Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR semua karya Singgih Hadi (S.H) Mintardja menggambarkan perebutan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa. Kronik pergulatan kekuasaan itu relevan dengan pergantian rezim pemerintah dari masa ke masa. Karya itu bisa menjadi cermin gonjang-ganjing kekuasaan, ambisi, dan perjuangan merebutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Intrik dalam kekuasaan itu tergambar dalam disertasi guru besar ilmu sastra Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Teguh Supriyanto, berjudul “Hegemoni terhadap Naga Sasra dan Sabuk Inten Karya S.H. Mintardja”. Dalam Nagasasra dan Sabuk Inten, Mintardja menjelaskan perebutan kekuasaan antara para wali dan kelompok abangan di Kerajaan Demak. Kerajaan Demak runtuh dan Pajang berdiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perebutan kekuasaan serupa terjadi dari Orde Lama ke Orde Baru pada 1967, tiga tahun setelah Mintardja menciptakan karya yang melegenda itu. Tokoh utama Nagasasra dan Sabuk Inten, Mahesa Jenar, sangat simbolis, melambangkan kekuasaan. Menurut Teguh, Mahesa menjadi tokoh favorit penggila karya Mintardja. Mahesa Jenar berarti Kebo Kuning.
Kebo Kuning dianggap lekat dengan situasi politik saat itu, menyimbolkan banteng dan kerbau, dilakonkan oleh tokoh Aryo Saloko. Ada dua kubu dari dua partai berbeda ideologi yang sama-sama mengklaim tokoh Mahesa Jenar menggambarkan partai tersebut, yakni nasionalis dan komunis.
Simbol banteng menjadi pujaan orang-orang nasionalis. Lawannya adalah partai komunis yang digambarkan licik dan ingin menguasai semuanya. “Ideologi bergerak dalam setiap kekuasaan lewat nama tokoh, cerita, dan latar,” kata Teguh kepada Tempo, Kamis, 9 Februari lalu.
Intrik politik yang tergambar dalam karya itu, Teguh menambahkan, berbicara tentang hegemoni ideologi. Partai mana pun ketika memunculkan tokoh politik selalu berupaya merebut hegemoni di masyarakat. Contohnya melalui cara yang gampang dipahami masyarakat, yakni politik pencitraan.
Buku Nagasasra dan Sabuk Inten karya SH Mintardja/Tempo/Shinta Maharani
Mintardja juga piawai memasukkan cerita ringan yang membuat pembaca tertawa dan penasaran seperti dalam novel populer. Dia menggunakan pilihan kata dan jalinan cerita yang disukai banyak orang. Contohnya gosip kisah asmara terlarang Joko Tingkir yang digambarkan memiliki banyak istri.
Ada juga cerita tentang Sutawijaya, anak Ki Ageng Pamanahan atau Kiai Gede Mataram yang menjadi Panembahan Senopati yang diceritakan hasil hubungan gelap. Cerita itu menjadi gunjingan prajurit yang berjaga malam.
Dalam karya Api di Bukit Menoreh, muncul kisah kesaktian Raden Renggo yang dikabarkan lahir dari hubungan gelap dengan Ratu Kidul. Cerita-cerita itu menjadi siasat Mintardja untuk memikat pembaca supaya mereka penasaran akan episode berikutnya. “Banyak seloroh dan guyonan untuk memikat pembaca karya serial,” ujar Teguh.
Disertasi Teguh telah dibukukan menjadi Nagasasra Sabuk Inten: Praktik Hegemoni Kekuasaan Jawa. Pengajar sastra Program Studi Sastra Jawa dan Indonesia Universitas Negeri Semarang itu menyebutkan Mintardja tergolong sastrawan angkatan romantis yang cerita-ceritanya membahas kepahlawanan. Yang khas, tokoh utama selalu menjadi hero dan menang.
Mintardja piawai melihat situasi Indonesia saat itu. Indonesia sebagai negara bekas jajahan senang terhadap cerita kepahlawanan. Selain itu, latar cerita menggambarkan kondisi alam dengan keanekaragaman hayati kerajaan tertentu.
Cerita ringan lain yang disenangi pembaca Api di Bukit Menoreh adalah tentang kuliner. Agung Sedayu, tokoh utama dalam cerita itu, dikisahkan berjalan kaki dan singgah di warung setelah menitipkan kuda yang menemaninya. Ia gemar mampir ke warung tatkala melawat ke Kerajaan Demak. Kegemarannya adalah menyantap mangut lele.
Kisah menarik lain khas Jawa adalah latihan laku memperkuat kekebalan tubuh dan batin. Teguh bercerita, Glagah Putih, tokoh yang mendampingi Agung Sedayu, setiap pagi menutup rumpon dan merendam kaki pada malam untuk melatih kesaktian. Kisah-kisah seperti itu ada dalam kitab-kitab kuno Jawa yang mengajarkan kesaktian.
Teguh Supriyanto/Dokumentasi Pribadi
Mintardja adalah penulis yang keranjingan membaca sastra kuno Jawa, misalnya Sastra Suluk, Babad Tanah Jawa, Babad Demak, dan Babad Pajang. Berbagai bacaan itulah yang menjadi modal Mintardja dalam menciptakan karya-karyanya. “Dia menguasai sastra kuno sebagai sumber pustaka dan sumber cerita yang ia karang,” tutur Teguh.
Bertolak dari sastra klasik Dewa Ruci, Mintardja menggambarkan bagaimana Mahesa Jenar ingin menguasai ajian sasra birawa. Suatu ketika, Mahesa dimasukkan ke gua yang kemudian ditutup oleh Kebo Kanigoro supaya dia tak bisa keluar dari sana.
Mahesa lantas bersiasat mencari cara agar bisa keluar dari gua. Setelah terjebak tiga hari di dalam gua, Mahesa menemukan lukisan yang dipahat pada dinding gua. Rupanya, lukisan inilah yang menjadi petunjuk bagi Mahesa untuk keluar dari gua. Petunjuk itu berupa mantra dari Ki Pengi. Mahesa pun berhasil keluar dari gua dengan merapal ajian tersebut.
Kisah lain dari dunia pewayangan juga mewarnai karya-karyanya. Contohnya tentang tokoh Mintaraga yang mendapat kesaktian serta Bambang Ekalaya dan Arjuna yang digambarkan mahir memanah. Begitu juga Agung Sedayu yang digambarkan piawai memanah burung.
Ihwal penjabaran alam, Mintardja pun jago. Teguh mengungkapkan, kemampuan Mintardja mengolah detail alam, misalnya pepohonan, ia dapatkan dari cerita kakaknya, tentara yang bertualang di hutan. Mintardja juga sangat memahami Gunung Merapi dan Merbabu yang disebut dalam karyanya.
Karakter dan nama tokoh dalam ceritanya seperti dalam kondisi zaman yang ia sebutkan. Contohnya Kebo Kanigoro dan Ronggolawe. Dari tokoh-tokoh itu, sebenarnya orang bisa belajar lebih dalam. Para politikus, kata Teguh, perlu membaca karya SH Mintardja. “Ada trik memenangi kontestasi,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo