengan ceramah agama. Padahal, secara semantik, ia tidak membatasi kandungan wicara. Ketidaklaziman seperti ini telah merebak pada banyak makna dari kosakata Arab yang telah menyempit, sehingga penggunaannya secara lisan dan tulisan justru bertentangan dengan makna kata asal. Semestinya kata "khotbah" mengandaikan makna asal, "penyampaian pesan". Namun kalimat "ia berkomunikasi seperti berkhotbah" telah menimbulkan kesan yang tak elok. Tiba-tiba mitra bicara merasa dicecoki oleh doktrin keagamaan yang kolot. Tak hanya itu, isi wacana hanya berkutat pada dunia hitam-putih atau baik-buruk saja.
Tentu kata lain yang patut mendapatkan perhatian adalah "politik". Sebagai kata sifat, dalam kamus Inggris Cambridge (1997), politik diartikan sebagai "bijaksana dan menunjukkan kemampuan untuk membuat keputusan yang betul". Menariknya, kata ini akan bermakna aneh apabila diberi imbuhan me-isasi, "mempolitisasi". Dengan merujuk pada makna dasar, sepatutnya ia berkaitan dengan sebuah usaha untuk melahirkan keputusan. Namun galibnya ia acap digunakan untuk menyerang politikus lawan. Misalnya, "Si A dituduh mempolitisasi isu mobil murah." Sebagai seorang wakil rakyat, tentu ia berkewajiban menghasilkan pokok pikiran untuk keputusan yang baik bagi kepentingan orang ramai. Jelas, kata "politik" dan turunannya bersimpangan.
Dari tiga contoh kata di atas, kita bisa menafsirkan bahwa "guru", "khotbah", dan "politik" yang berimbuhan telah mengalami pergeseran makna. Fungsi imbuhan yang menyebabkan kata kerja aktif menunjukkan bahwa kata dasar itu berubah seiring dengan realisasinya. Tak ayal, makna asal kata ini telah berkaitan dengan banyak pengalaman pengguna bahasa. Kenyataan bahwa menggurui itu membosankan boleh jadi merupakan pengalaman banyak orang yang pernah belajar di sekolah. Seorang guru yang seharusnya menjadi penyampai pelajaran yang baik justru hanya membacakan teks yang mati dan murid duduk diam dalam keadaan tak nyaman. Tak hanya itu, guru dianggap sebagai orang yang hanya bisa memerintah, sehingga menggurui dengan sendirinya berarti bertindak seperti seorang raja yang hanya menyuruh orang lain memenuhi keinginannya. Malangnya, kata ini juga berarti berlagak tahu.
Tentu lema "khotbah" yang bermuatan religius tak luput dari konotasi makna yang tak mengenakkan. Alih-alih mendatangkan rasa nyaman, berkhotbah identik dengan menyampaikan sesuatu yang membosankan. Jangan-jangan ini berkaitan dengan rutinitas mingguan orang Islam. Penyajian khotbah tak lagi mendatangkan semangat. Lihat jemaah di sembahyang Jumatan! Kebanyakan dari mereka termangu, termenung, atau tertidur. Tak hanya itu, berkhotbah kadang bermakna menyodorkan pilihan hitam-putih. Padahal, dalam agama, seseorang tidak akan dibebani melebihi kemampuannya. Ajaran agama juga mengenalkan keringanan (rukhshah) sebagai bentuk keluwesan kewajiban.
Sementara itu, meskipun "politik" mengandaikan makna yang luas, ia tetap bermakna netral. Pergeseran makna yang tak baik akibat perimbuhan, dari kata sifat ke kata kerja aktif, tentu menggambarkan kenyataan di lapangan. Dalam prakteknya, dunia politik itu adalah kisah tipu-muslihat. Tak ayal, apabila seseorang mengatakan "mempolitisasi", makna yang muncul ke permukaan adalah aktivitas tipu-menipu. Betapapun ada seruan bebas politik uang, para politikus tetap menghamburkan duit untuk menangguk suara. Tak hanya itu, deklarasi pemilu sehat berakhir begitu saja apabila pihak yang kalah tidak berterima. Dengan dalih menegakkan kejujuran dan keadilan, pecundang menghasut pendukungnya untuk berbuat onar atau menuntut pemilihan umum ulang. Benar kata ahli linguistik Noam Chomsky bahwa makna kata itu tidak hanya diperoleh dari arti dasar, tapi juga dari keadaan psikologis dan sosial masyarakatnya.
*) Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo