Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendung duka menggelayuti dunia hiburan Indonesia, tiga pekan lalu. Bintang sinetron, model, sekaligus presenter Egidia Savitri tutup usia pada umur yang masih muda, 34 tahun. Empat hari sebelum meninggal, Egi mengalami sakit kepala hebat ketika menjemput putri bungsunya. Saat itu ia langsung meminta pengemudi mobil membawanya ke rumah sakit terdekat, yaitu Siloam Hospital Lippo Karawaci.
Sebagian anggota keluarga menyangka Egi terkena stroke. Namun sang suami, Dino Martin, di laman Facebook Egi, menyebutkan bahwa istrinya menderita arteriovenous malformation (AVM). Penyakit ini merupakan kelainan bawaan pada jaringan pembuluh darah arteri yang berhubungan langsung ke pembuluh darah vena dan bersifat rawan pecah. Lantaran rawan pecah, kelainan ini dapat menimbulkan perdarahan di otak. Secara sederhana, AVM dapat dikatakan sebagai varises di jaringan pembuluh darah otak.
"AVM merupakan gangguan vena bawaan dari lahir," ujar M. Kurniawan, neurolog Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pekan lalu. "Akibat gangguan yang terjadi saat proses pembentukan pembuluh darah ketika masih janin."
Hingga saat ini masih banyak perdebatan mengenai penyebab gangguan pembentukan pembuluh darah dalam kandungan. Salah satunya kelainan genetik yang juga dipengaruhi berbagai faktor, antara lain paparan radikal bebas. "Tapi radikal bebas seperti apa, tidak bisa dijelaskan," Kurniawan menambahkan.
AVM juga bisa terjadi karena adanya gen bawaan. Namun, menurut Kurniawan, prevalensinya sangat kecil. AVM biasanya ditemukan pada pasien dengan kondisi hereditary hemorrhagic telangiectasia atau HHT. Sebuah kondisi ketika salah satu keluarga pasien ada yang membawa gen khas, berupa rapuhnya pembuluh darah. Berdasarkan riwayat, kesehatan keluarga bisa diketahui bila ada salah satu anggota yang pernah mengalami perdarahan otak.
Kelainan bentuk pembuluh darah pada pasien AVM bisa terjadi di bagian tubuh mana pun. Bisa pembuluh darah di wajah hingga pembuluh darah di usus. Dari seluruh bagian tubuh, yang paling berbahaya adalah AVM di pembuluh darah otak. "Karena AVM biasanya mudah pecah, dan bila pecah di sekitar otak, efeknya bisa sangat mematikan," ujar Kurniawan.
Untungnya prevalensi atau angka kejadian pasien yang mengalami kematian karena AVM sangat kecil. Menurut Kurniawan, prevalensi di Indonesia sekitar 1 persen atau 5 orang per 100 ribu penduduk. Sayangnya, hingga saat ini belum ada catatan pasti di Indonesia mengenai jumlah penderita AVM. Selain karena memang belum ada penelitian khusus, keengganan orang Indonesia menjalani pemeriksaan pembuluh darah membuat pencatatan terhadap kasus AVM sulit dilakukan. Adapun di Amerika, menurut sebuah penelitian pada 2013, kasus AVM otak mencapai 600 per 100 ribu orang. "Jumlah ini cukup besar," kata Kurniawan.
Pada kasus AVM di pembuluh darah otak, sekitar 55 persen tidak berdarah atau belum pecah (unruptured). Sedangkan 45 persen sejak pertama kali ditemukan sudah mengalami perdarahan atau ruptured. Pasien AVM yang belum mengalami pecah pembuluh darah biasanya sering kejang dengan intensitas tidak menentu.
Sebelum pasien diketahui mengidap AVM, dokter biasanya keliru mendiagnosis gejalanya sebagai epilepsi. AVM baru bisa dipastikan bila dilakukan pemeriksaan lebih lanjut berupa CT angiography dan magnetic resonance angiography (MRA). Meski begitu, AVM di otak sangat berbeda dengan epilepsi. Pada epilepsi, kelainan terjadi pada intensitas listrik otak, sedangkan pada AVM kelainan terjadi pada pembuluh darah.
Gejala kedua yang menunjukkan adanya AVM adalah nyeri kepala yang amat sangat di satu titik tertentu. Nyeri kepala pada AVM terjadi cukup lama dan bersifat kronik. "Kepala terasa berdenyut dengan wilayah yang tidak merata seperti migrain," kata Kurniawan. "Biasanya terjadi di satu titik, bisa di kanan, kiri, atau di belakang kepala," kata Kurniawan.
Pada 45 persen kasus AVM yang sudah mengalami perdarahan atau ruptured, perdarahan sudah ditemukan sejak pertama kali pemeriksaan. Bila keadaan sudah seperti itu, dokter biasanya akan mendiagnosis bahwa pasien AVM mengalami stroke hemorrhagic. Dalam keadaan ini, darah keluar melalui pembuluh yang pecah di sekeliling jaringan otak, terkumpul dan menekan jaringan otak di sekitarnya. Parahnya, gumpalan darah dapat terbentuk dan menghentikan suplai darah ke jaringan otak.
Pasien AVM dengan pembuluh darah yang sudah pecah, menurut Kurniawan, memiliki kondisi yang sangat berbahaya. Tingkatannya sudah sangat mengancam nyawa. Ini karena perdarahan otak pada pasien AVM dapat terjadi di tiga daerah utama. Pertama di daerah intracerebral. Dalam keadaan ini, robekan pembuluh darah sudah mengenai jaringan otak (parentium). Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan kelumpuhan sebelah pada otak.
Perdarahan kedua terjadi di bagian Âsubarachnoid atau lapisan tengah-dalam otak. Perdarahan ini sudah bukan lagi berada di jaringan otak, melainkan di bagian selaput otak. Perdarahan ketiga terjadi pada bagian intraventricular atau cairan otak. Dua kondisi perdarahan terakhir pada pasien AVM disebut Kurniawan lebih buruk. "Karena biasanya akan menghambat saluran darah pada otak, juga aliran cairan pada otak, akibatnya tekanan pada otak meningkat," katanya.
Dalam mengatasi AVM, biasanya ada empat jenis tindakan yang diambil dokter. Pertama, tidak ada intervensi apa-apa. Ini merupakan pengobatan konservatif, karena yang diobati hanya gejala klinisnya. "Misalnya, kalau sakit kepala, yang diobati sakit kepalanya saja. Kalau ada kejang, diberi obat antikejang agar jangan sampai kejang," kata Kurniawan. Kedua, dilakukan intervensi berupa operasi bedah saraf dengan pengangkatan AVM di bagian otak, yang hanya boleh dilakukan dokter bedah saraf.
Ketiga adalah terapi radiasi terfokus di titik yang terdapat AVM. Keempat, embolisasi atau intervensi endovaskuler dengan menembakkan zat untuk mematikan pembuluh AVM melalui slang kecil yang dimasukkan melalui pembuluh darah balik"biasanya dari paha"kemudian naik ke pembuluh darah otak. Di titik yang terdapat AVM itulah zat ditembakkan. Pembuluh AVM yang sudah dimatikan ini biasanya diangkat agar perdarahan tidak menyebar ke bagian otak lain.
Pada pasien dengan AVM yang pembuluh darahnya belum pecah masih terdapat kontroversi antara pengobatan konservatif (yang didiamkan saja) dan pengobatan yang memerlukan tindakan intervensi (operasi atau radiasi). Menurut sebuah penelitian yang disebut ARUBA pada 2013, risiko pasien AVM yang mengalami pecah pembuluh darah dalam pengobatan konservatif hanya 1 persen per tahun. Sedangkan yang mengalami intervensi, risikonya bertambah 5 persen per tahun. "Jadi, kalau diintervensi bukan berarti akan aman," kata Kurniawan.
Dokter spesialis bedah saraf yang juga Ketua Divisi Neurovaskuler Departemen Bedah Saraf FKUI/RSCM, Setyo Widi Nugroho, memiliki pendapat lain. Menurut dia, operasi merupakan tindakan terbaik bagi pasien AVM yang belum mengalami perdarahan. Namun, Setyo menegaskan, diagnosisnya harus sesuai dengan sistem grading dari Spetzler-Martin—acuan ukur yang terdiri atas besar, letak, dan pola pembuluh darah balik dari AVM.
"Untuk unruptured AVM grade 1 dan 2, pengobatan terbaik adalah operasi. Untuk grade 3, pilihannya bisa operasi, kombinasi operasi, intervensi endovascular, atau radiasi terfokus," kata Setyo melalui surat elektronik. Adapun untuk AVM dengan kategori grade 4 dan 5, operasi tidak dianjurkan. Sebagai pilihannya, dapat dilakukan pengobatan kombinasi, intervensi endovascular (embolisasi) dan radiasi terfokus.
Untuk AVM yang sudah pecah, Setyo menegaskan perlu dilakukan operasi segera. "Ini untuk mengeluarkan darah dari otak," ujarnya. Waktu terbaik untuk mengÂoperasi pasien AVM yang sudah mengalami perdarahan adalah sebelum 12 jam, agar darah tidak menyumbat jaringan dan pembuluh darah otak yang lain.
Cheta Nilawaty
Arteriovenous Malformation (AVM)
Penyakit ini merupakan kelainan bawaan pada jaringan pembuluh darah arteri yang berhubungan langsung ke pembuluh darah vena dan bersifat rawan pecah. Lantaran rawan pecah, kelainan ini dapat menimbulkan perdarahan di otak. Secara sederhana, AVM dapat dikatakan sebagai varises di jaringan pembuluh darah otak.
Pengukuran Spetzler-Martin
Alat untuk mengukur perlu atau tidaknya mengoperasi pasien AVM
Yang Dinilai | Parameter | Nilai |
Ukuran | < 3 cm | 1 |
3-6 cm | 2 | |
> 3 cm | 3 | |
Letak AVM | Daerah tidak penting otak | 0 |
Daerah penting | 1 | |
Pola pembuluh darah balik | Letak permukaan | 0 |
Letak dalam | 1 | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo